Mewaspadai Bisnis Fintech Ilegal yang Kini Masuk Indonesia
https://www.naviri.org/2018/07/fintech-ilegal.html
Naviri Magazine - Fintech adalah platform yang memungkinkan siapa pun untuk pijam meminjam uang secara online. Berbeda dengan urusan pinjam meminjam uang di bank, urusan melalui fintech jauh lebih mudah. Tinggal menginstal platform-nya di smartphone, lalu bisa mulai melakukan transaksi peminjaman.
Karena terkait pinjam meminjam uang, bisnis fintech di Indonesia pun diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sayangnya, di luar yang resmi, yang tercatat di OJK, ada banyak bisnis fintech yang beroperasi secara ilegal.
Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi mencatat, sebanyak 227 entitas peer to peer lending (P2P) atau layanan pinjam uang langsung ilegal di Indonesia. Mayoritas fintech ilegal ini berasal dari China.
Kepala Satgas Waspada Investasi OJK, Tongam L. Tobing, mengatakan, dari penyelidikan yang dilakukan, ada sebanyak 155 developer yang menyediakan platform fintech ilegal ini.
"Itu terdiri dari 155 developer, dan lebih dari setengah (developernya) itu dari China. Satu developer bisa punya lebih dari 2 atau 3 platform," ujarnya dalam konferensi pers di Gedung Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta.
Dia menjelaskan, penulusuran entitas ilegal ini berdasarkan website, appstore, hingga playstore yang dilakukan OJK. Hal ini dilakukan sejak OJK mengeluarkan POJK Nomor 77 Tahun 2016 tentang penyelenggaraan peer to peer landing yang wajib mendapatkan izin dari OJK.
Angka 227 entitas ilegal ini terbilang sangat besar, mengingat peer to peer landing yang legal atau terdaftar di OJK hanya sebanyak 63 entitas.
Menurut Tongam, banyaknya platform ilegal dari Negeri Tirai Bambu tersebut dikarenakan pengetatan aturan fintech peer to peer landing yang dilakukan otoritas di negaranya. Pasalnya, dulu di China, bisnis ini sangat bebas dan tak diatur.
Kondisi ini pun membuat pelaku usaha China melarikan pasarnya ke negara lain, salah satunya Indonesia. Terlebih saat ini membuat platform merupakan hal yang mudah dilakukan.
"Di China itu sekarang ada pengetatan fintech peer to peer landing. Karena China sekarang ketat, akhirnya bisa berdampak ke kita, dari sana masuk ke Indonesia dengan berbagai platform yang tampilannya dalam bahasa Indonesia," jelasnya.
Banyaknya entitas ilegal ini pun menjadi berbahaya bagi masyarakat Indonesia. Karena tak terdaftar di OJK, maka tak ada informasi yang jelas mengenai pegerakan bisnis dan informasi perusahaan.
Jumlah nasabah dari entitas ilegal tersebut memang belum bisa dipastikan. Hanya saja melihat jumlah masyarakat yang mengunduh aplikasi platform ilegal tersebut ada sekitar 100.000.
"Kami perkirakan satu platform ada sampai 100.000 member-nya. Tapi juga belum tentu seluruhnya jadi nasabah. Jadi ini bisa mencapai jutaan juga, ini sangat potensial bisa merugikan masyarakat," katanya.
Saat ini, kata dia, memang belum ada pengaduan masyarakat atas kerugian terhadap 227 entitas ilegal tersebut. Namun, dengan melihat banyaknya jumlah masyarakat yang mengunduh platform ilegal tersebut, menunjukkan inklusi keuangan sudah baik tapi tak sejalan dengan literasi keuangan.
"Ini menunjukkan inklusi di Indonesia memang sudah tinggi, tapi tidak dibarengi literasi (keuangan), masyarakat belum peka, mereka enggak lihat daftar (entitas legal) di OJK. Hanya asal ada entitas yang muncul di aplikasi langsung diunduh," katanya.
Baca juga: Mengenal Fintech, Bisnis Keuangan Berbasis Teknologi