Sejarah Panjang Lahirnya Bank BRI di Indonesia
https://www.naviri.org/2018/04/sejarah-bank-bri.html
Naviri.Org - BRI (Bank Rakyat Indonesia) termasuk bank yang sangat populer, karena nyaris bisa ditemukan di mana pun, termasuk di daerah-daerah yang relatif terpencil atau di kota-kota kecil. Karenanya, BRI benar-benar mencerminkan namanya sebagai bank yang mudah diakses rakyat di mana pun.
Saat ini, BRI sudah menjadi salah satu bank besar, yang diandalkan jutaan orang Indonesia untuk urusan menabung, menyimpan dana dalam bentuk deposito, sampai untuk keperluan utang atau kredit. Melihat wujudnya sekarang, mungkin jarang yang tahu, kalau cikal bakal BRI adalah kas masjid. BRI juga telah menempuh perjalanan panjang sejarah hingga bisa seperti sekarang. Berikut ini kisahnya.
Satu hari di tahun 1894, seorang guru sekolah di Banyumas mengadakan tayuban dalam rangka sunatan anaknya. Patih Banyumas, yang juga menjadi wakil bupati, Raden Bei Aria Wirjaatmadja, hadir dalam acara itu. Wirjaatmadja tahu besaran gaji seorang guru sekolah. Pesta sunatan itu terlalu besar untuk seorang guru, menurut Wirjaatmatja.
Sang patih pun mendekati sang guru untuk bertanya soal sumber dana pesta sunatan itu. Sang guru mengaku jika dirinya telah meminjam uang dari seorang warga dengan bunga tinggi. Begitu cerita dalam buku One Hundred Years Bank Rakyat Indonesia, 1895-1995 (1995:5-6).
Pinjam-meminjam dengan lintah darat sudah jadi kebiasaan priyayi lainnya di zaman itu. Patih Wirjaatmadja memperkirakan, tak hanya guru ini saja yang berutang pada lintah darat. “Dia ingin menolong mereka,” tulis buku tersebut.
Wirjaatmadja adalah pegawai yang baik dan ahli dalam keuangan. Setidaknya di mata atasannya, Asisten Residen E. Sieburgh. Sejak April 1894, Wirjaatmadja sudah dipercayai mengelola kas masjid kota Purwokerto sebesar 4.000 gulden. Uang itu juga kemudian dipakai untuk memberi pinjaman kepada pegawai rendahan yang membutuhkan. Golongan berikutnya yang ditolong adalah petani.
Menurut Warta BRI (1982:5), De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden alias Bank Simpan Pinjam Pemuka Bumputra Purwokerto lalu didirikan pada 16 Desember 1895, oleh R. Wiriaatmadja; R. Atma Soepradja; R. Atma Soebrata, dan R. Djaja Soemitra. Setelah ganti asisten residen, dari E Sieburgh ke Wolff van Westerrode, bank ini terus dikembangkan.
Pada 1897, bank tersebut ganti nama menjadi Poerwokertosche Hulp en Spaar Landbouw Credietbank alias Bank Kredit Simpan Pinjam Pertanian Purwokerto. Pada tahun berikutnya, bank ini dikenal sebagai Volksbank alias Bank Rakyat, kadang diterjemahkan sebagai Bank Desa, yang tumbuh di beberapa tempat.
Sebelum jadi serdadu, sekitar 1939-1940, Soeharto pernah bekerja di sebuah Volksbank di Wuryantoro, Wonogiri. “Ia diterima sebagai pembantu klerk (juru tulis) di sebuah bank desa (Volksbank),” tulis OG Roeder dalam Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto (1971:168).
Pekerjaan itu mengharuskannya berkeliling desa memakai sepeda, dengan memakai pakaian jawa lengkap. Sialnya, pada suatu hari, kain pinjaman dari bibinya tersangkut di pedal sepeda, dan rusak. Setelah itu dia berhenti dari pekerjaannya.
Berdasar Staatsblad No. 82 tahun 1934, setelah melewati depresi ekonomi dunia atau malaise 1929, bank umum kredit rakyat alias Algemene Volkscrediet Bank (AVB) didirikan pada 19 Februari 1934.
Tahun 1936 dan 1937, menurut Sumitro Djojohadikusumo dalam Kredit Rakyat Di Masa Depresi (1989:115), “Keadaan ekonomi penduduk mengalami perbaikan yang berarti, setidak-tidaknya di banyak daerah di Luar Jawa, sehingga tercatat hasil-hasil yang tidak mengecewakan oleh berbagai golongan penduduk.”
Setelah bala tentara Jepang mendarat dan menggantikan Hindia Belanda, AVB tak beroperasi. Menurut Faried Wijaya Mansyoer, dalam Perkreditan & Bank dan Lembaga-lembaga Keuangan Kita (1991:82), “Zaman Pendudukan Jepang, nama AVB diubah menjadi Syomin Ginko, berdasarkan Osamu Seirei No. 8 tahun 2602 (tahun Jepang).”
Sekitar bulan Oktober 1942 itu, bekas AVB yang bersalin jadi Syomin Ginko dibuka kembali. Nama Syomin Ginko hanya bertahan hingga menyerahnya bala tentara Jepang di Indonesia.
Setelah tentara Jepang menyerah kalah, Syomin Ginko dikendalikan orang-orang Indonesia. “Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 1 tahun 1946 (tanggal 22 Februari 1946), bank ini berganti nama menjadi Bank Rakjat Indonesia (BRI) dengan status sebagai Bank Pemerintah,” tulis Djokosantoso Moeljono, dalam Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi (2003:75). Di masa revolusi, pada 1948, bank ini sempat tak bisa berjalan, karena konflik fisik Indonesia-Belanda.
Setelah keadaan pulih karena kesepakatan Roem Royen pada 1949, BRI bisa beroperasi lagi. Di zaman Republik Indonesia Serikat, bank ini sempat dinamai Bank Rakjat Indonesia Serikat (BARRIS). BRI sempat dilebur bersama Nederlandsch Handels Maatschapijj serta Bank Tani dan Nelajan, dalam Bank Koperasi Tani dan Nelajan (BKTN), berdasar PERPU nomor 41 tahun 1960.
Pada 1965, bank tersebut dimasukkan dalam Bank Indonesia Urusan Koperasi, Tani dan Nelajan (BIUKTN). BIUKTN bekas BRI kemudian digabung dengan Bank Tabungan Negara, menjadi Bank Negara Indonesia Unit II bidang Rural. Namun, berdasar UU Nomor 21 tahun 1968, Bank Negara Indonesia Unit II Bidang Rural itu kembali dikenal sebagai Bank Rakjat Indonesia (BRI).
Pada 1992, BRI berubah menjadi perseroan terbatas, dengan 100 persen saham milik pemerintah. Pada tahun 2003, status BRI berubah menjadi perusahaan publik, setelah pemerintah melepas 30 persen sahamnya ke publik.
Kas masjid dan hubungan dengan ulama
Pada saat didirikan pada 1895, BRI dimaksudkan untuk mengelola kas masjid, yang disalurkan kepada masyarakat melalui skema pinjaman yang sederhana. Uang yang digunakan sebagai pinjaman di awal sejarah BRI adalah uang dari kas masjid Purwokerto, yang dipercayakan kepada Wirjaatmadja. Dalam perkembangannya, BRI akhirnya tidak lagi mengelola dana kas masjid. Hubungan dengan masjid atau ulama kemudian terputus.
“Saat mula-mula didirikan, bank ini sudah menjalin hubungan dengan mesjid dan ulama-ulama setempat. Hubungan BRI-mesjid, kemudian seperti terputus begitu saja,” tulis Ohiao Halawa, dalam Kisah Sukses Para Manajer: Profil 4 Top Eksekutif Indonesia (1992:54).
Keputusan Muhammadiyah yang dipimpin Abdul Rozak Fachruddin untuk berhubungan dengan BRI menjadi hal penting dalam hubungan BRI dengan ulama pada 1989. Terutama sekali berkaitan dengan perkembangan soal kehalalan penggunaan bank.
“Kerja sama dengan bank untuk pertama kalinya ini merupakan langkah yang berani, karena di lingkungan umat Islam masih terdapat perbedaan pendapat tentang kehalalan bank, terutama berkaitan dengan riba dan bunga bank,” tulis buku 1 Abad Muhammadiyah: Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan (2012:288).
Kerjasama BRI dengan Muhammadiyah itu dilakukan di Gedung BRI, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, pada 25 April 1989. Menurut Aris Saefulloh, dalam Gus Dur vs Amin Rais (2003:58), pendirian BRI oleh Wirjaatmadja adalah “awal kesadaran dan kebangkitan Islam di Indonesia pada jaman modern".
Kas masjid yang jumlahnya 4.000 gulden milik umat Islam yang dikelola Wirjaatmadja lalu menjadi sumbangan orang-orang Islam Jawa kepada orang-orang yang membutuhkan dana segar, dan akhirnya menjadi sebuah aset besar yang kini dikenal sebagai BRI.
Baca juga: Sejarah, Asal Usul, dan Perkembangan Bank Central Asia