Sejarah Penjajahan, dan Asal Usul Ekonomi yang Terpusat di Jawa

Sejarah Penjajahan, dan Asal Usul Ekonomi yang Terpusat di Jawa

Naviri.Org - Diakui atau tidak, Jawa bisa dibilang menjadi pusat ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi di Jawa jelas jauh lebih besar dibanding di pulau-pulau lain semisal Sumatera, Kalimantan, dan lain-lain, meski pulau-pulau tersebut tidak kalah besar dibanding Jawa. Karena kenyataan itu pula, banyak orang dari luar Jawa yang sengaja masuk ke Jawa untuk bekerja, karena menyadari bahwa pusat ekonomi Indonesia ada di Jawa.

Mengapa perekonomian di Jawa jauh lebih maju dibanding perekonomian di wilayah-wilayah lain di Indonesia? Kenyataan itu tak bisa dilepaskan dari sejarah penjajahan atau kolonialisme yang dulu pernah terjadi di negeri ini. Kolonialisme, terlepas dari segala macam keburukannya, turut memiliki andil dalam proses integrasi ekonomi nasional.

Permasalahan yang ditimbulkan dari terbentuknya perekonomian nasional bukan lagi berkisar sebatas ranah ekonomi semata, tapi juga menyangkut domain sosial-politik-historis. Perkembangan ilmu ekonomi modern seakan memaksa para ekonom menengok kembali keadaan masa lampau untuk menganalisis apa yang terjadi hari ini.

Pertanyaan yang lazim diajukan berkisar pada bagaimana integrasi ekonomi Indonesia berlangsung? Dari situ, pertanyaan berlanjut kepada: Apakah kepulauan Indonesia merupakan bagian dari ekonomi nasional yang kohesif ataukah masih merupakan bagian-bagian yang terpisah? Dua pertanyaan yang sesungguhnya masih relevan dengan kondisi terkini ekonomi Indonesia.

Dimulainya sentralisasi

Jaringan aktivitas ekonomi Asia Tenggara sebenarnya sudah terbentuk jauh sebelum negara modern berdiri. Seperti digambarkan Anthony Reid dalam Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680 Vol. 2: Expansion and Crisis (1993), perdagangan dan kegiatan ekonomi lain sudah terjalin sejak abad ke-15 dan melampaui batas-batas negara modern masa kini.

Dalam konteks Indonesia, jaringan perdagangan yang telah terbentuk selama berabad-abad itu menemui titik akhir tatkala negara modern Hindia Belanda berdiri pada awal abad ke-19. Rempah-rempah, yang pada masa sebelumnya menjadi barang dagangan paling laris di pasaran Eropa, mulai tergantikan oleh komoditas lain: tebu, karet, dan kina.

Terbentuknya negara modern juga membawa akibat kemunculan sentralisasi ekonomi. Menurut Howard Dick dalam The Emergence of National Economy: An Economic History of Indonesia, 1800-2000 (2002), sejarah ekonomi Indonesia diwarnai oleh “dua abad merajalelanya sentralisasi dan negara Jawa-sentris.”

Semenjak Daendels memegang kekuasaan dan kemudian menerapkan sistem sentralisasi pemerintahan ala Napoleon, negara Hindia Belanda memasuki babak baru dalam perjalanan sejarahnya: pengaturan ekonomi dan pemerintahan bukan lagi berlandaskan pragmatisme ala maskapai perdagangan, namun berjalan di atas prinsip-prinsip negara modern. Integrasi politik memang berjalan relatif lancar sejak saat itu, tetapi tidak demikian dengan proses integrasi ekonomi.

Masih menurut Howard Dick, perekonomian nasional Indonesia terbentuk tidak melalui evolusi alamiah, melainkan “suatu penyimpangan tidak alamiah yang dipaksakan oleh kekuatan militer Eropa pada abad ke-19 (hlm. 14)”. Ini pernyataan yang sungguh menarik bagi sejarawan maupun ekonom. Bagaimanapun juga, proses terbentuknya perekonomian di negara jajahan memiliki pola yang berbeda dengan apa yang terjadi di Eropa.

Dalam Capitalism and Material Life 1400-1800 (1975), sejarawan Fernand Braudel menunjukkan bagaimana perekonomian Eropa terbentuk pada abad ke-15 sampai abad ke-19. Ia menegaskan, ekonomi Eropa adalah akibat langsung, dan bisa dikatakan sebagai evolusi alamiah, dari perkembangan kapitalisme serta kehidupan material masyarakat.

Sementara apa yang terjadi di Indonesia merupakan gambaran khas negara-negara jajahan. Kawasan Asia Tenggara, khususnya kepulauan Indonesia, menjadi medan pertempuran ekonomi tiga kekuatan besar yang ambisius: Belanda, Inggris, dan Spanyol. Masing-masing kekuatan itu berlomba-lomba memperkuat dan memperluas hegemoninya.

Pertarungan di antara tiga kekuatan ini, yang mau tak mau juga melibatkan kerajaan-kerajaan di Nusantara sebagai sekutu maupun seteru, mewarnai proses transisi yang penuh kekerasan. Transisi dari perdagangan maritim antarpulau yang terintegrasi menuju sistem perekonomian kolonial yang terpusat.

Belanda memang bisa menghegemoni kepulauan Indonesia secara perlahan-lahan melalui berbagai penaklukan militer dan lewat berbagai perjanjian, tapi ia juga menghadapi kenyataan bahwa masih banyak penguasa-penguasa pribumi yang berdaulat dan berjuang mati-matian melawan kolonialisme.

Belanda pun dihadapkan pada realitas lainnya: pedagang-pedagang pribumi tetap melakukan aktivitas ekonomi menembus batas-batas teritorial bentukan kolonialisme. Dikatakan oleh Dick, “Hindia Belanda… karena itu lebih mirip kain perca ketimbang negara yang bersatu… Dalam hal ekonomi, pola aliran perdagangan seperti mencemooh batas-batas negara kolonial” (hlm. 14). Dari perspektif kekuasaan kolonial, hal itu sebenarnya menunjukkan betapa rapuhnya sendi-sendi perekonomian yang dibangun Belanda.

Terciptanya dikotomi Jawa-luar Jawa

Anomali pola pembentukan perekonomian nasional juga dipengaruhi faktor geografis Indonesia yang dua pertiga wilayahnya adalah laut. Dengan jangkauan wilayah yang luas dan terdiri dari ribuan pulau, proses integrasi ekonomi berjalan lebih lambat daripada wilayah daratan.

Kondisi seperti ini mengakibatkan ketidakseimbangan antara wilayah Indonesia bagian barat dengan bagian timur. Angka statistik ekonomi dari 1800-2000 menunjukkan bahwa wilayah barat (Jawa, Bali, Sumatera, dan Kalimantan) menguasai sekitar 90% perekonomian nasional.

Angka yang jomplang tersebut diakibatkan oleh lebih intensifnya wilayah barat dalam berinteraksi dengan titik-titik penting perekonomian Asia Tenggara seperti Singapura dan Selat Malaka. Interaksi ini terjadi selama berabad-abad dan menjadi fondasi bagi poros perekonomian modern Kuala Lumpur-Jakarta-Singapura. Boleh dikatakan, di poros inilah volume perdagangan terbesar Asia Tenggara berada.

Sementara itu, bagian timur tetap tertinggal dengan hanya menguasai 10% perekonomian nasional. Jika dipandang dari perspektif geografi ekonomi, wilayah ini memang terlihat kurang beruntung. Mereka jauh dari poros utama perekonomian Asia Tenggara dan nampak seperti terabaikan semenjak zaman Hindia Belanda.

Howard Dick menggambarkan ketertinggalan wilayah timur dengan mengatakan: “Bagian timur Indonesia yang luas mengalami kemalangan karena terombang-ambing dalam kevakuman ekonomi. Jika Indonesia barat diuntungkan lantaran menjadi bagian dari pusat aktivitas transnasional di Asia Tenggara, Indonesia timur menderita karena menjadi periferinya.” (hlm. 12).

Keadaan seperti itu memunculkan problematika yang terus menerus berlangsung hingga masa sekarang: dikotomi pusat (core) dan pinggiran (periphery). Dalam bentuk lain, dikotomi tersebut menjelma menjadi polarisasi Jawa-Luar Jawa. Inilah isu yang tak ada habisnya dalam sejarah ekonomi Indonesia.

Baca juga: Sejarah Gelap Kolonialisme Prancis di Masa Lalu

Related

Insight 6824452172361930271

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item