Di Masa Lalu, Pink adalah Warna untuk Pria
https://www.naviri.org/2018/05/di-masa-lalu-pink-adalah-warna-untuk-pria.html
Naviri.Org - Pink atau merah muda identik dengan kesan feminin, khususnya untuk orang-orang yang hidup di zaman ini. Karenanya, warna pink kerap lekat dengan hal-hal yang dikenakan wanita, semisal baju, tas, aksesoris, hingga benda-benda lainnya. Sebegitu identik pink dengan wanita, sampai orang akan menganggap aneh jika ada pria menyukai warna pink.
Pengidentikan warna itu bahkan telah dimulai sejak masih bayi. Orang-orang yang punya bayi perempuan biasa menyediakan aneka pernak-pernik berwarna pink, sementara bayi laki-laki diberi warna berbeda. Akibatnya, saat mereka tumbuh dewasa, mereka pun terbiasa dengan perbedaan atau penggolongan warna yang dikaitkan dengan jenis kelamin mereka.
Jika saat ini pink identik dengan wanita atau feminitas, di masa lalu sebenarnya pink justru lekat dengan kesan maskulin atau biasa dikenakan kaum pria.
Pada 1435, seorang arsitektur terkenal asal Italia, Leon Battista Alberti, melalui tulisannya "De Pictura" (terjemahan bahasa Inggris “On Painting” oleh Jhon R Spencer, 1970) memperkenalkan teori warna (color theory). Dalam teori itu, dideskripsikan mengenai warna pink, dan disebut sebagai warna maskulin.
Dipilihnya pink sebagai warna maskulin, karena warna tersebut sangat tegas dan keras sehingga cocok dengan jiwa pria. Tidak hanya itu saja, unsur warna pink juga sangat cocok dengan warna cokelat, yang kebetulan cocok dengan warna rambut kebanyakan pria di barat.
Di masa lalu, biru justru dianggap sebagai warna yang feminin. Jhon Gage dalam tulisannya, Color in Western Art: An Issue, mengatakan bahwa pada abad ke 18 hingga awal abad ke 19 terdapat 3 warna yang mewakili kasta sosial.
Warna pertama adalah emas (gold) mewakili warna kebangsawanan, kedua adalah warna merah (red) mewakili orang bebas (freemen), dan ketiga adalah warna biru (blue) mewakili para budak. Karena budak kebanyakan adalah wanita, maka biru pun melekat sebagai warna yang feminin.
Pembuktian bahwa warna pink adalah warna maskulin dan biru adalah warna feminin juga dilakukan oleh Profesor Jo B. Paoletti dari Universitas Maryland, Amerika Serikat.
Melalui situs resminya, pinkisforboys.org, ia mengatakan telah menghabiskan waktunya selama 30 tahun untuk meneliti warna kostum yang digunakan oleh anak-anak di Amerika Serikat pada abad 18 hingga 19. Hasil akhirnya ia tuliskan dalam bukunya, dengan judul Pink and Blue: Telling the Girls and the Boys in America.
Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa pada abad ke-18, hampir semua pakaian anak-anak di panti asuhan di Eropa dominan warna pink. Sementara di Amerika Serikat, pada era 1818 hingga 1882, warna-warna cerah seperti pink, putih, dan ungu, umumnya digunakan oleh para pria.
Laporan yang pernah dibuat oleh majalah Times pada tahun 1927 mengatakan bahwa warna pink pernah mendominasi toko pakaian untuk pria di Amerika Serikat, di antaranya adalah Best & Co di New York City, Filene’s di Boston, Halle’s di Ceveland, dan Marshall Field di Chicago.
Pada 1940 hingga 1950, warna pink tetap didefinisikan sebagai warna untuk maskulin, dan biru tetap dkategorikan sebagai warna wanita. Sehingga jangan heran bila di era 1950an, mobil Cadillac yang berwarna pink (Pink Cadillac) menjadi incaran serta diminati oleh kaum Adam.
Selain itu, dalam kepercayaan Jepang, mereka menganggap bahwa bunga sakura yang mekar dan berwarna pink merupakan perwujudan dari ksatria muda yang maju berperang demi meraih tujuannya menjadi ksatria sejati.
Lalu kapan warna pink dianggap warna feminin?
Banyak tulisan yang mengatakan perubahan itu terjadi pada 1960. Ada pula yang berpendapat citra pink berganti pada 1940, saat simbol segitiga berwarna pink (pink triangle) terbalik dipakai oleh rezim Hitler untuk menandai kaum homoseksual.
Namun, Profesor Jo B. Paoletti melalui bukunya mengatakan perubahan ini terjadi secara signifikan pada 1970an, yang diawali dengan munculnya gerakan pembebasan perempuan di pertengahan 1960an. Saat itu sedang gencar-gencarnya perempuan menuntut kesetaraan gender. Salah satu media yang paling ampuh untuk melakukan kritik adalah dunia fashion.
Dalam penemuan Paoletti, sebagaimana dilansir dari smithsonianmag.com, disebutkan bahwa pada 1970, katalog Sears Roebuck selama dua tahun menampilkan pakaian wanita berwarna pink yang divariasi dengan renda-renda. Tren fashion seperti ini kemudian berkembang hingga tahun 1980an, di mana banyak bayi perempuan dipakaikan baju-baju dan pernak-pernik warna pink.
Pengidentikan pink sebagai warna perempuan itu terjadi hingga sekarang, sampai-sampai jika ada pria yang memakai baju pink kerap dianggap pria feminin.
Tapi, angin tren selalu berubah. Mungkin akan tiba suatu masa di mana pink akan kembali identik sebagai warna maskulin. Atau yang lebih baik: tak ada lagi gender dalam warna.
Baca juga: Tiga Gelombang Besar Dalam Peradaban Manusia