Apakah Hewan Bisa Merasa Sedih dan Bahagia Seperti Manusia?
https://www.naviri.org/2018/08/hewan-bisa-merasa-sedih.html
Naviri Magazine - Sebagian kita memiliki hewan peliharaan, yang kita jadikan sebagai teman dalam keseharian. Dua hewan yang kerap menjadi hewan peliharaan adalah anjing dan kucing. Mereka adalah hewan-hewan manis yang biasa tinggal di rumah, menemani aktivitas dan keseharian kita.
Kedekatan dengan hewan kadang membuat kita berpikir, apakah hewan-hewan juga bisa sedih dan bahagia, sebagaimana manusia? Pasalnya, hewan-hewan tersebut kadang bertingkah lucu yang membuat kita tertawa, dan mereka mengulangi tingkah itu demi bisa membuat kita senang. Sebaliknya, saat mereka melakukan kesalahan tertentu, dan kita jadi marah, mereka pun menampakkan wajah atau tatapan mata yang sedih.
Jadi, apakah hewan—khususnya anjing dan kucing—memiliki sisi emosional sebagaimana manusia, yang memungkinkan mereka merasa senang, sedih, dan lainnya?
Pertanyaan tersebut adalah misteri yang selama berabad-abad coba dipecahkan oleh sejumlah ilmuwan.
Pada tahun 1872, Charles Darwin merilis buku mengenai perasaan dan emosi hewan. Dia mengungkapkan bahwa manusia dan hewan memiliki lini emosi yang diekspresikan dengan cara serupa, misalnya menangis di kala sedih dan tertawa saat berbahagia.
Seorang filsuf, Thomas Nagel, mengatakan bahwa penjelasan itu tidak sepenuhnya benar.
Dia mengatakan bahwa manusia yang bergelantungan semalaman dengan posisi kaki di atas dan kepala di bawah, belum tentu bisa mengetahui apa yang dirasakan oleh kelelawar. Sebab, pergerakan emosional manusia dan hewan tidak berjalan di garis yang sama.
Pernyataan kedua pakar yang saling bertentangan tersebut tak mematahkan anggapan bahwa hewan juga memiliki emosi seperti halnya manusia, meskipun cara pengelolaannya berbeda, dan belum terungkap dengan gamblang hingga sekarang.
Lumba-lumba, burung gagak, simpanse, anjing, dan tupai, menurut peneliti, memiliki pusat proses emosi dalam otak mereka, persis seperti manusia. Jadi, hewan-hewan tersebut bisa merasakan apa yang dirasakan manusia, seperti, marah, sedih, bahagia, dan ketakutan.
Satu tim peneliti sangat yakin mengenai hal tersebut, dan mereka mendeklarasikannya pada Cambridge Declaration on Consciousness pada 2012 lalu. Peneliti mengatakan bahwa seluruh mamalia, burung, dan sebagian intervertebrata, merupakan binatang yang perasa.
Peneliti perilaku, B.F Skinner, menolak teori tersebut mentah-mentah. Alasannya, perasaan manusia adalah lelucon, dan emosi yang terjadi pada hewan merupakan reaksi fiktif yang dihubung-hubungkan dengan perilaku.
Seorang pakar perilaku lainnya, John Watson, mengklaim emosi hewan merupakan kondisi mental aktif yang merupakan respons fisik belaka terhadap rangsangan yang terjadi.
Anda yang merupakan penyayang binatang tentu tidak sepakat dengan argumentasi dua pakar perilaku tersebut. Sebab, Anda pasti pernah merasakan, mengalami, dan menyaksikan sendiri emosi hewan kesayangan.
Marc Bekoff, profesor ekologi dan evolusi biologi di Univeristy of Colorado, merupakan salah satu yang percaya mengenai dinamika emosional pada hewan.
“Pertanyaan sebenarnya adalah, apakah hewan secara emosional bisa berevolusi. Salah satu akses langsung manusia dan non-manusia untuk mengukur level emosional adalah perilaku mereka,” ujar Bekoff.
Dia mengatakan, teori yang selama ini dipercaya adalah anjing menggerakkan ekor ketika merasa senang, tetapi anjing juga melakukan hal yang sama saat mereka mengigit manusia. Kucing mendengkur ketika merasa senang, tetapi mereka juga seperti itu saat terluka.
Sebuah studi lampau mengungkapkan, vokal suara kucing bergetar pada frekuensi tertentu, yang dianggap sebagai cara meningkatkan penyembuhan pada tulang dan otot—frekuensi yang sama digunakan dalam program ruang angkasa Soviet untuk meningkatkan kepadatan tulang dan mencegah pelemasan otot. Adaptasi ini menjelaskan mengapa kucing memiliki tulang yang kuat, sampai diklaim memiliki sembilan nyawa.
Penelitian lain pada awal 2018 menunjukkan bahwa sebagian besar hewan memang memiliki emosi, sehingga mereka bisa merasakan cemburu, sedih, atau bahagia seperti manusia.
Hasil penelitian mereka memperlihatkan bahwa pemindaian pada otak anjing tampak aktif di bagian amigdala (otak bagian depan), area yang sama dengan otak manusia saat merasa cemburu.
Selanjutnya, Moriah Galvan dan Jennifer Vonk dari Oakland University, Amerika Serikat, yang mempelajari 12 kucing dan pemilik mereka, menyimpulkan bahwa kucing menunjukkan ekspresi wajah yang sama seperti perasaan pemiliknya.
Jadi, jika pemiliknya tersenyum, kucing cenderung memperlihatkan sikap positif, seperti menggesekkan badan, duduk di pangkuan majikan, dan mengeluarkan suara lembut.
Penelitian teranyar mengenai emosi hewan datang dari Mathilde Stomp, Universite de Rennes di Prancis. Dia menyimpulkan bahwa dengusan kuda adalah indikator emosi positif dari kuda.
Stomp mempelajari 48 kuda yang hidup dalam kandang, dan kuda yang hidup bebas di padang rumput.
Dia melaporkan bahwa secara keseluruhan kuda-kuda tersebut mendengus 560 kali, mulai dari satu kuda yang mendengus rata-rata 0,75 kali per jam, hingga kuda yang mendengus 12,8 kali per jam.
Kuda yang dilepas di padang rumput, kata dia, mendengus lebih banyak daripada kuda yang banyak menghabiskan waktu dalam kandang. Perbedaan tersebut bisa mencapai dua kali lipat.
Dia menemukan, kuda mendengus paling banyak ketika sedang makan atau bertualang di tempat baru. Oleh karena itulah, dia menyimpulkannya sebagai rasa bahagia. Sebab, tidak ada kuda yang mendengus ketika mereka sedang melawan dan bersikap agresif terhadap manusia.