Masalah Tidur, dari Margaret Thatcher Sampai Charles Dickens
https://www.naviri.org/2018/04/masalah-tidur.html
Naviri.Org - Meski tidur adalah hal yang dilakukan nyaris semua orang, namun bukan berarti urusan itu bisa mudah dilakukan. Ada orang-orang yang menderita insomnia, sehingga sulit tidur, meski sebenarnya ingin tidur. Atau sebaliknya, ada orang-orang yang tidak menderita insomnia, namun sengaja tidak sering tidur, karena banyaknya hal yang perlu dilakukan.
Mantan perdana menteri Inggris, Margaret Thatcher, misalnya, dikenal sebagai orang yang punya kebiasaan tidur hanya 4 jam. Dia bahkan hampir “tak pernah tidur” selama masa perang Inggris-Argentina (Perang Malvinas atau Falkland) sepanjang April hingga Juni 1982. Bersama asistennya, Cynthia Crawford, Thatcher memilih berada di ruang kerjanya di Jalan Downing sepanjang malam.
“Tak pernah sekalipun Thatcher mengganti setelan kerjanya dengan baju tidur. Dia ingin berada dalam keadaan siap untuk segala kemungkinan rapat darurat dengan Angkatan Laut tanpa harus repot mengganti baju,” tutur Crawford dalam wawancara dengan harian Inggris Daily Mail, 29 November 2009.
Crawford pula yang memperkenalkan “zizz” kepada Thatcher—tidur singkat selama 20 menit. Thatcher merasa terbantu dengan teknik ini dan terus menerapkannya bahkan usai Perang Malvinas. Crawford pun kewalahan. Jika Thatcher menghadiri rapat di markas militer di pagi hari, dia menyelinap tidur di salah satu kamar kosong di Jalan Downing. “Tidak semua dari kita memiliki energinya,” tutur Crawford.
Namun, meski tak semua orang memikul tanggungjawab seorang perdana menteri, kebiasaan tidur singkat semakin meluas. Budaya 24 jam sehari, tujuh hari seminggu, merambah hampir semua lini profesi. Waktu tidur seakan sebuah pilihan ketimbang keharusan.
Berbeda dengan Margaret Thatcher yang memang mengurangi waktu tidur, sastrawan Inggris Charles Dickens dikenal menderita insomnia yang menjadikannya sering sulit tidur.
Dalam kegelisahan tak kunjung lelap di malam hari, penulis legendaris itu kerap keluar menyusuri jalan-jalan di kota London mencari inspirasi berbagai karakter untuk tulisannya. Sekembalinya ke rumah, Dickens, berbekal kompas, memastikan dirinya berbaring menghadap utara. Dia meyakini posisi ini membantunya cepat tidur serta menambah kreativitasnya menulis.
Ketika Charles Dickens meninggal pada 1870, pengobatan untuk gangguan sulit tidur atau insomnia belum menjadi pembahasan medis. Untuk mengobati gangguan tersebut, kebanyakan penduduk Inggris mengatasinya dengan minum alkohol.
Penggunaan Cannabis indica (ganja) untuk mengobati insomnia, migren, dan kejang-kejang, kali pertama disebut dalam jurnal medis Lancet pada 1890 oleh J.R. Reynolds, dokter pribadi Ratu Victoria di Inggris. Reynolds konon membuat racikan dengan tambahan ganja, yang saat itu mudah didapat di pusat apotek di London, sebagai obat kram datang bulan Ratu Victoria, sekaligus untuk membantunya tidur.
Pada awal abad ke-19 sampai 20, insomnia kerap dipandang sebagai penyakit fisik yang bisa disembuhkan dengan obat-obatan dan berbagai anjuran seperti mengurangi kafein, mandi air hangat di malam hari, hingga hipnotis. Penemuan berbagai jenis obat tidur juga dianggap sebagai jawaban.
Baca juga: Tak Harus 8 Jam, Waktu Tidur Tiap Orang Bisa Berbeda