Sejarah Kelam Jepang yang Jarang Diketahui
https://www.naviri.org/2018/05/sejarah-kelam-jepang.html
Naviri.Org - Di masa lalu, pemerintah Jepang pernah memiliki kebijakan yang bisa dibilang mengerikan. Yaitu memaksa orang-orang tertentu untuk melakukan sterilisasi, dengan tujuan agar tidak bisa hamil atau tidak bisa memiliki keturunan. Orang-orang yang dipaksa melakukan sterilisasi itu di antaranya adalah mereka yang menyandang disabilitas, mengalami masalah mental, atau kekurangan tertentu.
Ketika Jepang memberlakukan kebijakan tersebut, ada puluhan ribu orang yang menjadi korban. Siapa pun yang dianggap “terbelakang” akan segera ditangkap untuk kemudian dipaksa untuk melakukan sterilisasi.
Japan Times pernah menerbitkan laporan tentang seorang perempuan setengah baya, yang menjadi salah satu dari sekian puluh ribu korban yang dipaksa melakukan sterilisasi di Jepang. Di usia kepala enam, perempuan asal Prefektur Miyagi, Sendai ini baru berani menggugat keadilan yang telah dirampas darinya berpuluh-puluh tahun lalu.
Pada 1958, ia melakukan operasi bibir sumbing. Lalu, pada tahun 1972, saat berumur 15 tahun, pengadilan memutuskan dirinya termasuk golongan individu dengan gangguan intelektual. Ia pun harus melakukan prosedur sterilisasi sesuai ketentuan perundang-undangan.
Selepas sterilisasi, ia harus menderita sakit fisik berupa nyeri bagian perut. Tak hanya itu, banyak laki-laki menolaknya sebagai istri, karena dianggap tak bisa menghasilkan keturunan. Jepang memang memiliki peraturan hukum yang mendiskriminasi orang dengan disabilitas, individu dengan penyakit mental, atau penyakit keturunan, hingga tahun 1996.
Mereka diharuskan melakukan sterilisasi atau aborsi paksa. Tujuannya adalah mengeliminasi generasi “inferior” di Jepang. Selain perempuan Sendai tadi, masih ada 25 ribu korban sterilisasi lain yang belum diberi kompensasi oleh pemerintah. Sebanyak 16.500 orang menjalani operasi tanpa persetujuan.
“Kami berjuang untuk mewujudkan masyarakat tanpa diskriminasi terhadap disabilitas,” kata sang adik ipar sebagai juru bicara penggugat.
Undang-undang serupa juga pernah diterapkan di Swedia dan di Jerman pada pemerintahan Nazi. Namun, pemerintah kedua negara tersebut telah meminta maaf secara terbuka, dan membayar kompensasi pada para korbannya. Pada 2016, Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) PBB merekomendasikan Jepang melakukan hal serupa dengan memberi kompensasi dan rehabilitasi.
Namun, hal tersebut belum mereka lakukan hingga sekarang. Pemerintah Jepang malah tak berencana menyelidiki kembali catatan kelam pelanggaran HAM yang pernah mereka lakukan. Dalihnya: kantor pemerintah telah membuang banyak catatan sterilisasi paksa.
Baca juga: Kesaksian Mengerikan dari Tragedi Pembantaian Nanking