Memahami Distimia, Depresi Ringan yang Bisa Berujung Bahaya

 Memahami Distimia, Depresi Ringan yang Bisa Berujung Bahaya

Naviri Magazine - Ada sebagian orang yang mengidap depresi, dan depresi yang mereka derita bisa bermacam-macam, layaknya suatu penyakit. Ada depresi yang tergolong berat, ada pula depresi yang tergolong ringan namun kerap muncul hingga dalam jangka waktu lama. Distimia adalah jenis depresi ringan yang semacam itu.

Distimia, atau yang juga dikenal sebagai persistent depressive disorder (PDD), merupakan salah satu gangguan mental yang tercantum dalam buku panduan psikiatri dari AS, Diagnostic and Statistical Manual (DSM). Hal ini merujuk pada kondisi saat seseorang mengalami depresi berkepanjangan, minimal selama dua tahun berturut-turut pada orang dewasa, atau setahun pada anak-anak dan remaja.

Dilansir MayoClinic, penderita distimia akan kesulitan merasa bahagia sehingga kerap dipandang sebagai pemurung. Gejala-gejalanya di antaranya gangguan tidur, kehilangan nafsu makan atau justru sebaliknya, mudah marah, sering merasa bersalah saat mengingat masa lalu, dan merasa terus kehilangan harapan.

Distimia pada orang-orang di bawah usia 21 bisa berasosiasi dengan risiko tinggi gangguan kepribadian dan penyalahgunaan obat-obatan atau alkohol. Tidak hanya itu, kendati tergolong depresi ‘lunak’, distimia bisa mendorong munculnya depresi berat pada saat bersamaan, atau yang dikenal sebagai double depression.

Dalam keadaan depresi berat, bukan tidak mungkin seseorang memiliki pemikiran menyakiti atau bunuh diri.

Penyebab distimia

Para pakar psikiatri belum menentukan penyebab pasti distimia atau depresi. Ada kemungkinan hal ini terkait faktor genetis, tetapi pada sebagian penderita distimia tidak ditemukan rekam jejak keluarga dengan masalah sejenis. Ada pula kemungkinan fungsi abnormal di otak yang menjadi akar masalah distimia.

Penjelasan lebih lanjut mengenai faktor gangguan di otak yang terkait distimia diberikan Brett Wingeier, CTO dan salah satu penggagas Halo Neuroscience, dalam Forbes.

Ia mengatakan, saat terjadi momen manis, otak manusia akan mengeluarkan senyawa kimia yang mengatur perasaan bahagia. Begitu pun saat terjadi peristiwa pahit, sistem otak akan mengaktivasi senyawa kimia terkait perasaan sedih. Dalam keadaan normal, fungsi otak ini berjalan seimbang.

Namun, pada pengidap distimia, sistem yang mengatur perasaan buruk akan jauh lebih aktif, dan sistem pengatur mood tak merespons dengan baik kondisi-kondisi menyenangkan.

Selain dua kemungkinan ini, distimia juga disebut-sebut dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa buruk dalam relasi atau pekerjaan yang pernah dialami seseorang, penyakit fisik, serta efek obat.

Baca juga: Memahami Gejala Depresi yang Memicu Bunuh Diri

Related

Psychology 2469415548761982797

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item