Di Jepang, Bunuh Diri Menjadi Ladang Bisnis
https://www.naviri.org/2018/05/di-jepang-bunuh-diri-menjadi-ladang-bisnis.html
Naviri.Org - Mungkin terdengar dilematis. Faktanya, Jepang mengalami krisis dalam bentuk tingginya angka bunuh diri. Bagi keluarga yang ditinggalkan, hal itu tentu membuat sedih berkepanjangan, karena anggota keluarga mereka mati bunuh diri. Sementara itu, di sisi lain, ada pihak yang justru melihat itu sebagai peluang dan menjadikannya sebagai ladang bisnis. Mungkin tepat jika disebut bisnis kematian.
Tingkat bunuh diri di Jepang termasuk tertinggi di dunia. Sedikitnya 76 orang bunuh diri per hari di Jepang di tahun 2012, sesuai data kepolisian Jepang. Bayi pun juga sudah sangat jarang saat ini. Tak heran, Jepang sudah berbentuk piramida terbalik, dalam arti jauh lebih banyak orangtua (lansia) ketimbang generasi mudanya. Mengapa? Karena bayi atau anak dianggap beban hidup di Jepang. Bukan seperti di Indonesia, dianggap sebagai karunia dari Tuhan.
Bunuh diri di Jepang 25 persen karena rasa tanggung jawab di bidang keuangan, misalnya terbelit utang besar. Empat direksi perusahaan bunuh diri di Tokyo, karena perusahaannya terbelit utang besar. Dengan bunuh diri, mereka mendapatkan asuransi untuk membayar utang perusahaan, dan sisanya untuk keluarga mereka. Utang dibayar dengan nyawa.
Kini, setiap hari semakin banyak kasus kejahatan, pembunuhan, perkelahian, kekerasan dan bunuh diri, di Jepang. Bahkan seminggu sekali muncul kasus bunuh diri pelajar sekolah dengan gas beracun. Anak usia 14 tahun mengakhiri hidupnya dengan membuat gas beracun sendiri. Mengapa bisa mudah membuat dan melakukan demikian?
Saat ini, unsur yang sangat berbahaya di Jepang adalah KGI, yang merupakan singkatan Keitai (telepon genggam atau HP), Game, dan Internet. Dengan KGI di tangan seseorang, koneksi dunia dapat dilakukan dengan mudah berkat internet. Ponsel sudah lengket dengan manusia, game tak akan habis dimainkan sehingga lupa tugas kehidupan sehari-hari, dan internet mengaitkan segala macam informasi dari yang terbaik sampai terburuk. Kebanyakan yang terburuk paling populer dilihat, misalnya pornografi.
Berkat informasi sangat mudah didapat saat ini, anak kecil mulai sekolah dasar sampai orang dewasa mudah mencari segala macam informasi. Bagaimana meracik gas beracun, dengan mudah diperoleh di website Jepang, tentu dalam bahasa Jepang. Televisi yang menyiarkan bunuh diri memakai gas beracun, meningkatkan keinginan manusia yang stres untuk bunuh diri menggunakan cara yang sama, karena dianggap lebih mudah dan enak.
Itulah yang dilakukan anak muda Jepang yang bunuh diri. Tren bunuh diri pakai gas beracun. Akibatnya, sekeliling rumah, orang tak dikenal, jadi ikut korban. Ada yang koma, tak sadarkan diri dalam waktu lama, ada yang pingsan keracunan, dan sebagainya, terkena dampak gas beracun dari rumah atau kamar tetangga. Orang Jepang bilang, “Meiwaku desu”. Artinya, “sangat menyusahkan orang lain”.
Melihat kecenderungan bunuh diri yang tinggi di Jepang, bagi kalangan lain mungkin jadi kesempatan bisnis yang luar biasa bagus, terutama di bidang jasa.
Menyediakan jasa pengiriman jenazah, menyediakan jasa pengurusan pemakaman, menyediakan jasa upacara kematian, menyediakan jasa pembuatan peti mati atau membuat pot abu jenazah, dan sebagainya. Di sini terkadang Yakuza terlibat, karena bisnis kematian adalah bisnis menguntungkan di Jepang.
Kenyataannya, tidak murah mengurus kematian di Jepang. Mulai dari pengurusan di rumah sakit, pembakaran, sampai pemakaman di kuburan atau disimpan di kuil.
Terutama tempat pemakaman dengan harga sewa beragam tergantung lokasi, luas, dan bentuk makam. Kalau dilihat dari angka, untuk sewa makam saja sebulan paling murah sekitar satu juta rupiah. Tentu yang lebih mahal ada banyak. Ditambah lagi batu nisan yang perlu dihias/diukir, rumput makam, dan sebagainya.
Bunuh diri yang banyak terjadi di Jepang tentu saja tidak membawa hal positif bagi banyak manusia, terutama di Jepang. Tapi bagi kalangan bisnis pemakaman atau jasa kematian, memberikan keuntungan yang tidak sedikit karena semakin banyak orang meninggal dunia.
Baca juga: Di Jepang, Banyak Orang yang Ingin Masuk Penjara