Memahami Pasangan yang Menunda Punya Anak
https://www.naviri.org/2018/04/Menunda-Punya-Anak.html
Naviri.Org - Salah satu masalah dalam kehidupan sebagian kita adalah menghadapi “kenyinyiran masyarakat”. Saat masih lajang, masyarakat bertanya-tanya, “Kapan menikah?” Lalu, setelah menikah, masyarakat kembali bertanya-tanya, “Kapan punya anak?” Bahkan, kadang, yang sudah punya anak pun tak terbebas dari nyinyiran, kali ini ditanya, “Kapan nambah anak?”
Padahal, masing-masing orang, atau masing-masing pasangan, menghadapi kehidupan mereka sendiri, yang bisa jadi tidak dipahami kebanyakan orang lain. Lajang yang menunda menikah, misalnya, bisa jadi karena sedang menghadapi masalah hidupnya, dan bermaksud menyelesaikan masalahnya terlebih dulu sebelum menikah. Begitu pula dengan pasangan yang sengaja menunda punya anak. Bisa jadi mereka memiliki pemikiran tertentu, atau pertimbangan tertentu.
Bagi sebagian orang, menjadi orangtua (memiliki anak) sering diasumsikan selangkah lebih maju untuk dibilang “sukses”, atau tambahan pahala karena bisa membahagiakan bapak-ibu yang sudah tidak sabar ingin menimang cucu. Tidak sedikit pula yang masih mengamini bahwa semakin banyak anak artinya semakin banyak rezeki. Beranak-pinak dahulu, mencari jalan keluar masalah finansial, mental, dan lingkungan selepas punya anak kemudian.
Seiring dengan waktu, anggapan konvensional tentang “keharusan” memiliki anak setelah menikah mulai mendapat tantangan. Perlahan-lahan, muncul individu-individu yang dengan berani mengakui diri childfree alias memutuskan tidak mau punya anak. Tentu saja mereka mesti bertemu dengan aneka cibiran, stigma negatif, atau hujatan saat mengemukakan pendapatnya di depan umum.
Di lain sisi, ada pula orang-orang yang sekalipun tidak menolak memiliki momongan, terus menunda rencana kehamilan dengan macam-macam alasan. Salah satu ilustrasi mengapa partner tidak siap memiliki anak digambarkan dalam film Juno (2007).
Sudah lima tahun pasangan Mark-Vanessa Loring berusaha untuk mempunyai anak sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk mengiklankan diri sebagai orangtua adopsi. Lantas datanglah Juno, remaja SMA yang hamil di luar nikah dan memilih mereka untuk mengadopsi anaknya kelak. Segala hal telah dipersiapkan Vanessa jauh sebelum kelahiran bayi Juno. Antusiasmenya meluap-luap, semua informasi tentang perkembangan janin Juno mudah membuatnya terharu.
Awalnya, Mark tampak mendukung dan turut berbahagia karena impian istrinya untuk menjadi ibu akan segera terwujud. Sampai suatu kali, saat Vanessa sibuk memikirkan warna cat untuk ruang bayi adopsi mereka, Mark berkata, “Sebaiknya nanti saja mendekati waktu kelahiran si bayi”. Sementara dari hari ke hari Vanessa kian tidak sabar menunggu Juno melahirkan, Mark justru tak semenggebu-gebu istrinya. Bahkan saat menghabiskan waktu berdua dengan Juno, Mark menyatakan ingin meninggalkan Vanessa dan pindah ke luar kota.
“Aku pikir aku belum siap menjadi ayah… Vanessa dan aku tidak saling mencintai lagi… Juno datang begitu cepat setelah kita mengiklankan diri sebagai pengadopsi, aku rasa ini waktu yang tidak tepat. Masih ada hal lain yang mau kukerjakan,” ujar Mark. Sejoli ini akhirnya berpisah, tetapi Vanessa tetap tak mengubah keputusannya untuk mengadopsi bayi Juno, sekalipun harus menjadi orangtua tunggal.
Selain masih ingin mengejar hal lain seperti yang dikisahkan dalam Juno, alasan yang jamak diutarakan oleh partner yang menunda punya anak ialah belum memiliki cukup waktu dan uang. Perkara waktu bisa dikaitkan dengan kesibukan seseorang di kantor atau pilihannya meneruskan pendidikan. Ada perusahaan atau instansi yang mencantumkan syarat masuk belum memiliki anak atau menikah.
Di masyarakat, ada anggapan bahwa berkeluarga akan menimbulkan konsekuensi besar dan berpengaruh terhadap kehidupan karier seseorang, khususnya bagi perempuan. Tanggung jawab mengurus anak dan persoalan domestik masih dilekatkan dengan peran mereka.
Terkait hal ini, Stephanie Coontz, Director of Research and Public Education di Council on Contemporary Families menyatakan dalam Business Insider, “Di negara yang memberi penalti kepada perempuan yang tidak bisa mengelola kehidupan kerja dan keluarga dengan baik, tren menunda punya anak akan makin marak.”
Persoalan kapan waktu yang tepat untuk memiliki momongan bisa jadi terlepas dari urusan waktu atau uang. Bukan semata tuntutan orangtua pasangan pula yang dikatakan berkontribusi terhadap pertimbangan menentukan momen mempunyai anak.
Dalam situs Parents.com, Austin E. Galvin, CSW, psikoanalis dari New York, menangkap isu lain yang implisit dari harapan untuk cepat-cepat punya anak. Menurutnya, mungkin saja ada partner yang mengkhawatirkan relasi perkawinan mereka sehingga memilih segera memiliki momongan sebagai “perekat” relasi.
Dengan memiliki anak, seseorang berharap kepercayaan dan intimasi dengan pasangan bisa semakin kukuh. Ketika salah satu pihak dalam rumah tangga masih merasa relasi perkawinan mereka dalam masalah, wacana memiliki anak cepat-cepat justru bisa memicunya untuk kabur sebagaimana dilakukan Mark kepada Vanessa dalam Juno.
Alasan terkait relasi perkawinan juga dapat dilihat dari perspektif yang berseberangan. Ada orang-orang yang justru menunda punya anak karena ingin menikmati masa bulan madunya dengan pasangan lebih lama lagi. Bukan hanya uang dan waktu saja yang akan tersita setelah memiliki anak. Energi dan kualitas hubungan suami-istri juga bisa terdampak dari hal ini.
Beruntung bagi mereka yang setelah memiliki anak, justru kian solid relasinya dengan pasangan. Namun pada beberapa kasus, perdebatan serta konflik-konflik antarpasangan bisa dipicu oleh hal-hal yang bersinggungan dengan urusan anak.
Ada pula alasan “belum bisa menjadi orangtua yang baik” yang diungkapkan orang-orang yang menunda memiliki anak. Begitu ada satu kriteria yang tidak terpenuhi untuk menjadi calon ayah atau ibu yang baik, sering kali hal ini menebalkan keraguan seseorang untuk menjadi orangtua. Padahal, standar orangtua ideal sangat relatif. Dari generasi ke generasi, metode mengasuh anak bergeser. Bahkan dalam generasi yang sama pun, perdebatan tentang pola asuh masih jamak ditemukan.
Jika ditarik lebih jauh lagi, keputusan menunda punya anak atau bahkan sama sekali tidak ingin menjadi orangtua bisa dihubungkan dengan pengalaman masa kecil. Gabrielle Moss, misalnya, menceritakan dalam Bustle, alasannya tidak ingin memiliki anak adalah karena ia mengalami masa kanak-kanak yang pahit.
Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang terbiasa melakukan kekerasan verbal sehingga berdampak terhadap kondisi psikologisnya. Saat Moss memutuskan minggat dari rumah sang ibu yang represif, ia begitu rapuh dan butuh upaya keras untuk menyembuhkan luka-luka masa kecilnya itu.
Lewat tulisannya, Moss ingin memberikan perspektif lain terhadap mereka yang enggan memiliki anak. Kerap kali, orang-orang sepertinya atau mereka yang menunda punya anak dikatakan egois. Ditambah lagi aneka pembenaran seperti jam biologis perempuan untuk hamil dan risiko penyakit yang bisa mendatangi perempuan jika rahimnya tak kunjung terisi. Padahal, ada kondisi atau pertimbangan lain yang tak melulu bisa dipahami semua orang, seperti halnya problem mental Moss yang kerap disepelekan.
Alasan serupa Moss juga ditemukan dalam buku The Chosen Lives of Childfree Men. Keengganan atau keraguan memiliki anak yang dialami laki-laki bisa bersumber dari perilaku ayahnya yang penuh kekerasan atau berjarak dengan mereka. Bila memiliki anak nanti, mereka khawatir akan mengulang kesalahan-kesalahan yang dilakukan ayahnya dulu kepadanya.
Saat menghadapi pasangan yang belum siap memiliki anak, ucapan-ucapan yang menekan—entah itu dari si istri/suami, orangtua, atau kerabat—perlu dihindari. Dipojokkan dengan ekspektasi masyarakat dominan memberikan ketidaknyamanan tersendiri bagi seseorang. Karena itu, menurut Galvin, ia butuh diberi ruang sendiri untuk mengomunikasikan isunya, baik kepada orang-orang terpercaya yang tidak menghakimi, ataupun kepada terapis untuk mengurai problemnya dengan kepentingan pasangan.
Baca juga: Punya Anak Tidak Menjamin Orang Lebih Bahagia