Kebanyakan Utang Gara-gara Kebanyakan Gaya
https://www.naviri.org/2018/04/kebanyakan-utang-gara-gara-kebanyakan-gaya.html
Naviri.Org - Jika Anda bisa menjalani kehidupan dengan tenang, tanpa terlalu mempedulikan penampilan dan semacamnya, dan Anda juga bisa menabung secara rutin dari sebagian penghasilan yang Anda peroleh, maka Anda patut bersyukur.
Karena, ternyata, tidak semua orang bisa begitu. Alih-alih bisa menabung, mereka justru banyak berutang. Yang ironis, tumpukan utang mereka bukan untuk kebutuhan penting seperti memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, tapi untuk memenuhi tuntutan agar gaya atau tampak kaya.
Fenomena itu mungkin sudah jadi hal biasa di zaman sekarang. Banyak orang yang ingin tampak gaya dengan pakaian-pakaian mahal, dengan tas dan sepatu bermerek, lalu nongkrong di tempat-tempat makan yang mahal. Yang jadi masalah, mereka kadang sampai terlilit utang demi bisa tampak gaya semacam itu. Fenomena semacam itu terutama terjadi pada kelas menengah di kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya.
Riset Share of Wallet yang dilakukan Kadence International-Indonesia pada 2013 lalu menunjukkan, 28 persen masyarakat kelas menengah di Indonesia mengalami defisit penghasilan karena utang yang digunakan untuk konsumerisme.
Dalam riset itu disebutkan, mereka yang memiliki pendapatan Rp4,3 juta per bulan memiliki pengeluaran hingga Rp5,8 juta, atau defisit Rp1,5 juta. Apa yang menjadi alasan? Kelas menengah ini memiliki kecenderungan ingin menaikkan status dan tampil menjadi upper class. Caranya dengan meminjam uang dan utang agar bisa membeli barang yang dapat menaikkan status sosial mereka. Cara sederhana yang bisa dilakukan adalah dengan membeli barang-barang terkini. Misalnya ponsel keluaran terbaru atau tren busana terkini.
Survey Kadence juga membagi kelas menengah di Indonesia menjadi empat kelompok. Pertama Deep Pockets, yaitu mereka yang menabung lebih dari Rp2 juta sebulan atau mereka yang menabung 49 persen penghasilan bulanan mereka untuk masa depan.
Kedua, kelompok Pragmatic, mereka yang menabung Rp1-2 juta per bulan atau mereka yang menyisihkan 28 persen penghasilannya untuk tabungan.
Ketiga, kelompok On Edge, adalah mereka yang menabung Rp100 ribu hingga Rp1 juta per bulan, atau rata-rata 10 persen dari penghasilan bulanannya untuk tabungan. Terakhir, kelompok kelas menengah Broke, yakni yang pengeluarannya lebih daripada pendapatannya, sehingga penghasilan defisit 35 persen daripada penghasilannya.
Apa alasan yang mendasari seseorang memilih hidup dalam lilitan utang demi sekadar gaya? Dalam buku Posmodernisme dan Budaya Konsumen, susunan Mike Featherstone, disebutkan bahwa manusia tidak sekadar hidup. Mereka memikirkan bagaimana konsumsi dapat mempengaruhi kehidupan mereka.
Dalam hal ini, tubuh, busana, bicara, hiburan saat waktu luang, pilihan makanan dan minuman, rumah, kendaraan, dan pilihan hiburan, dan seterusnya, dipandang sebagai indikator dari individualitas selera serta rasa gaya dari pemilik. Semakin tinggi selera, maka ia semakin bonafide, keren, dan segala citra kelas atas yang menyertainya akan ikut menempel pada si konsumen.
Konsumerisme kerap kali menjadi tolak ukur kesuksesan seseorang. Mereka yang merasa mampu, mapan, dan sukses akan membeli barang-barang non kebutuhan dasar yang dianggap mengangkat citra sosial mereka. Sayangnya, beberapa kelas menengah menganggap gaya hidup ini adalah sebuah kewajiban, untuk menunjukkan status sosial. Semakin parlente, semakin modis, semakin kekinian, maka ia semakin sukses, peduli setan dengan utang yang menumpuk.
Salut Muhidin, dosen demografi di Faculty of Business and Economics, Macquarie University, Australia, menggambarkan dengan sinis bagaimana kelas menengah di Indonesia. Dalam artikel yang berjudul “Don’t care how, I want it now! Who are kelas menengah ngehe – the awful middle class?”, Salut menjelaskan fenomena bergesernya kebutuhan manusia, terutama pada kelas menengah.
Mereka, kata Salut, mengejar kebutuhan akan kemewahan, prestis, memiliki barang bermerek, dan hiburan global. Semua ini kerap dipenuhi tanpa mempedulikan kemampuan finansial mereka.
Baca juga: Transaksi Tunai Akan Dibatasi, Maksimal Rp100 Juta