Fakta Mencengangkan di Balik Tradisi Sunat Perempuan di Afrika
https://www.naviri.org/2018/06/sunat-perempuan.html
Naviri.Org - Masyarakat Indonesia, juga di negara-negara lain, tentu mengenal ritual sunat yang ditujukan untuk anak laki-laki. Dalam ritual sunat tersebut, kulit di ujung penis dipotong, sehingga kepala penis tidak lagi tertutup. Bisa dibilang, praktik sunat pada laki-laki adalah hal lazim yang bahkan dianggap bermanfaat secara medis. Namun, bagaimana dengan sunat pada perempuan?
Meski terdengar aneh, masih ada negara-negara yang menjalankan tradisi sunat pada perempuan. Di Afrika, misalnya, para perempuan harus menjalankan ritual sunat pada area genitalnya, dan hal itu dianggap sebagai keharusan, karena merupakan tradisi yang telah diwariskan berabad-abad.
Pemerintah setempat sebenarnya sudah melarang sunat bagi perempuan, namun masyarakat yang hidup di Kenya dan Afrika bagian Timur Tengah masih saja mempertahankan tradisi ini agar perempuan di sana tidak selingkuh.
Salah seorang yang mahir melakukan sunat ini, Anna-Moora Ndege (70), mengatakan, mutilasi organ kelamin perempuan harus dilakukan guna memastikan perempuan-perempuan di Kenya dan Afrika bagian Timur Tengah tetap setia, karena sudah tidak memiliki organ seksual.
"Ketika organ seksual itu dipotong, tidak akan ada lagi perempuan yang mencari pria di sana-sini seperti seorang pelacur," kata dia, dikutip dari situs Daily Mail.
Ketika organ seksualnya disunat, pekerjaan perempuan hanya menunggu suami di rumah dan melayani dengan sepenuh hati. Meski disunat, perempuan tersebut masih bisa hamil dan memiliki anak.
Penyunat lainnya, Agnes Keruba (62) mengatakan, sunat perempuan adalah festival penting yang harus dirayakan layaknya perayaan Natal. Karena semua orang akan berkumpul, menari, bernyanyi, makan, dan minum-minum.
Keruba setuju bila tradisi ini masih dipertahankan hingga hari ini. Sebab, ketika kelaminnya dipotong, perempuan tersebut akan tumbuh menjadi perempuan yang sehat, karena darah kotor yang dianggap tidak baik untuk tubuh sudah tidak ada lagi.
"Kini, di dalam tubuh hanya ada darah yang baik. Setelah kelamin seorang perempuan dipotong, darah yang buruk hilang dari tubuhnya," kata Keruba.
Beberapa komunitas di sana pun sependapat dengan Anna dan Keruba. Mereka percaya, perempuan tidak akan bisa hamil sebelum kelaminnya disunat.
"Keluarga justru khawatir apabila anaknya tidak disunat. Sebab, anak perempuan yang tidak disunat akan dikucilkan, bahkan akan dibuang dari desa. Lagi pula, perempuan tak perlu takut kelaminnya dipotong. Karena kelak, ‘kelaminnya akan tumbuh lagi sampai menyentuh lantai’," kata Ogeto, anggota komunitas kewanitaan di sana.
Ogeto menambahkan, seorang perempuan baru dianggap dewasa bila sudah disunat. "Setelah disunat, perempuan tersebut boleh bergabung bersama kami di komunitas ini. Setelah itu, dia baru boleh menikah dan hamil," kata Ogeto.
Budaya di mata masyarakat Afrika adalah segalanya. Jika ada satu masyarakat yang tidak menjalani atau percaya terhadap budaya tersebut, maka siap dikucilkan bahkan dibuang dari desa tersebut.
"Tidak disunat adalah budaya yang tabu. Seseorang yang hidup tanpa budaya adalah seorang budak," kata dia menambahkan.
Keruba kembali menjelaskan, jika perempuan tak disunat, klitorisnya masih tetap ada. Dengan begitu, dia tidak bisa membedakan antara suami dan laki-laki lainnya.
Baca juga: Sejarah Prajurit Wanita Perkasa dari Afrika