Yang Perlu Dilakukan Jika Menjadi Korban KDRT
https://www.naviri.org/2018/04/jika-menjadi-korban-kdrt.html
Naviri.Org - Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah kisah yang terjadi di mana-mana, dari yang ringan sampai yang berat. Selain penganiayaan fisik, KDRT juga bisa dalam bentuk kekerasan seksual atau pemerkosaan yang dilakukan suami terhadap istri.
Selama ini, orang mungkin mengira bahwa hubungan seksual akan menjadi sah dengan sendirinya jika dilakukan di dalam institusi perkawinan. Namun, jika hubungan seks itu dilatari pemaksaan, maka hal itu dapat digolongkan sebagai pemerkosaan, dan pihak istri berhak melaporkan suaminya ke ranah hukum akibat pemerkosaan yang dilakukannya.
Kekerasan seksual dalam perkawinan, sebagaimana bentuk KDRT yang lain, bukan sesuatu yang mengada-ada. Itu yang harus dilakukan kalau kamu jadi korbannya.
Beberapa hari terakhir ini, Indonesia diramaikan dengan berita istri yang diperkosa suaminya di Denpasar, Bali. Pengadilan Negeri Denpasar akhirnya memenjarakan sang suami selama 5 bulan, karena memaksa istrinya melakukan hubungan seks.
Kasus ini bukan yang pertama. Kasus perkosaan dalam perkawinan, atau jamak disebut marital rape, banyak terjadi, namun jarang dilaporkan ke pihak berwenang. Bentuk kekerasan pun beragam, ada yang berbentuk pemaksaan, kegiatan seksual menyimpang, dan lain-lain.
Padahal, pemaksaan seksual termasuk dalam tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pemaksaan seperti ini sudah diatur dalam Pasal 8 (a) dan Pasal 66 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Pasal 8 (a) berbunyi: “Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut”.
Sementara Pasal 46 berbunyi: “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp 36 juta”.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Berikut penjelasan Komisioner Komnas Perempuan, Ninik Rahayu, dalam situs Komnas Perempuan:
“Dalam hubungan rumah tangga, pemahaman yang berkembang adalah hubungan seksual hanya kewajiban istri. Karenanya dalam keadaan apapun mereka tidak boleh menolak manakala suami meminta layanan seksual.
Perempuan juga dituntut melayani suami dengan baik. Tuntutan ini berujung pada sebuah kepatuhan atas seluruh kemauan suami. Pemahaman umum tersebut juga didukung oleh budaya dan interpretasi agama yang menempatkan perempuan hanya dalam fungsi reproduksinya. Sementara fungsi seksual perempuan diabaikan.
Dalam kondisi ini dan seringkali atas nama 'ibadah', perempuan terpaksa mengamini apa saja yang diperintahkan oleh suami, termasuk ketika berhubungan seksual.”
Kalau kamu menjadi korban kekerasan semacam ini, apa yang harus dilakukan?
1. Jangan salahkan diri sendiri
Hal pertama yang perlu dilakukan korban ketika mengalami pemerkosaan adalah tidak menyalahkan diri sendiri. Pemerkosaan bukanlah salah korban, namun pelaku.
2. Siapkan bukti-bukti yang dibutuhkan
Jika kamu mulai merasa menjadi korban kekerasan, mulai kumpulkan bukti-bukti yang dibutuhkan.
Menurut Pasal 184 KUHAP, yang termasuk bukti adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat petunjuk, dan keterangan terdakwa. Namun, ada pengecualian pada kasus kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga dengan pelaku suami, pengakuan terdakwa tidak diperlukan.
3. Upayakan mediasi
Bila masih ada kesempatan untuk membahas secara internal, kamu bisa usahakan mediasi dengan pelaku. ”Ada baiknya di ranah privat diselasaikan, tetapi kalau mediasi buntu, ya baiknya dibawa saja ke ranah hukum," ujar Komisioner Komnas Perempuan, Masruchah.
Namun, bila perlakuan kasar pasanganmu tidak berubah atau malah makin menjadi-jadi, jangan ragu untuk mengambil langkah hukum. Ingat, kamu perlu melindungi dirimu sendiri.
4. Laporkan ke pihak berwajib
Bila kamu tidak tahu harus mulai dari mana, kamu bisa minta bantuan lembaga hukum atau lembaga-lembaga lainnya yang mengurusi kekerasan terhadap perempuan, seperti Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) atau Komnas Perempuan.
Ingat, kamu harus berani untuk dirimu sendiri dan orang-orang terdekatmu. Tak perlu takut, kamu tidak sendiri, banyak yang bisa dan mau membantumu.
Baca juga: KDRT dan Kekerasan Lain pada Perempuan