Demi Mendapat Mas Kawin, Perempuan di Kenya Rela Disunat

Naviri.Org - Setiap masyarakat memiliki tradisi atau ritual tertentu yang diwariskan turun temurun. Sebagian tradisi itu baik dan memiliki manfaat, secara langsung maupun tak langsung, namun sebagian tradisi lain ada yang sebenarnya tidak baik, tidak bermanfaat, dan sudah tidak relevan. Sayangnya, sangat sulit menghilangkan tradisi dari masyarakatnya yang masih memegang teguh.

Di Kenya, misalnya, ada tradisi sunat perempuan, yang sekarang disebut female genital mutilation (FGM). Tradisi itu telah ditentang, karena merugikan sekaligus menyakiti perempuan. Namun, masyarakat di sana masih teguh memegang tradisi tersebut.

Perempuan di Kenya dan Afrika bagian Timur Tengah hanya bisa pasrah ketika diharuskan menjalani mutilasi organ kelamin wanita (FGM). Mereka tidak bisa menolak, karena sunat ini telah menjadi tradisi sejak lama, yang dipercayai membawa keberuntungan bagi yang melakukannya.

Pemerintah negara Afrika dan negara-negara maju lainnya sudah mengeluarkan larangan melakukan FGM. Namun, masyarakat di sana tetap pada pendiriannya, mempertahankan adat ini, agar perempuan di sana lebih setia terhadap pasangannya. Sebab, bagi siapa saja yang tidak mematuhi peraturan tersebut, harus siap dikucilkan bahkan dikeluarkan dari desa tersebut.

Pun para orangtua, tak mampu berbuat apa-apa begitu tahu anak perempuannya harus meraung kesakitan karena menjalani FGM. Ekonomi adalah alasannya.

"Orangtua seorang perempuan yang tidak disunat, tidak bisa berharap banyak sang anak mendapatkan mas kawin ketika menikah nanti," kata Ogeto, pendiri komunitas kaum perempuan yang sudah disunat di Afrika, dikutip dari situs Daily Mail.

Menurut dia, seorang perempuan yang disunat akan mendapatkan uang dan sapi yang banyak sebagai mas kawin. Sedangkan perempuan yang tidak disunat, tidak mendapatkan sapi sama sekali, bahkan tidak mendapatkan mas kawin dalam bentuk apa pun.

Baca juga: Fakta Mencengangkan di Balik Tradisi Sunat Perempuan di Afrika