Burundi, Negara yang Berubah Jadi Neraka
https://www.naviri.org/2018/04/krisis-burundi.html
Naviri.Org - Suatu kawasan disebut negara, karena di kawasan itu ada pemerintahan, ada undang-undang, ada peraturan dan hukum, serta ada pemimpin dan warga negara yang dipimpin. Ketika pemerintah mampu menjalankan pemerintahan dengan baik sesuai konstitusi yang disepakati, negara pun dapat berjalan dengan baik. Aturan ditegakkan, hukum dihormati, dan kepemimpinan diakui.
Namun, ketika pemerintahan mulai berjalan keluar dari alur konstitusi, melanggar undang-undangnya sendiri, sementara hukum dan peraturan tidak lagi ditegakkan dengan benar, negara pun mulai menghadapi masalah. Ketika itu terjadi, keamanan akan menghilang, aturan dan hukum dianggap tidak ada, dan siapa pun akan merasa berhak melakukan apa pun yang diinginkan.
Potret semacam itulah yang terjadi di Burundi, sebuah negara yang mungkin tidak seterkenal negara-negara besar macam Amerika atau Inggris. Sebagai sebuah negara, Burundi tampaknya mulai berubah menjadi neraka. Setidaknya, hal itulah yang dinyatakan warga negara Burundi, ketika menceritakan kondisi negaranya.
Warga Burundi di perantauan menyebut negaranya telah berubah menjadi sebuah neraka bagi kemanusiaan. Darah berceceran di seluruh penjuru negeri. “Saya ingin melupakan segala sesuatu tentang Burundi, bahkan nama saya sekali pun,” kata seorang pengungsi Burundi, yang kini berada di Tanzania.
Lebih dari 250.000 orang telah mengungsi, setelah mengetahui milisi-milisi oposisi Burundi berencana bangkit lagi melawan pemerintah, dan membasmi masyarakat sipil.
Tak ada bantuan kemanusiaan di sana. Dunia internasional seperti sedang berpaling dari Burundi. Rakyat menderita. Thierry, seorang pengungsi, ingin berbicara tentang nestapa di Burundi. Namun, tiba-tiba ia tersedak ketika mengenang kejadian yang memilukan. Suara ayahnya masih terngiang-giang, saat sang ayah menjerit dan memohon agar tidak dibunuh, tetapi akhirnya dianiaya sampai mati oleh seorang pria bertopeng.
Pemuda itu kini meringkuk dalam kesendirian, dingin, dan menempel di bangku kayu yang basah di tempat pengungsian di Tanzania.
Burundi, negara yang disebutnya sebagai rumahnya, telah ditinggalkannya dua jam lalu dengan sebutan satu kata “neraka”.
“Darah berceceran di mana-mana di Burundi, begitulah kenyataan yang terjadi di sana,” kata petani muda itu sambil menggulung ujung celananya dan menyingsingkan lengan kemeja untuk menunjukkan luka dan memar akibat penderitaan yang dialaminya. Pria berusia 27 tahun itu meminta namanya diganti. Ia adalah salah satu dari lebih 250.000 warga Burundi yang mengungsi dari kekerasan dan hidup di perantauan.
Burundi sedang mengarah kepada praktik genosida. Penyiksaan, penyerangan, penculikan, dan pembunuhan etnis menjadi cerita suram dari orang-orang yang telah melarikan diri dari negara itu. "Saya ingin melupakan segala sesuatu tentang Burundi, bahkan nama saya sekalipun," kata pemuda lain.
Pemuda yang satu ini kabur setelah membawa adik perempuannya yang berusia 16 tahun, hamil setetelah diperkosa oleh pemuda lain etnis. Mereka lari menyeberangi sungai agar bisa selamat. Kedua bersaudara itu meninggalkan makam adiknya, yang tewas ditembak pasukan pemerintah tahun lalu. Burundi telah berubah menjadi medan kekerasan yang mematikan.
Warga yang selamat dan mengungsi memperingatkan, ketika kekerasan menyebar dan rumor tentang berkembangnya pelatihan milisi oposisi di negara-negara tetangga, pemerintah takut kehilangan kekuasaannya.
Pemerintah menyebarkan propaganda berbau etnis, yang dalam sejarah kelam masa lalu telah menjadi kenangan terburuk di negara tetangga Rwanda. Dunia tampaknya tidak menyadari. Hanya ada sedikit kesadaran internasional tentang penghentian disintegrasi Burundi.
Kelompok-kelompok bantuan kemanusiaan mengatakan, tidak ada minat orang untuk membantu dana, memberikan sumbangan pangan, dan menyediakan tempat tinggal bagi korban.
"Negara kami sedang berada di ambang perang, dan kami merasa dilupakan," kata Genevieve Kanyange, seorang pembelot, toko senior dari partai yang berkuasa yang telah mengungsi.
Kekerasan telah dimulai tahun lalu ketika presiden yang flamboyan, Pierre Nkurunziza, seorang bekas guru, komandan milisi, seorang Kristen yang kuat, mengumumkan bahwa ia mengabaikan konstitusi. Ia ingin maju lagi menjadi presiden untuk masa jabatan ketiga.
Pengumuman Nkurunziza itu memicu upaya kudeta, namun gagal. Kekerasan politik, yang mengarah kepada etnis, meningkat menjadi kekerasan permanen. Setiap hari terjadi pembunuhan, dengan lebih dari 100 orang melarikan diri setiap hari ke perbatasan Tanzania.
Mereka bergabung dengan 250.000 orang lebih yang telah lebih dahulu mengungsi ke Tanzania, Rwanda, Uganda, dan Republik Demokratik (RD) Kongo pada akhir tahun lalu.
Kamp-kamp pengungsi penuh sesak dan kekurangan makanan. Bantuan sangat terbatas, penderitaan meningkat, korban tewas berjatuhan, dan penyakit mematikan juga menghantui pengungsi.
"Mereka mengambil uang kami, mengalahkan kami dan bertanya, 'Apakah kalian tidak mendukung presiden'?" kata Kigeme Kabibi, seorang ibu berusia 30 tahun yang melarikan diri setelah suaminya ditembak mati di Burundi.
Warga Burundi di perantauan menyebut negaranya telah berubah menjadi sebuah neraka bagi kemanusiaan.
Baca juga: Venezuela, dari Krisis Utang ke Krisis Kemanusiaan