Mengapa Indonesia Terus Menerus Punya Utang?
https://www.naviri.org/2018/04/mengapa-indonesia-terus-menerus-punya-utang.html
Naviri.Org - Indonesia adalah satu di antara sekian banyak negara yang punya utang luar negeri. Terkait Indonesia, jumlah utang yang dimiliki negeri ini bahkan tampaknya makin meningkat dari tahun ke tahun. Dalam ilustrasi kasar, pergantian presiden beriringan dengan jumlah utang yang makin besar. Artinya, utang yang dimiliki Indonesia memang terus membesar.
Karena hal itu pula, banyak kalangan ikut memikirkan atau bahkan sampai berpolemik terkait utang yang dimiliki negeri ini. Karena persoalan utang ini—diakui atau tidak—adalah persoalan seluruh rakyat Indonesia. Meski pemerintah yang berutang, namun beban utang itu ditanggung oleh seluruh rakyat.
Bagaimana pun, suatu hal yang lumrah bila rakyat mempertanyakan kebijakan pemerintah dalam membangun negara. Namun, anggapan dan asumsi tersebut seyogyanya disampaikan secara terukur untuk menghindari pemahaman keliru yang kemudian mengarah pada ketidakpercayaan publik kepada Pemerintah.
Banyak negara memiliki persoalan serupa dengan Indonesia dalam hal besaran utang luar negeri. Indonesia bahkan dibilang lebih beruntung dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, Jepang, Jerman, Belanda, yang memiliki utang jauh lebih besar.
Data dari CIA Factbook menetapkan AS dalam urutan nomor wahid dari daftar negara di dunia dengan utang paling tinggi. Diikuti oleh Inggris, Jerman, Belanda, Jepang. Posisi Indonesia berada pada urutan 32 dunia.
Utang AS pada Desember 2016 tercatat $17.9 triliun. Besaran utang AS ini hampir mencapai Gross Domestic Product (GDP) negara Paman Sam tersebut pada tahun yang sama (2016), mencapai $19 triliun. Jumlah ini sangat tinggi dibandingkan utang Indonesia yang hanya mencapai $344,7 miliar.
Perlu dipahami bahwa utang Indonesia telah ada sejak puluhan tahun silam, bahkan ditengarai merupakan peninggalan Kolonial Belanda, kemudian dilanjutkan di era presiden Soekarno, Soeharto, hingga Presiden Jokowi. Harus diakui bahwa utang luar negeri Indonesia mengalami peningkatan tajam di era presiden Soeharto, yang telah memimpin bangsa ini selama 32 tahun.
Presiden Jokowi mengakui bahwa utang Indonesia memang sudah lama ada. Hal ini disampaikannya saat menghadiri Konvensi Nasional Galang Kemajuan 2018 di Bogor, Jawa Barat. Jokowi menjelaskan, sejak dirinya dilantik, Indonesia sudah memiliki utang sebesar Rp 2.700 triliun. Nilai itu kemudian terus membengkak akibat adanya bunga.
"Saya dilantik utangnya sudah Rp 2.700 triliun. Saya ngomong apa adanya. Bunganya setiap tahun Rp 250 triliun. Kalau 4 tahun sudah tambah 1.000," ujar Jokowi.
Data Kementerian Keuangan RI menunjukkan bahwa total utang pemerintah hingga akhir Februari 2018 telah mencapai Rp 4.034,80 triliun. Jumlah ini diproyeksi akan terus mengalami peningkatan seiring dengan program pembangunan pemerintah, juga bunga yang terus bertambah. Konon, utang luar negeri digunakan untuk menghidupkan program-program strategis pemerintah seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Pertanyaan yang mungkin muncul adalah, kenapa pemerintah masih terus berutang?
Kondisi keuangan negara yang tidak mampu membiayai semua program Pemerintah menjadi alasan utama masih dibutuhkan pinjaman dari pihak luar. Hal ini diakui oleh Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, Scenaider Siahaan.
Scenaider menekankan bahwa utang luar negeri memang tidak bisa dihindari dalam kondisi keuangan negara yang masih terbatas, sehingga banyak program yang tidak bisa sepenuhnya dibebankan pada APBN.
"Utang ada karena belanjanya ada. Pemerintah nggak pernah berutang tiba-tiba tanpa ada kebutuhan," ujar Scenaider dalam diskusi ILUNI UI di Gedung Rektorat UI Salemba, Jakarta Pusat.
Scenaider menambahkan, pembiayaan dari utang juga dilakukan karena penerimaan negara lebih kecil dibandingkan pendapatan dari perpajakan. Dalam APBN 2018 misalnya dirancang belanja Rp 2.220,7 triliun dengan pendapatan Rp 1.894,7 triliun.
Masalah utang negara yang terus diperbincangkan juga menuntut Menteri Keuangan, Sri Mulyani, angkat bicara. Menurutnya, pemerintah masih berutang karena terjadinya kekuarangan APBN.
"Ya karena masih ada defisit," kata dia di sela acara "Spring Meeting IMF-World Bank" di Kantor Pusat IMF, Washington DC. Defisit yang dimaksud adalah defisit APBN yang timbul akibat lebih rendahnya pendapatan negara ketimbang kebutuhan anggaran untuk belanja.
Senada dengan hal ini, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara, menjelaskan soal utang RI adalah hal yang wajar. "Polemik utang negeri ini sebenarnya wajar, kan tak bisa hidup tanpa utang, sama kayak kita yang punya utang KPR, utang mobil, itu wajar tapi kita harus bisa jaga rasionya," kata Mirza.
Ia menambahkan, pembiayaan dari utang dilakukan untuk belanja yang tidak bisa ditunda seperti belanja pendidikan, fasilitas kesehatan, hingga pembangunan infrastruktur. Penarikan utang juga dilakukan untuk mengembangkan pasar uang melalui penerbitan surat berharga negara (SBN).
"Utang menjaga dan mempercepat pertumbuhan ekonomi dan bisa dipakai mengembangkan pasar uang,” tutur Mirza.
Dia menjelaskan, jika rasio utang terjaga, maka kondisi keuangan negara akan tetap sehat. Indonesia saat ini memiliki rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang lebih rendah dibanding negara lain. Mirza menambahkan bahwa beberapa negara berkembang memiliki rekor yang lebih jelek dari sisi manejemen utang.
"Banyak negara tetangga kita, seperti Malaysia dan Turki, rasio utangnya lebih tinggi dari PDB mereka," ujarnya.
Untuk menghindari adanya utang, pemerintah tentunya mengharapkan adanya peningkatan produktivitas negara, utamanya dalam hal peningkatan ekspor investasi, khususnya Foreign Direct Investment (FDI), serta peningkatan devisa negara antara lain melalui pariwisata dan remitansi dari tenaga kerja Indonesia (TKI). Selain itu, pemerintah tentunya perlu melakukan manejemen perpajakan yang lebih baik.
Baca juga: Negara-negara dengan Utang Terbesar di Dunia