Di Jepang, Banyak Orang yang Ingin Masuk Penjara
https://www.naviri.org/2018/05/di-jepang-banyak-orang-yang-ingin-masuk-penjara.html
Naviri.Org - Bayangkan kehidupan orang-orang lanjut usia yang tenaganya sudah sangat sedikit, sehingga tidak mampu lagi bekerja dan beraktivitas. Orang-orang lanjut usia itu juga tinggal sendirian, karena tidak ada keluarga. Dengan kondisi yang lemah, tanpa penghasilan untuk melanjutkan hidup, dan tidak ada orang atau keluarga yang merawat, mereka pun terpojok dalam kesepian dan sendirian.
Dalam kondisi semacam itu, ada banyak orang lanjut usia yang punya pikiran “kreatif”,yaitu berusaha masuk penjara, demi bisa mendapatkan tempat tinggal, makanan yang cukup, serta mendapat perawatan kesehatan.
Penjara menjadi surga bagi para tahanan lansia di Jepang. Mereka memperoleh tempat tinggal, layanan kesehatan, dan makan tiga kali sehari. Sebagian dari para lansia tersebut justru merasa senang tinggal di lapas meski minim kebebasan.
Menurut The Guardian, populasi tahanan penjara di Jepang mencapai 80.000 orang pada 2006, 12% di antaranya warga berumur 60 tahun ke atas. Sebanyak 1.000 tahanan kesulitan berjalan, makan sendiri, dan melakukan pekerjaan di penjara. Dari 46.637 orang berusia lebih dari 60 tahun ke atas yang dihukum, sebagian besar dinyatakan bersalah karena perbuatan mengutil, dan 23% sisanya karena melakukan pencurian kecil-kecilan.
Angka tahanan lansia, berdasarkan laporan Reuters, meningkat dari 7% ke angka 19% dari keseluruhan populasi penjara di Jepang. Dengan kata lain, sebanyak 9.308 orang lansia dipenjara. Dibandingkan negara lain, angka tersebut terbilang tinggi (Amerika sebesar 6%, dan 11 persen di Korea Selatan).
Penduduk Jepang memang didominasi kelompok lansia. BBC melaporkan bahwa Jepang memiliki 34,6 juta penduduk berusia di atas 65 tahun, yang kira-kira sebanding dengan 27,3% dari total populasi Jepang pada 2016.
Dari 34,6 juta itu, penduduk laki-laki berjumlah 14,99 juta jiwa, dan perempuan 19,64 juta jiwa. Menurut laporan tersebut, lebih dari setengah jumlah laki-laki berusia antara 65-69 tahun masih bekerja. Sementara di kelompok perempuan, pada rentang usia yang sama, hanya sepertiganya yang bekerja.
Dengan naiknya angka tahanan lansia, kebutuhan mereka di lapas pun ikut membengkak. Dilansir dari Business Insider, selain melakukan aktivitas pengamanan dan kerja-kerja administratif, petugas lapas juga mengerjakan pekerjaan harian seperti memandikan dan mengganti pakaian tahanan lansia.
Menurut Japan Times, situasi yang semakin memburuk mendorong pemerintah menyetujui rencana untuk mempekerjakan perawat sebagai pegawai di sejumlah tahanan, terhitung sejak April 2017. Dikutip dari National Public Radio, pemerintah Jepang menghabiskan banyak dana untuk membangun bangsal penjara khusus, yang mampu melayani kebutuhan tahanan lansia.
Yuki Shinko, peneliti dan penulis buku Old People Underworld, mengatakan bahwa para lansia melakukan tindak kejahatan karena merasa terisolasi dan bosan. “Ada semacam kerusakan moral akibat rasa gelisah, stres, dan marah, yang butuh penyaluran,” ujarnya pada National Public Radio.
Shinko pun mengingatkan bahwa fasilitas penjara yang bagus mungkin akan kontraproduktif sehingga gagal mencegah kejahatan lansia. "Kalau kau tertangkap, kau akan dapat fasilitas untuk tinggal, makan tiga kali sehari, dan pemeriksaan kesehatan,” katanya.
Dugaan Shinko bisa jadi benar. Menurut data pemerintah 2015 yang dilaporkan Reuters, seperempat dari tahanan berusia 65 tahun ke atas kembali masuk lapas dalam waktu dua tahun. Sebanyak 36% tahanan lansia yang tinggal di penjara pada 2016 kembali masuk sel untuk keenam kalinya. Angka tertinggi diraih kelompok pelanggar hukum perdana, yakni sebanyak 29% dari keseluruhan tahanan lansia.
Seperti yang dilaporkan Reuters, seorang mantan tahanan berumur 71 tahun, yang dipenjara tujuh kali karena pencurian dan penipuan, mengaku bahwa pekerjaan dan tempat tinggal yang sulit didapat membuatnya terus melakukan kejahatan. “Saya sendiri kenal beberapa orang yang sukarela kembali ke penjara,” ucap sang kakek. ”Selama kau dipenjara, kau dapat makanan dan kamar.”
Nasib tahanan wanita lansia
Ibu T, 80 tahun, dipenjara dua setengah tahun gara-gara mencuri wajan, benih, dan telur ikan kod. Ia mengaku mulai mengutil di usia 70 tahun. Ibu T menilap sebab ia tidak ingin pulang ke rumah, dan bukan karena tidak punya uang. Ia mencari pertolongan di penjara.
“Suami saya terkena stroke enam tahun lalu, dan sejak saat itu hanya terbaring di tempat tidur. Ia juga mengidap demensia, dan menderita paranoia dan delusi. Merawatnya adalah pekerjaan berat, baik secara fisik maupun mental, karena saya sudah tua. Tapi saya tidak bisa berbicara tentang stres yang saya alami karena malu,” ujarnya.
Ibu T mengaku kehidupannya lebih mudah setelah ia dipenjara. “Saya bisa menjadi diri saya sendiri dan bernapas, meski hanya sementara,” katanya.
Pengalaman menyenangkan hidup di penjara dirasakan pula oleh Ibu N. Di usia 80 tahun, ia harus mendekam di penjara selama tiga tahun dua bulan, karena mencuri kipas tangan, kroket, dan buku. “Saya merasa senang dengan kehidupan di penjara. Selalu ada orang di sekitar, dan saya tidak merasa sendirian di sini,” akunya.
Ibu N mengaku mencuri karena kesepian. “Saya selalu kesepian setiap hari. Suami saya memberikan banyak uang, dan orang lain selalu bilang betapa beruntungnya saya, tapi uang bukan yang saya inginkan,” ungkap Ibu N.
Kisah Ibu T dan Ibu N di atas dirangkum dari liputan Bloomberg. Nyaris 1 dari 5 perempuan di penjara Jepang adalah lansia. Kebanyakan di antara mereka dihukum karena perbuatan mencuri.
Kasus penilapan oleh nenek-nenek, menurut Bloomberg, terjadi karena dua hal. Pertama, para lansia cenderung hidup sendiri, tidak lagi satu rumah dengan keluarga. Survei yang dilakukan pemerintah Tokyo pada 2017 menunjukkan, lebih dari separuh lansia yang tertangkap mengutil hidup sendiri, dan 40% dari mereka tidak mempunyai atau jarang berkomunikasi dengan keluarga. Kedua, orang lanjut usia, terutama perempuan, rentan memiliki masalah ekonomi.
Alviany Muntaz, dalam makalah “Dampak Koreika Shakai Terhadap Lansia di Jepang” (2013) menjelaskan bahwa perubahan struktur keluarga dalam masyarakat Jepang membuat wanita lansia cenderung hidup tanpa ditemani keluarga.
Masyarakat Jepang mempunyai sistem keluarga Ie, yang merupakan struktur rumah tangga yang terdiri dari tiga generasi, yakni nenek-kakek, ayah-ibu, dan anak (San-Sedai Setai). Setelah Perang Dunia II, sistem keluarga itu berubah, menyusul urbanisasi akibat industrialisasi besar-besaran di Jepang.
Para pendatang dari desa lantas mulai tinggal menetap di sekitar lokasi kerja, dan membentuk keluarga sendiri. Struktur keluarga yang semula menganut sistem San-Sedai Setai menjadi Kaku-Kazoku Setai. Dalam Kaku-Kazoku Setai, nenek-kakek tidak lagi termasuk dalam sistem keluarga.
Di desa, kakek dan nenek hidup berdua, dan setelah pasangannya meninggal, mereka harus hidup seorang diri. Di Jepang, struktur keluarga yang hanya terdiri dari satu orang disebut Tandoku-Setai. Tandoku-Setai lebih banyak dilakukan oleh wanita lansia, sebab rata-rata usia harapan hidup mereka lebih panjang daripada laki-laki.
Data Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Sosial Jepang (PDF) menyebut usia harapan hidup wanita Jepang adalah 74,21 tahun, lebih lama dibandingkan laki-laki yang mencapai umur 71,19 tahun.
Di sisi lain, rentannya ekonomi wanita lansia Jepang terjadi karena sedikitnya penghasilan yang mereka peroleh. Jepang memiliki dua skema dana pensiun yang diberikan pemerintah, yakni kokumin nenkin dan kousei nenkin, yang berlaku sejak tahun 1957.
Kokunin nenkin diberikan pada warga yang tidak bekerja pada perusahaan seperti petani, wiraswasta, ibu rumah tangga, dan lain-lain, sedangkan kousei nenkin adalah dana pensiun yang berlaku untuk karyawan kantoran.
Alvianny mengatakan jumlah dana kokunin nenkin tidak sebesar kousei nenkin. Sementara itu, besaran kousei nenkin bergantung pada besarnya gaji dan lamanya seseorang bekerja di perusahaan. Dengan begitu, perempuan Jepang yang tidak mempunyai kesempatan bekerja penuh hingga memasuki batas usia pensiun bisa mendapatkan dana gaji lebih sedikit. Bagi para istri yang tidak bekerja dan ditinggal pergi suaminya, mereka hanya bisa memperoleh setengah dari dana pensiun.
Keadaan ekonomi yang rentan makin dipersulit dengan keengganan mereka tinggal bersama keluarga karena dinilai merepotkan. Para wanita lansia pun tinggal sendiri dan mengandalkan dana pensiun, juga imbalan kerja paruh waktu guna menyambung hidup.
Baca juga: Jepang, Negara Maju dengan Jumlah Utang Terbesar