Mengenal Disrupsi Bisnis, Inovasi yang Mengubah Pasar
https://www.naviri.org/2018/04/disrupsi-bisnis.html
Naviri.Org - Dulu, kita mengenal ojek pangkalan, yang menyediakan jasa mengantarkan kita pergi ke mana pun. Untuk menggunakan jasa ojek pangkalan tersebut, kita tentu harus datang ke pangkalan mereka, menyebutkan tujuan yang diinginkan, lalu melakukan tawar menawar harga. Setelah disepakati, ojek akan mengantarkan kita sampai di tempat tujuan.
Kini, ketika ponsel pintar telah menjadi barang yang digunakan oleh hampir semua orang, jasa ojek mengalami perubahan. Sekarang, orang yang membutuhkan jasa ojek tidak perlu lagi datang ke pangkalan ojek, melainkan cukup menggunakan ponsel pintar. Dengan aplikasi yang telah ada, kita tinggal menyebutkan tujuan, dan ojek yang dipesan mendatangi tempat tinggal kita. Jasa itu, belakangan, populer disebut ojek online.
Karena ojek online dianggap lebih praktis dan lebih murah, orang-orang pun cenderung lebih memilih ojek online, dan mulai meninggalkan ojek lama (ojek pangkalan).
Perubahan pola bisnis yang terjadi antara ojek pangkalan dan ojek online, atau berjamurnya toko maya di internet dan tutupnya sejumlah gerai ritel, biasa disebut inovasi disrupsi—disruption innovative. Antonio Gomes, Head of the Competition Division dari Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), menyebut inovasi disrupsi sebagai inovasi yang secara drastis mengubah pasar.
Disrupsi tersebut tak cuma terjadi di dunia jasa. Teknologi, membuatnya menyasar banyak sektor yang akhirnya berdampak pada perubahan pola bisnis. Misalnya, di sektor perbankan, bank-bank mulai berlomba-lomba memangkas rangkaian panjang proses administrasi dan menciptakan teknologi yang memudahkan nasabah melayani dirinya sendiri. Sehingga tenaga manusia di sektor itu akan berkurang ke depannya.
Muhammad Syarkawi Rauf, Ketua Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) menilai disrupsi pola bisnis tersebut tak bisa ditolak. Pertarungan antara usaha konvensional dan model bisnis baru yang lebih memanfaatkan teknologi. “Kami melihatnya yang perlu dilakukan adalah adjustment (penyesuaian), karena tidak mungkin ditolak,” ujar Syarkawi dalam sebuah diskusi di Jakarta.
Perkembangan bisnis, menurutnya, tak bisa ditolak atau dibatas-batasi. Namun, usaha-usaha konvensional masih tetap perlu dipantau dan diarahkan agar tidak kalah bersaing dengan model bisnis baru yang terus berkembang. “Kuncinya perlu dilakukan literasi,” kata Syarkawi. Ia mencontohkan perseteruan antara taksi konvensional dengan taksi online yang berujung baik, dengan kolaborasi kedua model bisnis.
Syarkawi menilai, regulator juga perlu mengubah pola pikirnya menuju disrupsi inovasi. Sehingga, bukannya menghambat pelaku usaha baru untuk berkembang, tapi justru membuka peluang bagi mereka untuk terus maju. “Cara kita untuk mengembangkan regulasi untuk usaha-usaha baru ini tidak boleh pakai mindset lama,” tambahnya.
Menanggapi sejumlah pelaku usaha konvensional yang akhirnya tutup atau kalah bersaing dengan bisnis-bisnis model baru, Syarkawi menilai hal tersebut adalah tentang pilihan. “Ya kalau ada konvensional yang bisnisnya tutup gara-gara semua orang switch ke bisnis yang berbasis aplikasi online, ya saya kira itu persoalan strategi bisnis: apakah tetap mau bertahan dengan model konvensional atau bisnis baru?”
Disrupsi dari sektor teknologi
Perubahan pola bisnis paling besar memang datang dari sektor teknologi. Kemajuannya membuat perusahaan-perusahaan layanan jasa tumbuh subur lewat aplikasi-aplikasi yang bisa digunakan lewat ponsel pintar. Tom Goodwin, Senior Vice President of Strategy and Innovation Havas Media pernah menulis di Techcrunch, bahwa ada hal unik yang sedang terjadi sekarang:
Uber adalah perusahaan taksi (jasa angkutan) terbesar di dunia tanpa kendaraan; Facebook adalah perusahan media paling populer yang tak bikin konten; Alibaba, peritel bervaluasi paling tinggi tanpa inventaris; Dan Airbnb adalah penyedia akomodasi terbesar di dunia yang tak punya perumahan.
Semua perusahaan itu hadir sebagai perantara antara penyedia dan konsumen lewat aplikasi. Uber bahkan jadi Unicorn dengan valuasi tertinggi tahun ini, mencapai 69 miliar dolar AS. Bahkan 9 dari 10 perusahaan yang masuk daftar Unicorn bervaluasi tertinggi adalah perusahaan jasa pelayanan yang berdiri sebagai pihak ketiga.
Kehadiran mereka memang cukup menohok usaha konvensional yang berjalan di jalur yang sama. Sebagian besar diprediksi menjemput senjakalanya ketika disrupsi ini terjadi. Misalnya, kehadiran Facebook nyatanya mengancam eksistensi media cetak yang mulai ditinggalkan pembacanya. Atau pasar pelanggan hotel yang mulai diserap Airbnb, pasar ojek online yang diserap Uber dan aplikasi serupa, serta tutupnya gerai-gerai belanja konvensional belum lama ini.
Baca juga: Dana untuk Startup, dari Venture Capital Sampai Saham