Hikayat Budak dan Kumpul Kebo di Era VOC
https://www.naviri.org/2018/04/hikayat-budak-dan-kumpul-kebo-di-era-voc.html
Naviri.Org - Perbudakan adalah bagian sejarah kelam kehidupan manusia. Yang mungkin membuat miris, perbudakan masih ada pada satu abad kemarin. Karenanya, berbicara perbudakan artinya bukan berbicara mengenai sesuatu yang telah punah sekian abad yang lalu, melainkan sesuatu yang sebenarnya masih dikenal pada abad kemarin.
Dalam sejarah Indonesia, kita mengenal adanya era penjajahan Belanda di Nusantara, yang mula-mula datang dengan armada datang, atau yang lebih populer disebut VOC. Keberadaan VOC di Nusantara ternyata tidak hanya menciptakan penjajahan, namun juga menimbulkan praktik perbudakan.
Dengan tenaga yang dimilikinya, budak punya nilai ekonomis. Mereka mengerjakan berbagai jenis pekerjaan kasar. “Budak dipekerjakan sebagai tukang, pekerja kebun, di galangan kapal, di gudang atau di rumahtangga. Ada yang harus menjual hasil pertanian atau melacur, supaya si pemilik mendapat rezeki,” tulis Adolf Heuken dalam Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta (2016).
Biasanya, budak-budak itu berasal dari tawanan perang maupun orang yang berutang. Belakangan, cara menilai budak di Nusantara juga berkembang.
“Awalnya harga budak ditentukan dari usia dan tenaganya, namun pada abad XVIII harga beli seorang perempuan muda dua sampai tiga kali lebih tinggi daripada harga beli laki-laki.” Penyebabnya adalah “banyaknya imigran laki-laki Tionghoa. Karena mereka butuh istri.”
Lama-lama bukan hanya orang Tionghoa yang perlu teman hidup, tapi juga orang Belanda dan Arab. Hanya bentuk relasinya dan ikatannya saja yang berbeda. Orang Arab yang Islam biasanya menikahinya, meski hanya secara siri. Begitu juga orang Tionghoa. Orang-orang Belanda kebanyakan tetap memperlakukannya sebagai budak. Tak perlu pernikahan sama sekali. Mereka memilih mengambil budak karena alasan praktis.
Menurut Heuken, "Laki-laki di Betawi, baik itu Belanda, Tionghoa, Melayu dan Arab membutuhkan budak untuk kawin. Sebab wanita Belanda, Tionghoa, Arab, asli hampir tidak ada."
Beberapa orang Belanda yang pernah tidur dengan budak, pernah jadi Gubernur Jenderal Maskapai dagang Hindia Timur alias Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Biasanya, mereka berhubungan dengan budak-budak itu sebelum punya istri Belanda. Maklum, mendatangkan perempuan dari Negeri Belanda di masa itu sangat mahal ongkosnya.
Salah satunya adalah Reinier de Klerk (1710-1780) yang menjadi Gubernur Jenderal VOC dari 1777 hingga 1780. “Waktu belum berjabatan tinggi, de Klerk kumpul kebo dengan seorang wanita berstatus budak,” tulis Heuken. De Klerk yang memulai kariernya sebagai perwira Angkatan Laut VOC itu, pernah jadi akuntan dan pedagang VOC sebelum menjadi pejabat tinggi di VOC.
Setelah kaya, barulah dia menikahi Sophia Westplam—putri dari keluarga terpandang. Sementara itu, anak laki-laki dari hubungan gelapnya dengan budak perempuan pun dikirim ke Negeri Belanda. Gubernur Jenderal pendahulu de Klerk, Gustaaf Willem Baron van Imhoff (1705-1750), menjabat 1743 hingga 1750, juga pernah punya kisah dengan budak.
Setelah C.M. Huysman meninggal dunia pada 1743, “[Baron] van Imhoff menerima seorang wanita budak belian cantik, hadiah dari Ratu Bone. Setelah kekasih ini dibebaskan dan dibaptis, diberi nama Helena Pieters, lalu dinikahi van Imhoff. Dua dari tiga anak hasil pernikahan ini disahkan dan pindah ke Belanda,” tulis Heuken.
Di luar daftar Gubernur Jenderal VOC, seorang Belanda terkenal lainnya adalah Herman Warner Muntinghe (1773-1827). Dia salah satu anggota Dewan Hindia. Laki-laki kelahiran Amsterdam ini pernah menjadi penasehat Letnan Gubernur Jenderal Inggris di Indonesia, Thomas Stanford Raffles. H.W. Muntinghe juga melakukannya. Dia kumpul kebo dengan tiga budak perempuan yang masih muda, meski sudah beristri perempuan Indo-Belanda.
Thomas Stanford Raffles, yang dikenal sebagai laki-laki mulia di jajahan Inggris itu, juga tak bertindak keras kepada orang terdekatnya yang bercinta dengan budak-budak mereka. Raffles sendiri dikenal sebagai pria yang beristri perempuan terhormat, Olivia Mariamne Devenish. Salah satu kolega Raffles yang dikenal kerap main-main dengan budak perempuannya adalah Alexander Hare.
Hare memberi contoh ekstrem bagaimana seorang laki-laki terhormat Eropa meniduri budak-budak perempuan-perempuannya. “Dia kawini gadis penari 14 tahun bernama Dishta sebelum lebih lanjut berlayar ke timur,” tulis Tim Hannigan dalam Raffles and the British Invasion of Java (2012).
Menurut Rosihan Anwar dalam Sejarah kecil "petite histoire" Indonesia, Volume 1 (2004), "Dishta tadinya adalah seorang penari dari kumpulan penari dan penyanyi yang memberi hiburan pada pesta raja-raja, tuan tanah besar itu, lalu dibelinya dengan harga mahal.”
Ketika berkuasa di Kalimantan Selatan, di bawah kuasa Raffles, menurut J. U. Lontaan dalam Menjelajah Kalimantan (1985), Hare mendapat 4.000 budak untuk mengerjakan lahan. Belum lagi 200 budak dari Sultan Banjar, untuk membuka daerah yang dikuasakan pada Hare.
“Dari sejumlah budak tersebut, minat Hare terutama tertuju kepada budak-budak perempuan yang berasal dari berbagai etnis di nusantara,” tulis Rosihan.
Ada Moskina dari tanah Bugis, Sarinten Jagolan dari Sunda, Mariatim dari Timor, Kodarmina dari Papua. Dari luar Nusantara, Hare tak mau ketinggalan. Selain Dishta dari India, Hare punya Marona dari Basuto, juga Nyo An dari Kanton, Tiongkok. Meski main gila sana-sini, Dishta adalah perempuan yang paling disayangi Hare.
Di luar pejabat-pejabat Eropa tadi, ada juga kalangan pedagang kaya raya di Eropa yang melakukannya juga. Salah satunya Jehoede Leip Jegiel Igel alias Leendert Miero. Pedagang emas kaya raya di Betawi yang pernah jadi pemilik rumah besar Pondok Gede dan Gedung Arsip Jalan Gajah Mada ini, menurut Heuken, meniduri empat budak perempuannya, dan masing-masing budak perempuan itu memberi satu anak pada Miero.
Menurut Victor Ido van de Wall dalam Oude Hollandsche Buitenplaatsen van Batavia (1944), dia pernah dua kali kawin dengan dua perempuan Belanda, tapi tak beroleh anak. Akhirnya anak-anak dari empat budak perempuannyalah yang jadi ahli waris dan memakai nama belakang Miero.
Budak perempuan tentu saja punya harga mahal di awal abad XIX itu. Di masa Raffles berkuasa, menurut catatan Heuken, seorang budak perempuan asal Bali dihargai 50 hingga 100 dolar, sementara budak laki-laki 10 hingga 30 dolar saja. Budak perempuan asal Bali sangat laku di kalangan orang Belanda dan Tionghoa. Mereka dianggap tak hanya pandai mengurus rumah tangga, tapi juga rupawan.
Demi menjaga moral orang-orang Tionghoa agar semangat dan sehat hidupnya, Raffles pun ikut serta mengimpor budak wanita Bali untuk laki-laki Tionghoa di Singapura. Selain perempuan Bali, perempuan Nias yang sehat dan cantik juga dihargai 100 dolar. Laki-laki Eropa sendiri sering mengambil perempuan Bali atau Nias untuk dijadikan gundik mereka.
Baca juga: Wajah Perbudakan Manusia dari Masa ke Masa