Kisah Skandal Hoax Terbesar Jurnalisme Amerika (2)
https://www.naviri.org/2018/04/hoax-terbesar-jurnalisme-amerika-part-2.html
Naviri.Org - Artikel ini lanjutan artikel sebelumnya (Kisah Skandal Hoax Terbesar Jurnalisme Amerika 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah artikel sebelumnya terlebih dulu.
Selanjutnya adalah interogasi panjang yang melibatkan para editor top The Post. Tak hanya soal riwayat akademisnya, tetapi juga kebenaran kisah Jimmy. Cooke mesti menghadapi rentetan pertanyaan dari Coleman, Simons, Robert Woodward, dan Bradlee. Coleman bahkan menginterogasinya di mobil sembari mencari alamat keluarga Jimmy yang sesungguhnya.
Cooke akhirnya bicara jujur setelah 11 jam interogasi yang melelahkan. “Tak ada Jimmy juga keluarganya. Itu semua fabrikasi. Aku ingin mengembalikan penghargaan itu,” ujar Cooke sebagaimana dikutip Sager.
Esoknya, The Post mengumumkan kepada publik bahwa kisah Jimmy adalah hoax, sekaligus mengembalikan penghargaan kepada Komite Pulitzer. Cooke kemudian mengundurkan diri.
"Adalah sebuah tragedi jika wartawan berbakat dan menjanjikan seperti Janet Cooke merasa harus memalsukan fakta," kata Ben Bradlee dalam rilis pers di The Post. "Kredibilitas adalah aset paling berharga sebuah surat kabar, dan itu hampir bergantung sepenuhnya pada integritas reporternya. Bila integritas tersebut dipertanyakan, itu menyedihkan.”
Verifikasi tak jalan
Kritikus media, Howard Kurtz, sebagaimana dikutip Mike Sager, mengatakan, "Fabrikasi Janet Cooke mengejutkan, karena ia muncul di masa hampir seluruh warga menaruh hormat pada surat kabar, dan apa yang sekarang ini kita sebut sebagai media."
Hoax bikinan Cooke memang menggoyahkan fondasi kepercayaan masyarakat kepada pers dalam era informasi pasca-Perang Dunia II. Lalu, bagaimana koran bergengsi seperti The Post bisa kecolongan?
Ketika berkas lamaran Cooke sampai ke meja Bradlee pada Juli 1979, ia memang tampak menjanjikan. Bradlee mengambil pensil merah dan menandai "Phi Beta Kappa," "Vassar," dan "Black Journalist Association" pada resume Cooke. Editor legendaris di balik liputan Pentagon Papers dan skandal Watergate itu terkesan.
Bradlee lalu menyerahkan resume Cooke kepada Bob Woodward, asisten editor eksekutif untuk desk Metro, dengan pesan untuk segera merekrut wartawan muda itu sebelum didahului The New York Times atau koran lain.
Siger, yang sempat menjalin romansa dengan Cooke, juga bercerita bahwa Cooke memenuhi kriteria yang sedang dicari Bradlee. Kala itu bisnis media di Amerika sedang giat-giatnya memberi ruang bagi kaum minoritas. Karenanya, Cooke—seorang perempuan dan Afro-Amerika sekaligus—pantas mendapat kesempatan.
Cooke membuktikan kepada para editornya bahwa dia memang layak. Berita pertamanya tentang kontes kecantikan kulit hitam terbit dua minggu setelah ia diterima kerja. Pada 21 Februari 1980, artikel besar pertamanya terbit: sebuah cerita dramatis tentang daerah rawan kerusuhan dan peredaran narkoba di Washington.
"Itu adalah karya jurnalistik yang ditulis dengan bagus," puji Aplin-Brownlee, editornya, seperti dikutip Bill Green dalam investigasinya soal kasus Cooke.
Menurutnya, Cooke adalah tipe wartawan yang ulet meski tak terlalu menguasai lapangan. Dengan latar belakang itu, rasa-rasanya muskil Cooke membikin hoax.
Cooke baru buka suara kepada Sager pada 1996. Cooke menghubungi Sager dan meminta wawancara atas dirinya untuk dimuat di GQ, majalah tempat Sager bekerja saat itu.
Tentang rekayasa atas riwayat akademisnya, Cooke mengatakan, “Tujuanku adalah menciptakan Supernigger.” Lalu tentang kisah Jimmy, ia mengaku bahwa ia sama sekali tak meniatkannya untuk mengejar Pulitzer. Kisah Jimmy lahir dari rasa frustrasinya, dan ingin segera lepas dari lingkungan desk mingguan The Post yang dirasanya seperti “Ghetto”.
Ketika Cooke mulai menulis kisah Jimmy, ia mengingat saran Coleman yang menawarkan anonimitas kepada sumbernya. Bagi Cooke, itulah celah yang ia manfaatkan. “Aku hanya duduk dan lalu menulisnya.”
Sebagaimana dibeberkan dalam laporan investigasi Green atas redaksi The Post usai kasus Cooke, alasan lain yang membuat The Post kecolongan adalah sistem kerja yang penuh tekanan, dan sistem verifikasi yang tak dijalankan editor.
Semua wartawan di The Post tahu bahwa tampil di halaman perdana adalah prestasi besar. Setiap wartawan saling bersaing untuk bisa mengisi salah satu kolom di halaman satu. Bagi Cooke yang dikenal ambisius, hal ini membutakannya.
Dalam laporannya, Green menulis, “Kompetisi untuk mendapat tempat di halaman satu begitu kuat, sehingga efeknya mungkin tidak bisa dipahami bahkan oleh para editor papan atas. Ini adalah salah satu sumber, jika bukan sumber utama, tekanan di ruang redaksi.”
Para editor The Post juga seringkali memberi penugasan yang belum tentu dapat dilaksanakan reporternya. Para wartawan merasa dirinya gagal ketika penugasan itu tak dapat mereka penuhi. Hampir tak ada pengecualian, bahkan bagi reporter baru. Tak heran jika kondisi macam itu membuat wartawan baru The Post merasa tidak nyaman.
Investigasi Green juga mengungkap bahwa kepercayaan editor terhadap reporter, terutama soal sumber beritanya, terlampau besar. Itulah yang terjadi pada Coleman saat ia tak lagi memverifikasi lebih lanjut soal identitas ibu Jimmy dan alamat rumahnya. Cooke jelas salah telah memfabrikasi cerita, tetapi itu terjadi karena ada celah verifikasi.
“Sistem gagal karena tak dilakukan. Bradlee dan Simons seharusnya mengajukan pertanyaan, begitu juga Woodward dan Coleman dan yang lainnya. Dan setiap staf yang memiliki keraguan serius soal 'Jimmy' punya tanggung jawab untuk mengejar kebenarannya,” tulis Green memberi kesimpulan.
Baca juga: Upaya Memerangi Hoax dan Kabar Bohong di Dunia