Kongo, Negara Kaya-Raya yang Ditikam Petaka
https://www.naviri.org/2018/05/kongo.html
Naviri.Org - Di antara negara-negara yang ada di Benua Afrika, yang rata-rata memiliki kandungan alam berlimpah, Republik Demokratik Kongo memiliki potensi besar untuk menjadi negara terkaya di muka bumi. Selain diberkahi kesuburan, tanah Kongo juga mengandung banyak kekayaan alam bernilai mahal. Emas dan koltan yang terkandung dalam komponen sirkuit elektronik telepon genggam dan komputer, salah satunya berasal dari Kongo.
Produksi uranium Kongo juga tersohor, termasuk yang dipakai untuk meracik bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki, Jepang. Beberapa produk mineral lainnya seperti berlian, kobalt, koltan hingga minyak bumi, menambah kekayaan tanah yang dulunya bernama Zaire ini.
Sayangnya, kekayaan sumber daya alam Kongo ternyata tak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyatnya. Alih-alih berkubang uang dan hidup mapan, berbagai jenis mineral berharga ini malah mendatangkan penderitaan berupa kolonialisme dan konflik bersenjata.
Situasi perebutan sumber daya alam yang bermula di bawah kolonialisme Belgia, terus berlanjut hingga hari ini. Berita-berita yang keluar dari Kongo lebih sering menampilkan wajah perang sipil antara pemerintah dan kelompok bersenjata, kediktatoran hingga korupsi.
Dilansir dari AFP, kobalt adalah salah satu mineral yang dipakai untuk produk baterai berteknologi tinggi. Mineral ini tersemat dalam baterai ponsel keluaran iPhone hingga mobil listrik Tesla. Dalam dua tahun terakhir, harganya sudah mencapai 81.500 dolar per ton.
Dengan predikat pemasok dua pertiga kobalt untuk pasar global, para penambang Kongo menjual biji kobalt berkualitas tinggi hanya sekitar 7.000 dollar per ton. Mereka seperti tak menyadari betapa harga kobalt tengah meroket.
Praktik penambangan kobalt di Kongo sering mendapat kritik dari kalangan LSM lantaran melibatkan para pekerja anak-anak dan dengan kondisi kerja yang berbahaya. Laporan Amnesty Internasional pada November 2017 menyebutkan bahwa hampir separuh dari 28 perusahaan besar dunia termasuk Microsoft, Renault dan Huawei, telah gagal membuktikan bahwa mereka tak meraup keuntungan dari penderitaan para pekerja anak di Kongo.
Laporan Amnesty Internasional lainnya menyebutkan sekitar 100 ribu sampai 150 ribu orang bekerja di tambang kobalt Kongo. Jumlah tersebut sudah termasuk anak-anak.
Milisi lokal aktif beroperasi di berbagai lokasi tambang. Mereka kerap menarik pungutan dari para penambang. Tentara pemerintah juga melakukan praktik serupa.
Seperti yang dilaporkan BBC, jika milisi bersenjata ini tak berhasil mengeruk pungutan, mereka akan pindah ke desa lain, kemudian meneror penduduk setempat, mencuri, memperkosa, bahkan membunuh warganya. Wilayah Kongo timur adalah sarang bagi puluhan kelompok milisi yang terus meneror penduduk lokal dan mengeksploitasi sumber daya mineral sejak 2003.
Pada September 2011, Guardian melaporkan bahwa para wanita korban pemerkosaan milisi di Kongo timur dipaksa bekerja untuk menambang emas, koltan dan timah, dalam status sebagai budak. Awalnya, mereka bekerja sebagai petani lokal yang punya perkebunan di dalam hutan. Tapi sejak semuanya dikuasai oleh milisi, para perempuan ini dipaksa beralih profesi tanpa dibayar.
Di provinsi North Kivu, pertambangan koltan kerap dikuasai oleh kelompok milisi yang tak segan membantai seisi desa apabila keinginannya tak dipenuhi. Kandungan koltan diperuntukkan bagi pembuatan komponen elektronik seperti kapasitor. Harga koltan bisa berlipat ganda ketika dibeli oleh pengepul dan dijual ke perusahaan besar dunia.
Baca juga: Kongo, di Antara Kekayaan dan Kekacauan Mengerikan