Konspirasi Negara Barat di Balik Pemerintahan Uganda
https://www.naviri.org/2018/05/konspirasi-negara-barat-di-balik-pemerintahan-uganda.html
Naviri.Org - Semula, Uganda adalah bagian dari jajahan Inggris. Ketika Uganda menjadi negara merdeka, Inggris merasa tidak bisa melepaskan begitu saja. Karenanya, Inggris kemudian mempersiapkan berbagai hal terkait Uganda, yang tujuannya untuk tetap menguntungkan Inggris. Dalam hal itu, Inggris bahkan menyiapkan presiden yang layak untuk Uganda. Orang yang mereka pilih adalah Idi Amin.
Uraian dalam buku Dirty Work 2—The CIA in Africa, karya Pat Hutton dan Jonathan Bloch, menyebutkan fakta yang lebih mencengangkan. Bahwa Idi Amin sebenarnya boneka barat yang dipasang dan dipelihara oleh kekuatan Barat, terutama oleh dan demi kepentingan Inggris.
Penyebab utamanya bisa dilacak sejak 1960-an, saat Obote (yang waktu itu menjadi pemimpin Uganda) mulai mengonsolidasikan kekuatan dan menerbitkan undang-undang yang yang merugikan kepentingan ekonomi negeri eks-penjajah. Meskipun Obote bukan Fidel Castro atau Julius Nyerere (aktivis anti kolonial Tanzania), nasionalisasi 80 perusahaan Inggris oleh Obote bukanlah kebijakan yang disenangi London.
Hutton dan Bloch membongkar rencana Inggris melalui cerita Rolf Steiner, seorang veteran tentara bayaran Jerman, yang menuliskan kisahnya di buku autobiografi berjudul The Last Adventurer.
Di akhir tahun 1960-an, Steiner ditugaskan oleh Pemerintah Israel untuk mendukung gerakan pemberontak Anya-Nya di Sudan bagian Selatan. Pemberontakan tersebut dirancang untuk menggoyang pemerintahan Sudan yang saat itu beraliansi dengan negara-negara Arab. Lewat misi ini, Israel ingin memastikan tak ada aliran dukungan dari Sudan ke bagian barat Mesir selama periode konflik Arab-Israel.
Pada suatu hari ia dikenalkan dengan seorang veteran tentara bayaran asal Inggris bernama Alexander Gay. Gay mengatakan bahwa dirinya mengemban tugas yang sama dengan Steiner, yakni menggoyang stabilitas pemerintahan Sudan dengan memakai tangan pemberontak Anya-Nya.
Steiner tak percaya begitu saja. Pada suatu kesempatan, Steiner memaksa Gay untuk memberi tahu misi sebenarnya mengapa ia dikirim ke selatan Sudan. Gay akhirnya mengaku bahwa perkara Sudan dan pemberontak Anya-Nya hanyalah dalih. Pemerintah Inggris tak menanam kepentingan apapun di tempat tersebut. Misi Gay sebenarnya adalah untuk mengkudeta atau membunuh Presiden Obote, dan menaikkan Amin sebagai rezim pengganti.
Mengapa Idi Amin?
“Pemerintah Inggris mengenal betul Idi Amin dan ia jadi pilihan pertama mereka, sebab dia adalah orang terbodoh dan paling mudah dimanipulasi,” kata Gay kepada Steiner, sebagaimana dinarasikan kembali oleh Hutton dan Bloch.
Inggris bergembira saat mendengar keberhasilan kudeta Amin. Media-media nasional seperti Daily Telegraph, The Times, dan The Daily Express mengangkat tajuk utama tentang masa depan Uganda yang lebih cerah. Amin melakukan denasionalisasi beberapa perusahaan negara. Pada Juli 1971 ia melawat ke London untuk bertemu Ratu Inggris dalam sebuah jamuan makan siang. Inggris menyalurkan bantuan ekonomi sebesar 10 juta poundsterling dan sejumlah peralatan militer.
Sayangnya, bulan madu ini hanya bertahan sebentar. Selang beberapa tahun usai berkuasa, Amin menampakkan wajah sejatinya.
Kekuasaan absolut membuat Amin sewenang-wenang mengambil kebijakan dalam dan luar negeri. Ekonomi Uganda kolaps sebagai buntut dari kebijakan pengambilalihan properti milik orang Asia dan Eropa. Penduduk Asia, yang kebanyakan berasal dari India, berjumlah sekitar 80.000 dan kebanyakan memiliki perusahaan besar yang menjadi tulang punggung ekonomi Uganda. Kebijakan Amin membuat perusahaan-perusahaan tersebut macet dan berdampak signifikan bagi ekonomi Uganda secara umum.
Inggris akhirnya menarik dukungan kepada rezim Amin dengan beberapa pertimbangan. Pertama, pembantaian Amin terhadap warganya sendiri. Dua, kedekatan Amin dengan negara-negara berhaluan sosialis seperti Uni Soviet dan Libya.
Ketiga, manuvernya pada Juni 1976 yang mengizinkan pesawat Air France dari Tel Aviv ke Paris yang sedang dibajak oleh dua anggota Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP) dan dua anggota German Revolutionäre Zellen untuk mendarat di Bandara Entebbe. Israel, sebagai anak kesayangan Inggris, menyelesaikan perkara ini lewat Operasi Entebbe yang digencarkan sebuah pasukan angkatan bersenjata Israel.
Dukungan militer pada Amin kian melemah sejak akhir tahun 1970-an. Pada tahun 1977 ia mulai ditinggal para menterinya. Di tengah krisis yang melanda tubuh pemerintahan, Amin masih sempat menyatakan perang dengan Tanzania. Penyebabnya adalah kecelakaan mobil yang dialami Wakil Presiden, Jenderal Mustafa Adrisi, pada November 1978 akibat pemberontakan pasukan penjaga Adrisi sendiri.
Amin mengirim pasukan untuk melawan para pemberontak, yang beberapa di antaranya melarikan diri ke wilayah Tanzania. Amin menuduh Presiden Tanzania, Julius Nyerere, menantang Uganda untuk perang terbuka. Ia pun memerintahkan militer Uganda untuk menyerbu wilayah Tanzania, dan sempat menganeksasi sebagian wilayah Kagera di dekat perbatasan.
Serangan balik Tanzania mampu membalikkan keadaan, sebab tentara nasionalnya didukung oleh kelompok pelarian dari Uganda yang membentuk Tentara Pembebasan Nasional Uganda (UNLA). Amin dipaksa mengasingkan diri pada 11 April 1979, berbarengan dengan jatuhnya Kota Kampala.
Sejenak Amin menetap di Libya, sebelum akhirnya keluarga kerajaan Arab Saudi memberinya tempat tinggal dan subsidi dengan satu syarat: menjauhi dunia politik. Amin patuh. Ia menjalani hidup normal hingga ajal menjemputnya pada 16 Agustus 2003.
Baca juga: Idi Amin, Orang Bodoh dan Buta Huruf yang Jadi Presiden