Upaya Jepang “Menjajah” Dunia dengan Produk Mereka
https://www.naviri.org/2018/04/produk-jepang.html
Naviri.Org - Jepang, saat ini, dikenal sebagai negara yang produktif sekaligus ekspansif dalam menghasilkan aneka produk. Dari mobil sampai lemari es, dari televisi sampai kipas angin, bahkan sampai industri pakaian dan hiburan, Jepang nyaris menguasai semua bidang. Produk-produk Jepang tersebut juga tidak hanya sukses di negeri sendiri, namun juga “menjajah” negara-negara lain.
Di Indonesia saja, misalnya, banyak sekali produk yang berasal dari Jepang. Lemari es, pompa air, televisi, kipas angin, dan berbagai barang elektronik lain, nyaris semuanya dari Jepang. Sementara mobil dan sepeda motor produksi Jepang juga mudah ditemukan di mana pun.
Melihat kesuksesan Jepang dalam melakukan ekspansi produk ke banyak negara di dunia saat ini, mungkin sebagian kita tidak pernah membayangkan bahwa di masa lalu produk Jepang bisa dibilang tidak disukai. Pasalnya, di masa lalu, produk-produk Jepang dianggap tak jauh beda dengan produk-produk asal Cina—berkualitas rendah dan tak terpercaya.
Jepang yang kini hadir sebagai salah satu raksasa teknologi dunia, mulai dari industri otomotif hingga elektronika rumah tangga, juga pernah menerima stigma buruk soal produknya yang menyalin desain dan merek dagang, standar kualitas rendah, dan buruk. Stigma itu juga datang dari rakyat mereka sendiri.
Akira Nagashima pernah melakukan survei pada 1965 dan 1967 untuk membandingkan bagaimana tanggapan konsumen terkait produk Jepang, AS, Inggris, Jerman, dan Italia. Dalam tulisannya, berjudul A Comparison of Japanese and U.S Attitudes Toward Foreign Products, ia mengungkapkan bahwa warga Jepang menganggap made in Japan adalah produk murah dengan proses pengerjaan buruk.
Dalam survei, Akira juga mengelompokkan produk berdasarkan jenis, misalnya otomotif, peralatan elektronika, tekstil, kosmetik, makanan, dan obat-obatan. Para pebisnis AS dan Jepang disurvei, negara mana yang produknya paling bagus berdasarkan harga, kualitas, desain, servis, dan lainnya.
Untuk kelompok otomotif, 81 persen pebisnis AS memilih produk dalam negeri dan tak ada yang memilih Jepang. Sedangkan 54 persen pebisnis Jepang juga memilih produk AS dan hanya 5 persen yang memilih produk lokal Jepang.
Sedangkan untuk barang elektronika, 94 persen pebisnis AS tentu memilih produk AS dan hanya 4,5 persen yang memilih produk Jepang. Di sisi lain pebisnis Jepang sebanyak 40 persen memilih produk AS dan 48 persen memilih produk dalam negeri.
Sedangkan untuk kosmetik, para pebisnis AS tak memilih salah satu negara, sedangkan pebisnis Jepang memilih produk Perancis. Jumlahnya mencapai 81 persen. Hanya 9 persen orang Jepang yang memilih produk kosmetik dalam negeri.
Masih dalam tulisan Akira, ia mengungkapkan bahwa warga Jepang menganggap produk AS memiliki nilai gengsi lebih dibanding lainnya. Salah satu strategi AS menarik konsumen saat itu dengan gencar melakukan pemasaran dengan iklan yang masif, sehingga produknya gampang dikenal dibanding produk lainnya.
Namun, seiring waktu berjalan, setelah 1970-an, Jepang mulai mengubah industrinya dengan membangun produk-produk yang berkualitas dan memperluas pasar di seluruh dunia. Di Brazil, produk Kanban, 5S, dan Kaizen sangatlah popular. Produk Jepang juga banyak dikenal lewat merek elektronika dan otomotif. Bahkan sebelum Volkswagen (VW/Jerman) mengambil alih pasar mobil, Toyota selama beberapa tahun memimpin penjualan mobil dunia.
Namun, memiliki produk berkualitas dan menjadi salah satu pemimpin negara industri tak lantas akan mengukuhkan Jepang di puncak pasar. Akhir-akhir ini produk Jepang tengah diuji dengan berbagai skandal seperti recall air bag Takata, skandal Olympus, atau skandal Nissan.
Hugh Cortazzi yang menjabat sebagai duta besar Inggris untuk Jepang pada 1980-1984 mengkritik bagaimana Jepang berusaha menutupi skandal-skandal tersebut termasuk berbuat curang, sehingga tak ada yang dipenjara terkait skandal yang terjadi pada Olympus. Menurut Hugh, hal ini dapat mencoreng reputasi produk Jepang, seperti peribahasa "Nila setitik, rusak susu sebelanga".
Baca juga: Jepang, Negara Maju dengan Jumlah Utang Terbesar