HyperFace, Upaya Mengelabui Kamera Pengenal Wajah
https://www.naviri.org/2018/04/hyperface.html
Naviri.Org - Sejak kamera closed-circuit television (CCTV) diciptakan, privasi setiap orang mulai berkurang. Pasalnya, dari waktu ke waktu, kamera-kamera CCTV terus dipasang di berbagai tempat, memantau siapa pun. Dari tempat-tempat umum sampai tempat-tempat yang jarang dimasuki, nyaris bisa dipastikan ada CCTV terpasang. Keberadaan CCTV itu seperti memata-matai siapa pun, karena memang itulah tujuan pemasangan CCTV.
Memang dapat dimaklumi alasan pemasangan CCTV yang makin banyak dan ketat tersebut. Kejahatan, bahkan terorisme, makin hari makin mengkhawatirkan, dan bisa terjadi di mana saja, kapan saja. Pemasangan CCTV itu juga ditujukan untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal semacam itu. Atau, setidaknya, jika kejahatan atau terorisme benar-benar terjadi, CCTV bisa membantu melacak pelakunya.
Data The British Security Industry Authority, yang dipublikasikan oleh The Telegraph, menyebutkan bahwa di Inggris Raya terdapat sekitar 5,9 juta kamera pengawas atau CCTV. Angka tersebut meningkat dibandingkan jumlah kamera pengawas di 2005, yang baru berjumlah sekitar 4 juta unit.
Senada dengan apa yang dilakukan Inggris Raya, dalam laporan Wired, Amerika Serikat melalui FBI memiliki basis data sekitar 117 juta wajah warga Amerika Serikat. Basis data tersebut digunakan oleh FBI untuk mengenali warga negaranya yang berlalu-lalang.
Peningkatan pengawasan warga negara melalui kamera pengawas dan perangkat pengenal wajah diyakini akan semakin meningkat. Sayangnya, meskipun penggunaan kamera pengawas dan perangkat pengenal wajah memiliki motif yang cukup baik, di saat bersamaan penggunaan alat demikian kian mengikis kebebasan individu. Isu-isu mengenai privasi dilanggar oleh keberadaan alat tersebut. Dengan mudah, melalui kamera pengawas, negara bisa mengetahui warga negaranya berada di mana dan melakukan aktivitas apa.
Guna mengembalikan privasi seorang individu, dan terbebas dari belenggu mesin pengawasan dan pengenal diri, seorang seniman dan ahli teknologi asal Berlin, Jerman, bernama Adam Harvey, menciptakan sebuah pola kamuflase yang bisa diaplikasikan pada suatu pakaian ataupun barang-barang tekstil lainnya yang bisa membingungkan algoritma pengenalan wajah, namanya HyperFace.
HyperFace bekerja dengan mengeksplorasi celah algoritma pengenal wajah, hingga menghasilkan apa yang disebut sebagai “false faces.”
Pakaian atau barang tekstil yang mengusung konsep HyperFace akan terlihat menampilkan banyak mata dan mulut oleh algoritma pengenal wajah, hingga menghasilkan wajah palsu dan mengakibatkan kegagalan algoritma tersebut mendeteksi siapa sebenarnya orang yang memanfaatkan pakaian kamuflase tersebut. Dalam laporan Wired, setidaknya akan tercipta 1.200 kemungkinan wajah yang mengecoh algoritma mesin atau kamera pengenal wajah.
Harvey bersama sebuah laboratorium penelitian bernama Hyphen Labs NeuroSpeculative AfroFeminism, mulai melakukan penelitian tentang konsep kamuflase tersebut pada 2013. Hingga kini, Harvey masih menyempurnakan ciptaannya tersebut. Prototipe pola kamuflase dalam bentuk scarf ditampilkan dalam ajang Sundance Film Festival.
“Konsep HyperFace juga bisa diaplikasikan pada arsitektur atau pada (tata) lingkungan perkotaan,” terang Harvey.
Harvey tak hanya sekali ini menciptakan karya teknologi untuk mengelabui mesin pengawas atau pengenal wajah. Sebelumnya, melalui CV Dazzle, Harvey menciptakan suatu teknik tata rias wajah dan rambut yang bisa mengelabui perangkat pengenal wajah.
HyperFace merupakan penyempurnaan dari apa yang telah dilakukan Harvey melalui teknik tata rias wajah dan rambut kreasinya, CV Dazzle. Dalam CV Dazzle, pengecohan dipusatkan di sekitar wajah. Sementara HyperFace bertujuan untuk mengubah daerah sekitarnya agar tak terlacak.
Konsep HyperFace mirip seperti apa yang dilakukan tentara dengan memakai pakaian loreng-loreng hijau kala bertugas di wilayah hutan tropis, dan mengenakan pakaian berwarna coklat kekuning-kuningan kala bertugas di area padang pasir.
Mengutip The Guardian, Harvey mengungkapkan, “Seperti saya lihat di proyek sebelumnya, kamu bisa mengubah tampilanmu, tapi, melalui kamuflase kamu bisa memikirkan sosok dan hubungan mendasar (tanpa mengubah tampilan wajah).”
Selain yang dilakukan Harvey, beberapa produk telah dikeluarkan dengan tujuan serupa. Lepas dari bayang-bayang kamera pengawas dan memiliki kembali kebebasan pribadi. Anti-Facial Recognition Glases, merupakan sebuah kacamata yang dirancang untuk melindungi penggunanya dari kamera pengawas pengenal wajah, dengan memanfaatkan cahaya infra merah. Kacamata tersebut dikembangkan oleh Japan’s National Institute of Informatics.
Selain itu, ada pula Urme Personal Surveillance Identity Prosthetic, semacam wajah palsu seperti di film-film laga. Seorang bernama Leo Selvago, membuat rekaan wajah menggunakan printer 3D. Wajah palsu tersebut mampu menyamarkan wajah asli penggunanya, dan sukses mengelabui mesin pengenal wajah.
Dalam laporan Fortune, teknologi pengenalan wajah beroperasi atas dua pendekatan. Pertama dan yang paling usang, mesin pengenal wajah menentukan siapa seseorang atas kriteria yang lebih dahulu dimiliki dalam basis data. Kriteria yang dimaksud seperti jarak antar mata, besar hidung, dan pertanda wajah lainnya.
Ketika kamera live merekam seseorang, komputer kemudian mencocokkan gambar wajah yang ditangkap kamera dengan basis data yang dimiliki. Jika cocok, mesin akan mengeluarkan nama. Jika tidak, mesin tidak akan mengeluarkan hasil sampai terdapat basis data baru yang sesuai dengan kriteria yang terekam kamera.
Pada pendekatan kedua, pendeteksi wajah tidak hanya merujuk pada basis data sebagaimana pendekatan pertama. Pengenal wajah mendelegasikan jawaban atas siapa yang terekam kamera live, dengan memanfaatkan machine learning atau artificial intelligence. Perusahaan teknologi dunia, seperti Google dan Facebook, diyakini tengah mengembangkan pengenalan wajah dengan pendekatan ini.
Facebook bahkan tengah menguji coba pengenalan “wajah” dengan memanfaatkan pakaian yang digunakan seseorang, serta petunjuk-petunjuk lainnya selain wajah. Tanpa memperlihatkan bagian wajah pada kamera, jati diri seseorang bisa diketahui oleh Facebook. Peluang untuk terbacanya jati diri seseorang dengan teknik baru ini telah mencapai persentase kesuksesan hingga 83 persen.
“Ada banyak pertanda yang kami gunakan. Seseorang memiliki aspek karakteristik (tertentu), bahkan jika kamu melihatnya dari belakang. Sebagai contoh, kamu bisa mengenali Mark Zuckerberg dengan mudah karena dia selalu mengenakan kaos berwarna abu-abu,” ungkap Yann Lecun, kepala divisi kecerdasan buatan Facebook sebagaimana dikutip dari Wired.
Semenjak pengenal wajah berbasis algoritma komputer diperkenalkan pada 1969 oleh tiga orang ilmuwan asal Jepang, diperkirakan apa yang dilakukan oleh Harvey dan orang-orang yang mengembangkan teknologi untuk mengelabui mesin pengenal wajah kini, lambat laun, kemungkinan akan menjadi kebutuhan masyarakat luas. Alasannya karena semakin sempitnya ruang gerak privasi, karena canggihnya teknologi pengawasan dengan fitur pengenal wajah.
Bagi dunia teknologi, karya Harvey semacam antiracun untuk sebuah racun, yang menunjukkan setiap teknologi akan menghasilkan teknologi lainnya, dan tak akan ada habisnya untuk berkembang.