Creative Destruction, Inovasi yang Melahirkan Kerusakan
Naviri.Org - Inovasi atau pembaruan merupakan upaya memperbaiki atau bahkan menyempurnakan sesuatu yang telah ada. Atau, bisa pula membe...
https://www.naviri.org/2018/04/creative-destruction.html
Naviri.Org - Inovasi atau pembaruan merupakan upaya memperbaiki atau bahkan menyempurnakan sesuatu yang telah ada. Atau, bisa pula memberi pilihan lain selain hal-hal yang telah ada. Di dunia bisnis atau industri, khususnya industri teknologi, inovasi sangat dibutuhkan, karena melalui inovasi itulah berbagai hal baru dikenal di dunia. Yang menjadi masalah, dan kadang tak terpikir banyak orang, inovasi kadang membawa sisi buruk.
Sebagai contoh, Uber adalah salah satu bentuk inovasi di bidang transportasi, yang ditujukan untuk memberi pilihan para penumpang taksi—menggunakan Uber, atau tetap menggunakan taksi konvensional. Sebagai sebuah inovasi, Uber jelas hebat, karena keberadaannya memperbarui sistem taksi yang sudah lama dikenal, sekaligus memberi kemudahan bagi konsumen yang sebelumnya hanya mengenal taksi konvensional.
Tetapi, di sisi lain, kehadiran Uber secara tak langsung “merusak” sistem transportasi yang sebelumnya telah mapan, khususnya terkait taksi. Para pengusaha taksi konvensional, termasuk para sopir taksi, dibuat repot oleh Uber karena kehadiran Uber tidak hanya menjadi pesaing tapi juga meminggirkan mereka. Uber, dengan layanan teknologinya, mampu menarik minat para pengguna taksi sehingga lebih memilih Uber daripada taksi konvensional.
Fenomena Uber dan transportasi online lainnya hanya bagian kecil dari sebuah konsep bernama “sharing economy” yang berkonsolidasi dengan kemajuan teknologi. Sharing economy sesungguhnya merupakan konsep lama. Ia merupakan konsep membagi aset secara peer-to-peer alias transaksi yang dilakukan secara terdesentralisasi, antar individu. Dalam kerangka umum, sharing economy tak membicarakan untung-rugi selayaknya transaksi jual-beli. Sharing economy merupakan konsep membagi, tak mencari untung.
Namun, dalam kerangka teknologi, sharing economy kini telah bertransformasi lebih jauh setelah "ditunggangi" dengan sentuhan teknologi. Komisi Perdagangan Federal Amerika Serikat dalam laporannya bertajuk “The ‘Sharing’ Economy Issues Facing Platform, Participants & Regylators” menyebut, dalam konteks kerangka teknologi, sharing economy merupakan suatu marketplace yang dikelilingi 3 pemain prinsipal: platform, sebagai tempat berlangsungnya sharing economy, penjual, dan pembeli.
Platform, dalam laporan tersebut, disebut berguna “untuk mempertemukan individu yang memiliki suatu barang dengan seseorang yang menginginkan barang tersebut.”
Konsep sharing economy sesungguhnya menihilkan pihak ketiga, dalam kerangka teknologi, terjadi revolusi soal pihak ketiga ini. Ia menyaru menjadi benda. Menjadi platform yang bertugas mempertemukan orang-orang di dalamnya. Secara efektif dan efisien. Keefektifan dan keefisienan inilah yang menjadi pangkal pihak ketiga gaya baru dengan memanfaatkan teknologi, untuk memperoleh kompensasi atau keuntungan dari dua individu yang dipertemukan, penjual dan pembeli.
Sharing economy yang terlahir dalam konteks perkembangan teknologi, hari ini kita kenal dengan aplikasi-aplikasi seperti bidang transportasi antara lain Uber, Go-Jek, Grab, Lyft. Sedangkan Airbnb, Kozaza, Couchsurfing, masuk dalam bidang akomodasi. Selain itu, ada eBay, Tokopedia, Bukalapak, di bidang e-commerce. Prosper, KlikAcc, masuk dalam bidang pembiayaan. Lalu ada Sribulancer, oDesk dalam bidang jasa, dan banyak lainnya.
Sofia Ranchordas, dalam jurnal berjudul “Does Sharing Mean Caring? Regulating Innovation in the Sharing Economy”, menjelaskan bahwa aplikasi-aplikasi tadi dalam praktiknya lebih dekat digerakkan melalui motivasi inovasi sosial. Dibakar oleh semangat berbagi. Go-Jek misalnya, aplikasi yang dibangun oleh Nadiem Makarim tersebut dibuat untuk mempertemukan dua pihak yang saling membutuhkan.
Pengendara Go-Jek yang membutuhkan pendapatan, dan penduduk kota yang mengharapkan transportasi nyaman. Di titik ini, makna “sharing” bekerja. Namun, atas dasar perawatan platform dan klaim keberhasilan menghadirkan sesuatu yang efektif dan efisien, atau kompensasi dalam bentuk komersial, menjadi cerita lain dari sharing economy.
Meskipun terlihat positif, sharing economy yang lahir dalam bentuk aplikasi-aplikasi kekinian tersebut memiliki banyak sisi negatif. Ranchordas mengungkapkan bahwa ketiadaan asuransi bagi pemakai jasa, khususnya dalam konteks aplikasi ride-sharing seperti Uber dan Go-Jek, merupakan suatu hal yang meresahkan dari aplikasi ini.
Bila dilihat secara lebih menyeluruh, aplikasi-aplikasi yang terangkum dalam sharing economy tersebut, meskipun di satu sisi menguntungkan masyarakat, namun secara bersamaan memiliki sifat merusak terhadap tatanan yang sudah ada, istilahnya sebagai “creative destruction.”
Henrique Schneider, dalam buku berjudul “Creative Destruction and Sharing Economy”, menyebut bahkan istilah creative destruction bukanlah barang baru. Walkman yang lahir pada 1970-an, waktu itu adalah bagian dari creative destruction terhadap teknologi-teknologi yang ada sebelumnya. Namun, setelah iPod besutan Apple lahir, ia adalah creative destruction bagi bisnis walkman yang lebih dulu ada.
Inti dari lahirnya istilah tersebut berdasarkan pada kenyataan bahwa inovasi sukses menghancurkan produk yang ada sebelumnya. Istilah ini, berikut juga konsep sharing economy, berkembang pesat di akhir dekade 1990-an seiring dengan kian kuatnya keberadaan teknologi internet.
Istilah creative destruction, merujuk apa yang diungkap Schneider, dicetuskan oleh ekonom keturunan Austria-Amerika bernama Joseph Schumpeter dan ekonom Amerika bernama Clayton M. Christensen. Istilah ini sudah muncul di dekade 1940-an.
Creative destruction, menurut Schumpeter, tak serta merta merupakan persoalan sepele. Creative destruction, yang menyaru dalam berbagai bentuk aplikasi ponsel pintar hari ini, adalah bentuk nyata dari pasar bebas.
Schneider, mengutip buku Schumpeter berjudul “In Capitalism, Socialism, and Democracy," mengungkapkan bahwa creative destruction, menurut pandangan Schumpeter, telah sukses “terus-menerus merevolusi struktur ekonomi dari dalam, terus-menerus menghancurkan yang lama, terus-menerus menciptakan yang baru. Proses creative destruction ini adalah fakta penting tentang kapitalisme."
Schumpeter mengatakan bahwa creative destruction memiliki inti di dalamnya bernama inovasi. Kekuatan untuk menciptakan barang baru dan pasar baru. Inovasi tak lahir dengan biaya minim. Fakta bahwa suatu penelitian dan pengembangan membutuhkan biaya yang tak murah adalah bukti bahwa inovasi bukanlah frasa sepele.
Schumpeter mengatakan bahwa inovasi hanya mampu diciptakan oleh korporasi yang besar, atau entitas lain pemilik modal. Dalam konteks startup aplikasi, venture capital merupakan entitas pemilik modal itu.
Selanjutnya, Christensen mengungkapkan bahwa creative desctruction memiliki dua implikasi. Low-end disruption dan new-market disruption. Low-end disruption terjadi kala inovasi menggerus kehidupan pemain atau entitas bisnis lama.
Sesungguhnya, salah satu masalah mendasar atas kelahiran creative destruction dalam bentuk aplikasi-aplikasi sharing economy ialah regulasi. Wulf A. Kall dalam jurnal bertajuk “How To Regulate Disruptive Innovation” mengungkapkan bahwa kelahiran aplikasi-aplikasi seperti Uber, Go-Jek, Airbnb, memiliki potensi merusak yang tidak disangka. Menghancurkan tatanan yang telah kokoh. Tanpa regulasi, kerusakan yang ditimbulkan akan mengakibatkan kehancuran.
Selama ini, dalam mengatasi lahirnya aplikasi-aplikasi demikian, regulator menggunakan strategi trial-and-error. Regulator, dalam berhadapan dengan pesatnya kelahiran aplikasi-aplikasi canggih, menghadapi dilema. Jika terlalu cepat regulasi dibuat, ia akan menghancurkan inovasi. Namun bila terlalu lama, ia akan membahayakan konsumen dan juga pasar.
Di Indonesia, hal ini bisa dilihat perihal aturan ride-sharing. Respons yang lamban dan cenderung membiarkan status quo menyebabkan panasnya hubungan antara kalangan ride-sharing dengan transportasi konvensional yang telah mencengkeram sebelumnya. Creative destruction lahir dalam berbagai bentuk pada masing-masing zaman, dan siap melibas siapa saja yang tak mengikuti gerak arah inovasi.
Baca juga: Kecerdasan Buatan dan Matinya Bisnis di Masa Depan