Overwork, Hidup yang Ditimbuni Kerja Berlebihan
https://www.naviri.org/2018/05/overwork-hidup-yang-ditimbuni-kerja.html
Naviri.Org - Kemajuan teknologi seperti yang kita alami memang memungkinkan orang bisa bekerja di mana saja, karena ada sarana yang mendukung. Hanya dengan laptop dan telepon pintar, orang bisa bekerja di mana pun ia mau. Laptop bisa digunakan untuk mengerjakan tugas. Koneksi internet di dalamnya bisa dimanfaatkan untuk mengakses berkas-berkas di kantor yang perlu ditangani, sementara ponsel bisa digunakan untuk melakukan komunikasi secara mudah dan cepat.
Sekilas, kemajuan teknologi semacam itu menjadikan urusan kerja lebih menyenangkan, karena orang tidak perlu lagi berangkat ke kantor pagi hari dan baru pulang sore hari. Tetapi, nyatanya, kemajuan teknologi yang seharusnya menjadikan hidup lebih mudah itu justru menjadikan banyak orang ditimbuni pekerjaan secara berlebihan.
Hal pertama yang langsung berdampak dari gaya kerja zaman sekarang adalah ketidakjelasan kapan waktu kerja dan kapan waktu di luar kerja. Karena orang bisa bekerja di mana pun, maka artinya dia juga dianggap bisa bekerja selama apa pun. Itulah yang kemudian menjadikan orang berkubang dalam urusan pekerjaan yang nyaris tak pernah selesai, hingga tidak bisa menikmati kehidupan di luar kerja.
Bekerja terus menerus sampai merasa tak punya kehidupan personal alias “no life” menjadi bahan komplain di media sosial oleh sebagian karyawan. Namun di lain sisi, hal ini juga bisa dipandang sebagai cara seseorang meraih status dalam masyarakat. Michael Blanding menulis fenomena menarik ini dalam esainya yang dimuat situs Harvard Business School: "Having No Life is The New Aspirational Lifestyle".
Tulisan tersebut mengutip studi Bellezza et.al. pada Journal of Consumer Research (2017) yang menyimpulkan bahwa gaya hidup supersibuk telah menjadi simbol status aspirasional di kalangan orang-orang AS.
Penelitian mereka bermula dari hadirnya fenomena mengeluhkan kesibukan kerja di media sosial belakangan ini. Di Twitter, muncul cuitan-cuitan berisi ejekan terhadap diri sendiri karena saking sibuk bekerja sehingga kekurangan waktu bersantai yang disebut “humblebrag”.
Belleza et.al. memandang, cuitan macam itu terus berseliweran lantaran adanya anggapan di AS bahwa orang yang bekerja, terlebih yang supersibuk, memiliki status sosial lebih tinggi dibanding yang kelihatan menganggur. Pendapat ini juga dilandasi adanya etos American Dream: keyakinan orang-orang dari kelas mana pun bisa mendapat afirmasi sosial bila mereka bekerja keras.
Dalam penelitiannya, Bellezza et.al. menyuguhkan beberapa post yang menunjukkan aktivitas supersibuk seseorang kepada sekitar 300 responden. Setelah responden membaca sekian post, para peneliti meminta mereka untuk menyatakan persepsinya terhadap si pembuat post.
Jawabannya, orang tersebut dianggap punya profesi dengan jam kerja panjang, ia kompeten, ambisius, dan berniat mengubah dunia. Makin banyak informasi soal kesibukan kerja dipaparkan seseorang, makin mungkin ia dipandang berstatus sosial tinggi. Sebagai tambahan, tingkat status sosial seseorang juga bertambah bila ia diketahui memiliki pekerjaan yang berarti.
Ketika kondisi overwork tidak lagi terhindarkan, perlahan-lahan karyawan menormalisasi hal ini, bahkan menjadikannya lawakan di antara teman-teman yang menghadapi kondisi serupa. Curhat soal beban kerja adalah keluhan dan keprihatinan, pembentuk solidaritas sesama karyawan, atau malah menjadi cara mendulang pengakuan dari sekitar.
Baca juga: Di Karawang, Robot Mulai Menggantikan Tenaga Manusia