Sejarah dan Perkembangan Musik Dangdut di Indonesia
https://www.naviri.org/2018/04/sejarah-dan-perkembangan-musik-dangdut.html
Naviri.Org - Dangdut adalah musik khas Indonesia yang sangat populer, bahkan sampai mancanegara. Musik dangdut telah melahirkan tak terhitung banyaknya penyanyi, pria maupun wanita, yang kemudian dikenal sebagai penyanyi-penyanyi legendaris Indonesia.
Siapa pun pasti mengenal Rhoma Irama, penyanyi dan pencipta lagu yang disebut Raja Dangdut Indonesia. Rhoma Irama telah mencipta dan menyanyikan lagu dalam jumlah tak terhitung banyaknya, dan lagu-lagunya abadi, dinyanyikan dari masa ke masa.
Sezaman dengan Rhoma Irama, ada banyak penyanyi lain, dari A. Rafiq, Hamdan ATT, Meggy Z, dan lain-lain. Sementara yang wanita, kita bisa menyebut nama Camelia Malik, Rita Sugiarto, Itje Trisnawati, dan lain-lain.
Yang menarik, lagu dangdut terus berkembang dan mengalami perkembangan yang dinamis. Setelah sempat muncul genre dangdut disco yang pernah populer pada akhir 1990-an, misalnya, kini kita mengenal genre baru yang disebut dangdut koplo. Sebagaimana bentuk genre lain, dangdut koplo juga memunculkan penyanyi-penyanyi terkenal, di antaranya Nella Kharisma dan Via Vallen.
Bagaimana sebenarnya sejarah lagu dangdut di Indonesia?
Berakar dari orkes Melayu yang nuansa musiknya sangat dipengaruhi musik (film) India dan musik populer Timur Tengah, dengan irama gendang dan suling yang menjadi ciri khas, dangdut mulai berkembang pada 1950-an dan 1960-an. Sejumlah musisi seperti Ellya Khadam, Munif Bahasuan, dan A. Rafiq dikenal sebagai musisi periode tersebut.
Dalam perjalanannya, beragam sentuhan genre musik lain turut mewarnai dangdut. Pada awal 1970-an, "Raja Dangdut" Rhoma Irama memasukkan unsur suara dan gaya pertunjukan ala rock Amerika Serikat (AS) dan Inggris ke dalam musik dangdut. Sementara itu, A. Rafiq selalu bergaya bak bintang rock n roll AS, Elvis Presley, dalam pertunjukannya.
Selain unsur-unsur yang berasal dari luar negeri, dangdut juga berbaur dengan elemen musik lokal. Andrew Weintraub, dalam Dangdut Stories, menyebutkan bahwa setelah kejatuhan Soeharto, dangdut etnik menyebar dan merasuki kancah musik lokal di banyak bagian di Indonesia.
“Dangdut awalnya diasosiasikan dengan Melayu dan India pada 1970-an, kemudian ditandai ulang sebagai musik nasional pada 1980-an dan 1990-an, telah berkembang menjadi sesuatu yang ‘etnik’ dan ‘kedaerahan’ pada 2000-an,” sebut Weintraub.
Di Sumatera Barat berkembang saluang dangdut Minang, sedangkan di Jawa Barat berkembang jaipong-dut Sunda dan tarling Cirebonan. Sementara itu, di Jawa Timur berkembang dangdut koplo. Kancah koplo inilah yang melahirkan Via Vallen dan Nella Kharisma.
“Memang dari awal Via jalannya dari dangdut koplo, sih. Via berangkatnya memang dari musik dangdut koplo. Masak, iya, ibaratnya udah sampai di tempat, Via mau banting setir pindah dari musik koplo ke musik yang lain. Itu kayaknya jahat banget, ya. Jadi Via tetap konsisten di jalur musik (koplo),” ujar Via Vallen dalam suatu wawancara kepada CNN Indonesia TV.
Lantas apa yang membuat dangdut koplo berbeda dengan format dangdut lainnya? Tak lain adalah pola tabuhan gendangnya. Berdasarkan pola yang dipetakan Weintraub, irama gendang dangdut koplo mengandung tabuhan "dang" dua kali lebih banyak daripada "dut". Ia juga memiliki tempo lebih cepat dari irama gendang dangdut biasanya.
Irama ini yang kemudian menjadi asal-usul kata "koplo". Kata tersebut digunakan karena irama dangdut koplo seolah merangsang pendengarnya untuk nge-fly, sensasi yang dirasakan setelah menenggak pil koplo – jenis obat-obatan yang menyebabkan halusinasi, dan dijual murah di Indonesia.
Penamaan koplo, dengan merujuk harga pil koplo yang relatif murah sehingga mudah diakses, juga menjadi perumpamaan bahwa dangdut koplo adalah musik rakyat, lahir dari akar rumput.
Lantas, siapa pencipta irama gendang dangdut koplo?
Jawabannya masih problematis. Dalam “The Sound and Spectacle of Dangdut Koplo”, Weintraub menyebut bahwa irama tersebut berkembang di Jawa Timur, tetapi asal-usulnya sulit ditentukan. Waryo dari grup OM Armega dan Slamet Rudi Hartono dari grup Palapa sering disebut sebagai pemain gendang yang memopulerkan irama gendang koplo.
Namun, musisi Abdul Malik B.Z. mengklaim pernah memasukkan irama gendang serupa koplo ke dalam komposisi musiknya pada 1970-an. Pemain gendang di Jawa Barat pun berteori bahwa irama gendang koplo merupakan turunan dari motif gendang mincid jaipongan Sunda.
Selain irama gendangnya, dangdut koplo juga tidak lengkap tanpa senggakan (sorakan) usil yang menyelip di tengah lagu. Dalam sebuah lagu dangdut koplo, para penyanyi atau pemain alat musik jamak menyambar dengan kata-kata seperti “dum plak ting ting joss”, “hok ya”, atau “asolole”. Bahkan beberapa kata terkesan lebih vulgar: “buka sitik joss”, “Icik-icik Ehem-ehem”, “Geli Dikit nyoh”, “ea e ea e ea e”, hingga “ayoo mass”.
Michael Haryo Bagus Raditya, dalam “Esensi Senggakan Pada Dangdut Koplo Sebagai Identitas Musikal”, mengatakan kata-kata yang muncul dalam senggakan bermakna lebih transparan dan lebih alami, sebagai bentuk ekspresi kebebasan. Menurutnya, senggakan juga wujud dari pertunjukan yang partisipatoris.
“Penonton dan pemain seakan tidak ada jarak, tidak ada beda, dan saling berinteraksi dalam merespons aktivitas yang ada. Aktivitas seperti halnya penyanyi menanyakan judul lagu yang diinginkan, mengajak bernyanyi, menggoda para penonton yang bergoyang,” sebut Michael. “Sedangkan pada lingkup pemusik, pemusik juga melihat dari joget penonton. Ketika joget sudah berlangsung, maka tempo dan joget akan diklimakskan dengan iringan musik yang lebih cepat dan semangat.”
Baca juga: Sejarah dan Asal Usul Dangdut Koplo