Indonesia di Antara Transformasi Digital dan Ekonomi
https://www.naviri.org/2018/04/indonesia-di-antara-transformasi-digital.html
Naviri.Org - Sebagai negara dengan penduduk besar, Indonesia juga merupakan pasar yang besar. Kini, ketika segala hal masuk ke internet—termasuk bisnis—Indonesia pun mau tak mau harus menghadapi perubahan atau peralihan, dari bisnis konvensional ke bisnis era digital. Dalam hal itu, mau tak mau berbagai pihak yang terlibat di dalamnya harus melakukan transformasi digital.
Transformasi digital merupakan proses adopsi dan praktik teknologi modern untuk mempercepat aktivitas bisnis, meningkatkan kompetensi, dan meningkatkan efisiensi. Ini lebih dari sekadar pembaruan teknologi. Transformasi digital sangat mungkin mengubah struktur hierarki hingga budaya suatu perusahaan.
Sebuah riset yang digagas CGI, sebuah firma riset pasar, seperti dilaporkan CIO, menyebut bahwa 82 persen perusahaan kini mengalokasikan pengeluarannya hanya untuk biaya IT.
Transformasi digital setidaknya terindikasi dalam tiga bentuk: all things sensing, all things connected, dan all things intelligence.
Transformasi digital, secara sederhana, sering dikaitkan pada penerapan atau penggunaan Internet of Things (IoT) maupun Big Data. Namun, membawa perbincangan transformasi digital, terutama dalam konteks Indonesia, pada hal-hal terkait IoT maupun Big Data, bisa dibilang masih terlalu jauh.
Salah satu hal yang mendasari mengapa perbincangan soal IoT dan Big Data dalam konteks Indonesia tertalu jauh, bisa merujuk “Harnessing the Power of Connectivity: Mapping Your Transformation Into a Digital Economy with GCI 2017”, yang menyebut bahwa Indonesia saat ini masih berada dalam tahap “awal” atau “Early Adopted” soal investasi IT dan adopsi dalam ekonomi digital.
Indonesia duduk di posisi ke-40 dari 50 negara yang disurvei dalam laporan itu. Salah satu ciri di tahap ini ialah fokus yang masih berkutat pada memperkuat penetrasi ekonomi digital di tengah masyarakat, atau masih berputar-putar soal membangun infrastruktur dasar IT. Rata-rata, negara yang masuk tahap pemula di transformasi digital adalah yang rata-rata pendapatan per kapitanya $3.000 per tahun.
Dalam laporan yang digagas oleh Huawei dan Oxford Economics, berjudul “Digital Spillover: Measuring the True Impact of the Digital Economy”, disebut bahwa pada 2016 sebanyak 15,5 persen ekonomi global berbasis digital. Pada 2025, porsinya diprediksi akan meningkat menjadi 24,3 persen. Setara dengan $23 triliun. Pemerintah maupun swasta harus melakukan transformasi digital untuk dapat mengambil bagian dari uang yang begitu besar.
Secara mendasar, terdapat empat pendekatan transformasi digital yang dilakukan, yakni high digitalization, high investment & poor strategy, low investment & strong strategy, dan low digitalization. Masing-masing pendekatan memiliki hasil yang berbeda, terutama dengan mengukurnya dalam peningkatan PDB suatu negara.
Sebagai contoh, jika Korea Selatan dan Indonesia menerapkan high digitalization untuk transformasi digitalnya masing-masing, pada tahun 2025 kelak PDB Korea Selatan bertambah 1,2 persen. Sementara Indonesia bertambah 1,8 persen.
Salah satu alasan mengapa PDB Indonesia yang bertambah lebih tinggi dari Korea Selatan, karena Indonesia masih di posisi awal, alias masih punya peluang besar untuk dimaksimalkan. Korea Selatan, yang merupakan negara dengan penetrasi digital jauh lebih baik, memiliki peluang lebih kecil.
Transformasi jadi kata kunci, dalam perkembangan teknologi yang begitu cepat dan lahirnya startup bisnis teknologi yang mendisrupsi bisnis konvensional. Digitalisasi tak memandang jenis bisnis. Apa pun bisnisnya, perusahaan yang ingin tetap bertahan hidup harus melakukan transformasi sebelum ditinggal lari era digital. Transformasi digital tak akan terjadi dengan hanya berdiam diri.
Baca juga: Prospek dan Tantangan Digital di Indonesia