Sejarah dan Perkembangan Bisnis Spa/Panti Pijat di Indonesia
https://www.naviri.org/2018/04/bisnis-spa.html
Naviri.Org - Pada 10 Mei 1969, harian Kompas menerbitkan artikel yang isinya himbauan Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Ali Sadikin, yang mempersilakan para pengusaha untuk membuka bisnis spa dan panti pijat di wilayah ibu kota Jakarta. Bisa dibilang, itulah pertama kalinya pemerintah DKI melegalkan bisnis tersebut, setelah sebelumnya bisnis semacam beroperasi secara liar atau diam-diam (tanpa perizinan resmi).
Kemudian, pada 22 Februari 1971, Gubernur Ali Sadikin mulai mengatur jam operasional bisnis hiburan dan rekreasi, dari 8 pagi hingga 12 malam, lantaran kental dengan stigma negatif. Prasangka ini memaksa beberapa usaha jasa pijat tutup atau terkena sanksi karena ilegal maupun karena hal lain yang dinilai melanggar aturan. Sampai tahun itu, di DKI Jakarta sudah ada 500 kamar dari 28 panti pijat dan mandi uap.
Pada 1972, usaha jenis baru muncul, dengan mengadopsi praktik pijat ala Thailand. Perusahaannya bernama “Dusit Thani”—artinya “Kota Surga”. Manajemen dan bahkan pelayannya didatangkan dari Bangkok. Seperti ditulis harian Kompas edisi 7 Februari 1972, tamu bahkan bisa memilih “massage girl yang berkumpul dalam ruangan berkaca.” Hal itu kelak menjadi praktik umum usaha pijat dan mandi uap di kemudian hari.
Perubahan dramatis terjadi pada 1978-an; pemerintah melarang panti mandi uap. Larangan ini mengacu pada radiogram Departemen Dalam Negeri.
Namun, upaya memberangus usaha rekreasi dan hiburan ini nyaris tak mungkin. Faktanya, pada 1981, pemerintah DKI Jakarta pernah memanggil salah satu usaha steambath dan pijat di Mangga Dua, karena dituduh melakukan praktik body massage—yang jelas melanggar aturan bisnis hiburan dan rekreasi.
Itu makin menegaskan stigma negatif terhadap bsinis panti pijat, mandi uap atau spa—sebagaimana bisnis ini kali pertama hadir di Jakarta pada era 1960-an.
Pada 2009, lewat Undang-Undang No. 10 tentang Kepariwisataan, bisnis spa tergolong salah satu usaha jasa pariwisata. Aturan ini jalan baru bagi kehadiran bisnis spa untuk keluar dari stigma negatif, yang tergolong sebagai jasa rekreasi dan hiburan dan penyangga industri pariwisata.
Pada tahun yang sama, Indonesia, terutama Pulau Bali, mendapatkan predikat sebagai “Destinasi Wisata Spa Terbaik di Dunia” dari sebuah majalah internasional.
Dua tahun sesudah predikat itu, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bersama Kementerian Kesehatan sepakat untuk “berkoordinasi dan menyusun program kerja” lewat nota kesepahaman tentang Wisata Kesehatan, termasuk menjadikan spa sebagai salah satu potensi pariwisata yang dapat diangkat secara global.
Dari sana, pada 2014, Kementerian Pariwisata merilis peraturan setingkat menteri untuk melakukan “standarisasi usaha jasa spa.”
Menjamur merata setelah 2009
Apa yang terjadi setelah tahun 2009? Publikasi dari Badan Pusat Statistik berjudul “Statistik Solus Per Aqua (Spa)” (2015) menawarkan sorotan menarik dari cacah survei kepada 1.236 usaha spa di seluruh Indonesia.
Hasilnya, sampai tahun 2015, 17,88 persen usaha spa terbanyak berada di DKI Jakarta (atau sebanyak 220), disusul Jawa Timur (17,15 persen), Jawa Barat (10,03 persen), Bali (7,04 persen), dan Yogyakarta (6,72 persen).
Hasil survei ini juga menyatakan usaha komersial spa meningkat sekitar 64,97 persen setelah 2009; sebagian bahkan hadir pertama kali di beberapa daerah seperti di Bengkulu, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, Papua Barat, dan Papua.
Data yang sama menyebutkan 57, 28 persen usaha spa di Indonesia tergolong kelompok usaha beromzet di bawah Rp500 juta/tahun; dan 20,55 persen beromzet antara Rp500 juta hingga Rp1 miliar/tahun. Sementara untuk segmentasi di atas Rp1 miliar atau Rp2 miliar per tahun masih terbatas.
Segmen terbatas itu mayoritas ada di Bali, yakni 42,53 persen untuk spa beromzet di atas Rp2 miliar/tahun, dan 16,09 persen untuk spa beromzet antara Rp1 miliar – Rp2 miliar/tahun.
Sebaliknya, di Jakarta, mayoritas spa untuk kelas menengah. Rinciannya, ada 31,22 persen usaha spa beromzet Rp500 juta - Rp1 miliar/tahun; 25,79 persen spa beromzet di bawah Rp500 juta/tahun; dan 23,98 persen beromzet Rp1 miliar - Rp2 miliar/tahun.
Meski usaha spa tak cuma terapi pijat, tetapi ada segelintir yang menyediakannya. Secara nasional, masih dari data BPS, 89,97 persen layanan usaha spa terkait terapi pijat. Di DKI Jakarta saja, layanan yang tersedia selain terapi pijat berkisar terapi air (26,70 persen), terapi rempah (24,43 persen), terapi pikiran (3,17 persen), dan hanya 6,79 persen yang menyediakan olah fisik.
Dari segi target konsumen, ada 64,81 persen usaha jasa spa untuk laki-laki dan perempuan. Khusus spa untuk perempuan ada 31,55 persen; sebaliknya hanya sekitar 3,64 persen usaha spa khusus untuk laki-laki.
Sebagai bisnis legal dan diatur dalam undang-undang, pajak bisnis spa dan pijat tergolong dalam kategori pajak hiburan. Berapa yang didapatkan Pemprov DKI Jakarta dari bisnis ini?
Setoran pajak hiburan untuk DKI Jakarta hanya sekitar 2,13 persen sepanjang 2014-2016. Pada 2016, dari total Rp31 triliun penerimaan pajak daerah, pajak hiburan menyumbang Rp769,53 miliar.
Khusus untuk bisnis pijat menyumbang Rp56,40 miliar (7,33 persen), sementara bisnis spa menyetor Rp36,24 miliar (4,71 persen) dari total pajak hiburan. Jumlah ini masing-masing lebih kurang 0,18 persen dan 0,11 persen terhadap total pajak daerah.
Baca juga: Sejarah Mandi Uap, dari Turki Sampai Indonesia