Masalah Pendidikan dan Sistem Sekolah di Indonesia
https://www.naviri.org/2018/04/masalah-pendidikan-dan-sistem-sekolah-indonesia.html
Naviri.Org - Diakui atau tidak, pendidikan dan sistem sekolah di Indonesia masih memiliki setumpuk masalah. Di luar keresahan sebagian orangtua/wali murid atas keberadaan beberapa pungutan di sekolah, sistem pendidikan yang dijalankan sekolah-sekolah di Indonesia juga mengandung beberapa masalah yang menjadi bahan perhatian para pemerhati pendidikan.
Terkait hal itu, Dompet Dhuafa University pernah melakukan penelitian terkait persepsi masyarakat tentang program pendidikan. Terdapat 449 responden dari 8 provinsi yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Dari penelitian itu, 86 persen responden menilai pendidikan di Indonesia belum mampu memberikan dampak positif terhadap budi pekerti, sedangkan sebanyak 14 persen menyatakan sudah puas.
Terkait korupsi, ada 34 persen responden menyatakan perilaku korupsi dipengaruhi oleh faktor pendidikan, sedangkan 66 persen menyatakan sebaliknya. Sebanyak 58 persen responden menilai kurikulum bisa meningkatkan kualitas pendidikan, sedangkan 42 persen mengatakan kurikulum tidak meningkatkan pendidikan Indonesia.
Selain ketidaksinambungan antara sekolah dengan nilai-nilai etika seperti ditunjukkan angka-angka di atas, ada pula masalah lain dalam pendidikan yang terkait persoalan struktural dan kebijakan.
Reiza Patters, seorang jurnalis dan peneliti, dalam Pergerakan Indonesia Menggugat, mencatat bahwa Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), telah melakukan 11 kali pergantian kurikulum pendidikan nasional dalam rentang 1947-2013. Kurikulum 1947, yang disebut dengan Rencana Pelajaran Dirinci Dalam Rencana Pelajaran Terurai, terimplementasi selama 17 tahun dan mengalami perubahan pada tahun 1964, yang disebut dengan Rencana Pendidikan Dasar yang hanya terlaksana selama 4 tahun.
Selanjutnya, pada tahun 1968 diterapkan Kurikulum Sekolah Dasar yang kemudian diubah menjadi Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan di tahun 1974. Satu tahun kemudian, tahun 1975, kurikulum diubah kembali menjadi Kurikulum Sekolah Dasar. Lalu, pada tahun 1984, Kurikulum Sekolah Dasar, diubah menjadi Kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (K-CBSA).
Setelah terimplementasi selama 10 tahun, CBSA diubah menjadi Kurikulum 1994. Pada tahun 2004, Kurikulum CBSA mengalami perubahan yang cukup signifikan menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), lalu disempurnakan pada 2006 dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTPS). Dan, di tahun 2013 pemerintah kembali menerapkan kurikulum baru: Kurikulum 2013 (K-13). Belakangan, kurikulum ini dibatalkan.
Reiza menyampaikan bahwa penggantian model kurikulum yang ingin diberlakukan itu sah-sah saja dilakukan, jika memang dibutuhkan untuk membuat dunia pendidikan Indonesia semakin berkembang. Apalagi jika kurikulum itu bisa membuat guru lebih memahami apa yang harus mereka lakukan dalam menghadapi siswa didik sesuai tingkatan umur dan tugas perkembangannya secara profesional bisa membuat siswa didik menjadi lebih bergairah dalam belajar. Namun, menurutnya pergantian kurikulum yang tergesa-gesa tanpa kajian mendalam justru akan sia-sia.
Pendidikan dan sekolah tentu tidak bisa dilepaskan dari peran guru. Terkait guru, tak ada salahnya jika kita menilik sistem pendidikan di Finlandia. Di sana, ada timbal balik antara guru dengan orangtua. Orangtua paham bahwa mengajar merupakan pekerjaan yang kompleks dan penuh dinamika. Maka, orangtua pun mendukung para guru dalam semua aspek.
Di Finlandia, orangtua membantu guru. Mereka tak disalahkan atau disebut tidak mampu mengajar. Orangtua juga menganggap guru sebagai pahlawan kesuksesan. Siswa pun banyak yang menghias dan memajang foto guru di kamarnya, bahkan dengan tambahan kalimat "You are my inspiration."
Tentu, semua itu harus dilengkapi dengan prasyarat lain: kualitas guru itu sendiri. Harus diakui bahwa ada masalah di lini ini. Data hasil penilaian Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) tahun 2010 Dinas Kabupaten Sleman menyatakan bahwa terdapat 47,37 persen dari peserta Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) bidang studi IPS dinyatakan tidak lulus.
Guru kita juga masih banyak yang mengajar tak sesuai dengan bidang kompetensinya. Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, seperti dipetik Kompas, hanya sebesar 22 persen saja yang mengajar bidang studi yang sesuai.
Baca juga: Matematika, Pelajaran Paling Tidak Populer di Indonesia