Kisah Hidup dan Kematian Penyair Chairil Anwar
https://www.naviri.org/2018/04/kisah-hidup-dan-kematian-chairil-anwar.html
Naviri.Org - Kalimat “Boeng, ajo Boeng” sangat terkenal, khususnya di masa perjuangan Indonesia, dalam merebut kemerdekaan dari penjajah. Kalimat itu, di masa sekarang, juga masih sering disebut atau ditulis, meski dengan ejaan terkini (Bung, ayo Bung). Mungkin jarang yang tahu, bahwa kalimat itu sebenarnya berawal dari celetukan Chairil Anwar, penyair Indonesia yang dikenal sebagai “Binatang Jalang”.
Suatu hari, pelukis besar Indonesia, Sudjojono, diminta Presiden Soekarno mengajak para seniman untuk membuat poster-poster perjuangan. Semula Sudjojono menyerahkan tugas itu pada Balai Pustaka yang sering menangani rancang grafik.
Namun, belakangan pelukis Affandi yang diminta membuat poster, dibantu Dullah yang juga pelukis. Affandi kemudian melukis satu gambar lelaki yang sedang mengepalkan tangan, dengan Dullah sebagai modelnya. Mereka sempat bingung kalimat untuk poster. Maka, mereka meminta saran pada Chairil Anwar yang memang sering mengunjungi Affandi.
“Boeng, ajo Boeng” kata-kata itulah yang datang dari Chairil, diambil dari kalimat tawaran-rayuan para penjaja seks di sekitar Jakarta.
Dalam poster Affandi, kalimat seduktif itu menjadi kalimat penyeru semangat bagi para pemuda untuk memperjuangkan kemerdekaan. Panggilan “Bung” pun jadi lebih populer, seperti sudah dipakai kalangan pemimpin kala itu: Bung Karno atau Bung Besar, Bung Hatta, Bung Sjahrir atau Bung Kecil. Nama terakhir, yang menjabat perdana menteri pertama Indonesia, adalah paman jauh Chairil.
Si Jalang dari Angkatan 45
Meski hidupnya bisa dianggap semrawut, Chairil bukan pengecut. Ia memang tak melawan penjajah dengan tubuhnya, tapi ia mengekspresikan sikap politik melalui puisi-puisinya. Pada zaman pendudukan Jepang, Chairil harus merasakan hebatnya siksaan Kenpeitai—Polisi Rahasia Jepang—yang dikenal kejam karena puisinya yang “Siap Sedia”
“Kawan, kawan. Mari mengayun pedang ke dunia terang,” tulis Chairil seperti dikutip HB Jassin dalam Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1969).
Dunia terang yang dimaksud adalah Jepang. Maka, Chairil pun didakwa dengan tuduhan menganjurkan pemberontakan pada Jepang. Menurut Pamusuk Eneste, Chairil ditahan sekitar bulan Juli 1943. Karena penahanan itu jugalah Chairil tidak bisa tampil sebagai pembicara pada Forum Angkatan Muda di Kantor Pusat Kebudayaan.
Saat pendudukan Jepang, sikap Chairil tak jauh beda dengan sang paman, Sutan Sjahrir yang memimpin gerakan bawah tanah yang bergaris non-kooperasi dengan Jepang. Sikapnya saat itu berseberangan dengan Soekarno dan Hatta yang menjadi penasehat militer Jepang di Indonesia.
Tapi, “Siap Sedia” bukan karya pertama Chairil yang dimuat. Puisi pertamanya yang muncul di media adalah “Nisan” pada 1942, saat usianya baru 20 tahun. Sebelumnya, Chairil juga banyak menulis puisi, namun ditolak karena dianggap tidak sesuai dengan propaganda Militer Jepang.
Sedangkan puisi Chairil yang sangat terkenal, “Aku”, yang ditulis tahun 1943, dimuat di majalah Timur pada 1945. Puisi itu kemudian dianggap sebagian khalayak sastra sebagai pendobrak cara berpuisi, dan ia dijuluki 'Binatang Jalang.'
“Sebagai orang yang pertama-tama merintis jalan dan membentuk aliran baru dalam kesusastraan Indonesia, ia dapat dikatakan orang yang terbesar pengaruhnya dari Angkatan 45... Sajak-sajaknya menghembuskan jiwa, semangat dan cita-cita muda, bukan dalam arti tidak masak, masih hijau tapi dalam arti penuh hidup, bergerak dan menggerakkan,” tulis Artati Sudirdjo seperti dikutip H.B. Jassin dalam Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (1956).
Dalam buku itu, HB Jassin menyebut, setidaknya Chairil menghasilkan 94 tulisan pada periode 1942-1949. Itu termasuk 70 sajak asli, 4 saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli, serta 4 prosa terjemahan. Dia berhasil menjadi apa yang dia inginkan ketika masih berusia 15 tahun, jadi seniman. Chairil sudah pernah membuat puisi dengan gaya Pujangga Baru, tetapi ia segera membuang kertas-kertas puisi itu karena merasa tak puas.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan datangnya tentara Belanda ke Indonesia, keberpihakan Chairil sangatlah jelas: pro-republiken. Meski tak masuk laskar atau tentara, puisinya—yang dianggap saduran dari “The Young Dead Soldiers” karya Archibald Macleish—“Karawang-Bekasi” sangat dikenal sebagai puisi perjuangan.
“Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.” Yang ditulis sebagai “kami” adalah 400an orang Rawagede pada 9 Desember 1947 oleh Tentara Belanda yang mengejar tentara dan pejuang Indonesia.
Ujung hayat dan kematian
Dalam hidupnya yang singkat, Chairil pernah menikah dengan Hapsah Wiriaredja, meskipun hanya dua tahun: 6 Agustus 1946 hingga akhir tahun 1948. Bersama Hapsah, Chairil mempunyai anak: Evawani Alissa.
Setelah bercerai, Chairil tak produktif berkarya lagi. Kesehatan Chairil pun memburuk. Ia bahkan harus dilarikan ke CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) Jakarta. Paru-paru Chairil terjangkiti Tuberculosis (TBC), hingga akhirnya meninggal pada 28 April 1949 di umur yang belum genap 27.
Menurut Ray Rizal, dalam biografi Affandi Hari Sudah Tinggi, pelukis Affandi—sahabat yang tak pernah merasa paham dengan puisi Chairil—merasakan kehilangan yang dalam. Setelah Chairil meninggal, Affandi berusaha merampungkan lukisannya untuk Chairil yang kemudian dijuduli “Chairil Anwar” (1949).
Tak hanya Affandi, kawan-kawannya yang lain pun merasa kehilangan. “(Chairil Anwar) tak mengenal konvensi, kurang ajar, tak tahu adat. Akan tetapi sesuatu yang mengherankan dari padanya ialah, bahwa ia senantiasa disayangi dan dicintai kawan-kawan yang mengenalnya,” kenang Bapak Film Usmar Ismail, seperti dikutip Rosihan Anwar dalam Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Jamannya (2011).
Sjahrir, sang paman, juga mengenang Chairil sebagai manusia yang keliarannya tak bisa diukur dengan ukuran-ukuran normatif masyarakat. “Sebenarnya untuk Chairil ini harus dimintakan maaf atas segala perbuatannya. Akan tetapi hal semacam ini tak dapat dilakukan oleh karena ukuran kita yang biasa tak dapat digunakan untuk dia.”
Belakangan, salah satu pengagum Chairil, sudah mulai menulis sebuah bakal skenario film tentangnya. Sayang, sang pengagum itu, sutradara terkenal Sumandjaja, juga kemudian keburu meninggal. Tapi bakal naskah skenario film yang dijuduli "Aku" itu beredar menjadi sebuah buku laris. Apalagi setelah film Ada Apa Dengan Cinta (2002) memunculkan kembali buku itu.
Bagi generasi 2000-an dan setelahnya, dengan “Aku”-lah Chairil dikenang:
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Dan aku lebih tak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.
Baca juga: Mengenal Wallada, Penyair Wanita Legendaris Andalusia