Mengapa Banyak Orang Mempercayai Berita Palsu?
https://www.naviri.org/2018/04/mengapa-banyak-orang-mempercayai-berita-palsu.html
Naviri.Org - Keberadaan internet merevolusi cara orang dalam mendapatkan berita dan pengetahuan baru. Hanya dengan mengakses internet, orang bisa mendapatkan pengetahuan atau berita apa pun yang mereka inginkan. Cara itu tentu jauh lebih praktis, daripada membuka-buka buku atau lembaran koran dan majalah. Apalagi internet sekarang sudah terintegrasi dengan ponsel.
Di satu sisi, hal itu menjadikan penyebaran berita dan pengetahuan lebih mudah dan lebih luas menjangkau orang di mana pun. Namun, di sisi lain, muncul masalah berupa berita-berita palsu. Di antara banyak berita yang terus muncul di mana-mana, kehadiran berita palsu kadang tidak terdeteksi, dan dipercaya mentah-mentah oleh pembacanya. Lebih buruk lagi, banyak orang yang kemudian ikut membagikan berita palsu yang dibacanya.
Belakangan, fenomena berita palsu atau yang biasa disebut hoax bahkan makin meresahkan, hingga muncul gerakan-gerakan untuk menghilangkan hoax dari internet. Tapi upaya itu pun tampaknya tidak mudah, meski berbagai pihak berusaha keras melakukannya.
Facebook, misalnya, sempat meluncurkan fitur pengunggahan baru yang ditujukan guna mencegah penyebaran fake news (berita palsu). Cara kerja fitur itu: sistem Facebook akan memberi label peringatan berwarna merah (red flag) disertai kata "disputed" (disangsikan) untuk menunjukkan tautan berita yang diunggah penggunanya adalah berita palsu. Facebook bekerja sama dengan sejumlah media untuk mengecek kebenaran berita tersebut.
Namun, anggota senior George Washington University Center for Cyber & Homeland Security, Kalev Leetaru, dalam artikelnya di Forbes, meragukan keampuhan fitur baru tersebut. Menurutnya, fitur itu rentan berujung "backfire effect".
"Dampak label peringatan dalam suatu unggahan (berita palsu) di Facebook itu, boleh jadi malah mendorong pengguna untuk lebih setuju dengan isi (berita palsu) tersebut," sebut Leetaru.
A Dictionary of Thought Distortions (2014), yang disusun Morten Tolboll, menyebutkan backfire effect adalah respons ganjil seseorang ketika menemukan fakta yang bertentangan dengan keyakinannya; alih-alih terbuka dengan kemungkinan bahwa fakta itu benar dan mengubah pandangannya, orang itu justru semakin teguh berpegang pada keyakinannya.
Backfire effect, dari politik ke vaksin
Istilah backfire effect digunakan pertama kali oleh Profesor Dartmouth College, Brendan Nyhan, dan Profesor University of Exeter, Jason Reifler. Pada 2006, kerja kolaborasi Nyhan dan Reifler menghasilkan suatu makalah berjudul “When Corrections Fail: The Persistence of Political Misperceptions” yang bermaksud mencari tahu faktor-faktor yang berhubungan dengan backfire effect.
Untuk itu, mereka menyodorkan cuplikan berita mengenai senjata pemusnah massal di Irak kepada subjek penelitiannya. Setelah itu, subjek penelitiannya diberi cuplikan berita lain yang menyebutkan pemerintah AS menyangkal bahwa ada senjata pemusnah massal ada di Irak.
Alhasil, kelompok liberal yang menentang perang AS di Irak menerima fakta dalam cuplikan berita terbaru. Sedangkan kelompok konservatif—yang mendukung perang AS di Irak—justru menolak fakta tersebut. Nyhan dan Refler mengatakan kelompok konservatif justru yakin Saddam Hussein menyembunyikan atau menghancurkan senjata pemusnah massal itu.
“Hasilnya menunjukkan bahwa kontradiksi fakta dapat membuat keyakinan ideologis seseorang menjadi lebih kuat. (Berita) sangkalan malah meningkatkan mispersepsi antar kelompok, karena itu mengancam pandangan filosofis mereka," sebut Nyhan dan Reifler, seperti dilansir dari The Washington Post.
Temuan serupa juga muncul dalam jajak pendapat warga AS mengenai vaksin yang dilansir The Atlantic. Di negeri Paman Sam, ada anggapan bahwa orang malah terkena flu setelah divaksin. Lembaga kesehatan masyarakat, Centers for Disease Control and Prevention (CDC), sebenarnya telah memberi imbauan bahwa hal tersebut tidak benar.
Riset pun dilakukan terhadap 1.000 orang AS yang dibagi dalam tiga kelompok. Yang pertama, mereka yang membaca pesan bahwa vaksin tidak menyebabkan flu. Yang kedua, mereka yang membaca tentang bahaya flu dari vaksin, dan yang ketiga adalah mereka yang tidak menerima informasi tambahan.
Hasilnya, sekitar 43 persen masih mengatakan bahwa mereka berpikir vaksin flu dapat menyebabkan flu. Sedangkan yang membaca pesan CDC adalah kelompok terkecil. Di antara orang yang peduli dengan efek samping vaksin, membaca pesan CDC malah membuat mereka makin jauh dari fakta, dan semakin menganggap bahwa vaksin flu bisa membuat seorang terjangkit flu.
Menghindari dan melawan backfire effect
Backfire effect memang menyeramkan, namun bukan berarti tidak ada jalan lain untuk mengabarkan kebenaran. Pada 2016, Ethan Porter dari George Washington University, dan Thomas Wood dari Ohio State University, meluncurkan penelitian mutakhir mereka mengenai backfire effect yang bertentangan dengan temuan Nyhan dan Reifler.
Dalam penelitiannya, Porter dan Wood menunjukkan koreksi yang disampaikan politikus dalam 36 topik berbeda kepada 8.100 responden. Hasilnya, hanya 1 dari 36 topik yang mengarah kepada backfire effect, yakni topik mengenai senjata pemusnah massal.
Menurut Porter, Perang Irak merupakan suatu isu yang menimbulkan perasaan mendalam dalam benak masyarakat AS. Isu itu bertahan dalam jangka waktu lama, dan memang didorong pemerintahan yang partisan di tengah terbelahnya posisi politik. Menurut Porter, berdasarkan hasil penelitiannya, masyarakat pada umumnya memerhatikan informasi faktual, bahkan ketika informasi itu dianggap berlawanan dengan komitmen ideologis mereka.
"Yang ditunjukkan oleh penelitian kami adalah: orang-orang menerima informasi. Namun kami tidak memiliki bukti bahwa hal itu berpengaruh terhadap sikap politik mereka,” ujar Porter, seperti dilansir Poynter.
Namun, di sisi lain, Wood mengatakan masih akan ada pemilih yang memiliki preferensi kebijakan ganjil, meskipun bertentangan dengan keadaan faktual. Menurutnya, para pemeriksa-data (fact-checker) bisa melakukan intervensi dengan membeberkan data-data faktual kepada mereka, walaupun mungkin akan bertentangan dengan preferensi politik mereka sebelumnya.
"Jadi, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan petugas pemeriksa fakta dalam meningkatkan kesadaran faktual," ujar Wood.
Proses itu pun mungkin berlangsung bertahap. Michael Shermer dalam “Is Truth an Outdated Concept?” mengatakan backfire effect bisa mencapai titik balik ketika bukti lain muncul dalam jumlah berlimpah, dan terutama ketika fakta berlawanan itu bisa diterima oleh orang yang meyakini kebenaran berbeda sebelumnya. Proses ini juga perlu dibantu dengan mengenalkan bias-bias pemikiran dan kesalahan logika (logical fallacies) kepada masyarakat luas.
Pada Desember 2017, Facebook mencabut penerapan fitur "red flag" dan merilis fitur "related article", yakni penyematan artikel media lain yang tepercaya. Artikel itu nantinya akan memberi konteks yang lebih luas dari suatu peristiwa yang disampaikan dalam berita yang dianggap kurang meyakinkan.
"Riset akademik terhadap koreksi informasi yang salah, menunjukkan bahwa fitur seperti red flag di sebuah berita malah memperkuat kepercayaan terhadap informasi yang salah. Itu jelas berlawanan dengan efek yang kita tuju," ujar Tessa Lyons, Manajer Produk Facebook.
Sedangkan Sara Gorman, dalam “Governments Would Get More Done If They Bullied People Less”, juga menyarankan pengampu kebijakan untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan aturan-aturan baru yang menyentuh isu kontroversial dan sensitif, semisal vaksin flu. Gorman mengatakan video adalah medium yang lebih baik untuk menyampaikan pesan tandingan kepada orang-orang yang menganut pemahaman salah, semisal mereka yang percaya vaksin bisa menyebabkan autisme.
"Ini hanya satu dari sekian banyak cara untuk mengantarkan konten yang berpotensi menghasilkan kontroversi," tulis Gorman, seperti dilansir Quartz.
Baca juga: Upaya Terbaru Facebook Melawan Hoax