Produk Cina, Dulu Dihina Sekarang Dipuja
https://www.naviri.org/2018/04/produk-cina.html
Naviri.Org - Di masa lalu, produk-produk Cina dipandang sebelah mata. Selain dianggap berkualitas rendah, produk-produk Cina juga dikenal sebagai tiruan. Ada banyak produk dari Cina, meliputi ponsel dan yang lain, yang lahir dari meniru produk serupa. Anda mungkin ingat awal kemunculan ponsel-ponsel asal Cina, yang masuk ke Indonesia. Di masa itu, kebanyakan ponsel Cina memiliki ciri fisik yang mirip dengan ponsel-ponsel lain yang lebih terkenal, semisal ponsel Nokia atau Apple.
Image mengenai rendahnya produk Cina juga terdapat pada harganya yang relatif murah atau lebih murah dibanding produk-produk sejenis. Dengan semua kenyataan itu, konsumen pun seperti digiring untuk meyakini kalau produk Cina memang berkualitas rendah.
Kenyataannya, di banyak negara, produk Cina dianggap sebagai produk yang berkualitas rendah. Banyak kasus yang mendukung anggapan miring tersebut. Dalam tulisan David Volodzko, berjudul How 'Made in China' Became a Stigma, yang dimuat The Diplomat, ia memaparkan bagaimana produk Cina awalnya selalu mendapat stigma buruk dari konsumen.
Ia mengambil contoh bagaimana skandal susu pada 2008, insektisida dalam pangsit, telur yang tercemar melamin, urea dalam kacang panjang, beras plastik, hingga formaldehid dalam bir, merusak reputasi produk Cina dan menjadi pengalaman buruk bagi konsumen pada masa lalu.
Selain pada produk makanan, Cina yang mulai merambah industri ponsel pintar juga diterpa stigma miring bahwa produk Cina hanya unggul pada harga yang murah namun memiliki kualitas rendah. Di awal kemunculannya, ponsel Cina memang dibanderol dengan harga murah yang jauh di bawah produk AS, yaitu Apple atau Samsung dari Korea Selatan.
Pandangan konsumen bahwa “harga menentukan kualitas” membuat produk Cina tak banyak dilirik, meski awalnya harga murah itu untuk menarik konsumen yang selama ini dihadapkan pada harga ponsel Apple atau Samsung yang mahal.
Stigma buruk pada produk Cina juga yang menjadi salah satu batu sandungan kala vendor ingin melebarkan pasarnya ke dunia Barat. Di mata konsumen, produk Barat memiliki kualitas bagus, menangkap tren, dan lebih mutakhir dibandingkan produk Cina.
Namun, Cina mulai menjungkirbalikkan stigma tersebut hingga tak berlaku lagi untuk saat ini, terutama untuk produk ponsel pintar. Inovasi tentu menjadi kunci Cina dalam meraih kesuksesan saat ini.
Pada 2011, sekitar 70 persen penjualan ponsel pintar di pasar Cina dikuasai oleh Nokia, Samsung, dan Apple. Namun berdasarkan laporan Statista, pada 2016 ponsel lokal Cina seperti Huawei, OPPO, Vivo, dan Xiomi menjadi ponsel paling laris, mengalahkan Apple dan Samsung.
Kondisi itu terus berlanjut hingga 2017. Penjualan empat merek ponsel itu kian meningkat dan berhasil menguasai 69 persen pasar ponsel pintar Cina pada kuartal II-2017. Sedangkan Apple turun 0,3 persen, dan Samsung terjun bebas dengan penurunan sebesar 4 persen, dibandingkan kuartal yang sama di 2016.
Secara Global, ponsel Cina memang belum mampu mengalahkan Samsung dan Apple. Namun, tiga produk Cina yaitu Huawei, OPPO, dan Vivo, mulai menempel kedua produk internasional itu dengan berada tak tepat di posisi ketiga, keempat dan kelima sebagai ponsel terlaris di dunia.
"Banyak orang biasa melihat ponsel pintar Cina sebagai copycats. Tapi situasinya sudah banyak berubah," kata Jin Di, Research Manager IDC Cina, dikutip dari South China Morning Post. "Di satu sisi, mereka telah melakukan inovasi untuk meningkatkan kualitas produk. Di sisi lain, banyak usaha telah dilakukan untuk memperbaiki citra merek mereka."
Ada beberapa faktor mengapa produk Cina dapat melawan stigma Made in China yang buruk. Di awal kemunculan, ponsel Cina hanya menawarkan sebuah ponsel dengan konsep yang mirip bahkan dianggap meniru konsep Samsung dan Apple. Begitu pun pada produk lainnya seperti fesyen yang meniru desain Barat.
Para vendor Cina mulai melakukan gebrakan dengan menghadirkan konsep baru seperti OPPO dengan konsep roteting camera dengan lensa berlisensi Schneider Kreuznach dan teknologi A.I Beauty Recognition untuk teknologi selfie. Menyediakan produk canggih, mutakhir, berkualitas tinggi yang banyak dibutuhkan konsumen menjadi landasan inovasi para vendor Cina saat ini.
Inovasi dan perbaikan kualitas tak lepas dari usaha Cina meningkatkan riset dan pengembangan di berbagai sektor, termasuk pada ponsel pintar. Menurut laporan Harvard Business Review, anggaran riset pemerintah juga terus ditingkatkan dari 1,7 persen dari GDP di 2010 menjadi 2,5 persen dari GDP pada 2020. Langkah ini juga membantu iklim inovasi bagi dunia usaha dalam berinovasi.
Dalam laporan McKinsey yang dikutip Forbes, sekitar 62 persen konsumen Cina kini mulai beralih ke merek lokal dibandingkan merek impor bila memiliki kualitas serta harga yang sama.
Merek-merek impor yang awalnya banyak disukai anak muda dan kaum jetset mulai menunjukkan penurunan. Mark Tanner, Direktur China Skynny, sebuah perusahaan riset berbasis di Shanghai, mengatakan bahwa warga Cina kini tak lagi “membutuhkan merek asing untuk menunjukkan bahwa mereka keren.”
Merek lokal, mulai dari ponsel hingga fesyen, kini dianggap dapat mendukung warga Cina untuk tampil kekinian. Penduduk lokal juga mulai menumbuhkan sikap mencintai produk lokal dan menganggap sebagai bentuk cinta negara.
Barang fesyen mewah buatan Cina yang sebelumnya dipandang memiliki reputasi rendah mulai berubah tak lepas dari “efek Peng Liyuan”, gaya berbusana istri Presiden Xi Jinping yang menjadi pusat perhatian. Efek Peng Liyuan dianggap menjadi salah satu soft power Cina di bidang fesyen, sama seperti yang terjadi di Eropa yang dikenal dengan “Efek Kate Middleton.”
Selain First Lady Cina yang melakukan soft power, para pelaku bisnis misalnya di bidang perfilman juga berkontribusi besar. Meningkatnya film lokal Cina menjadi ajang soft power untuk menunjukkan merek lokal, sama seperti yang dilakukan film Amerika dalam mempromosikan Apple, Starbucks atau Nike yang disisipkan dalam film.
Dari sisi regulasi, pemerintah mendukung industri Cina dengan memberi pajak murah termasuk pada industri ponsel, menurut laporan IB Times. Vendor juga dapat memanfaatkan infrastruktur manufaktur di Shenzhen yang menjadi kota tujuan para konsumen produk elektronika. Hal ini memberi kontribusi untuk menurunkan biaya produksi.
Baca juga: Kisah di Balik Kesuksesan Ponsel Cina di Dunia