Vigilantisme Digital dan Kekerasan di Dunia Maya
https://www.naviri.org/2018/03/vigilantisme-digital.html
Naviri.Org - Aksi kekerasan tidak hanya terjadi di dunia nyata, namun juga di dunia maya atau digital. Setelah internet menjadi bagian kehidupan sehari-hari, dan orang-orang juga berinteraksi di dunia maya, apa pun bisa terjadi, termasuk aksi kekerasan atau vigilantisme.
Aksi vigilantisme juga dapat bertumbuh kembang akibat adanya peran teknologi. Dalam jurnal berjudul "Digital Vigilantism as Weaponisation of Visibility", Daniel Trottier (2016) berargumen bahwa vigilantisme juga terjadi di ranah daring. Tahun 2013 silam, Gary Cleary bunuh diri setelah Letzgo Hunting—grup daring yang mengekspos tersangka paedofil—mengejarnya. Dua tahun kemudian, Walter James Palmer menerima banyak ancaman pembunuhan setelah teridentifikasi membunuh singa di Zimbabwe.
Kriminalisasi Cleary dan Palmer ini disebut Trottier sebagai vigilantisme digital. Lewat koordinasi via media sosial dan gawai, ramai-ramai orang menghakimi—atau yang kini populer disebut mempersekusi—individu yang dituduh melanggar aturan. Acap kali target vigilantisme digital tidak menyadari dirinya melakukan kesalahan yang memicu amukan orang-orang lain yang mendapati aksinya.
Berbeda dengan vigilantisme di ranah luring, vigilantisme digital melibatkan tindakan mempermalukan dan membeberkan identitas di depan umum seperti doxing. Informasi personal yang telah disebarluaskan di ranah daring pun membuat orang yang ditargetkan kian rentan diserang di kehidupan nyata. Tidak hanya dirinya sendiri, keluarga atau kerabat pun potensial menerima konsekuensi dari vigilantisme digital ini.
Dari perspektif humaniora, vigilantisme digital merupakan konsekuensi dari lahirnya platform media digital dan praktik budaya user-generated. Setiap orang bisa mengawasi orang lain dan berpartisipasi menghakiminya bila orang tersebut dianggap melakukan penyimpangan. Trottier juga mengatakan bahwa vigilantisme digital merupakan bentuk penguatan atau perlawanan terhadap kekuatan negara serta kebijakannya.
Vigilantisme di Indonesia
Vigilantisme bukanlah hal yang langka di negeri ini. Data dari Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) memperlihatkan, selama Maret 2014-Maret 2015, tercatat 4.723 kejadian main hakim sendiri di 34 provinsi. Hal ini mengakibatkan 321 orang meninggal, 5.789 orang cedera, 2 orang diperkosa, dan 293 bangunan rusak.
Dilansir Antara, selama 2014 terjadi 303 aksi main hakim sendiri di DKI Jakarta, paling banyak terjadi di Jakarta Pusat, yakni 100 kasus. Satu tewas dan 137 mengalami luka-luka akibat vigilantisme di Ibu Kota ini.
Menurut Sofyan Cholid, peneliti dari SNPK, aksi main hakim sendiri dipicu beberapa hal. “Kekerasan biasanya dilakukan untuk membalas dendam atas penghinaan, kecelakaan lalu lintas, menagih hutang, menghukum pelaku yang berzina, seringnya menghukum pelaku kriminal pencurian, pembunuhan, pemerkosaan," kata Sofyan Cholid kepada Antara.
Sementara pada 2013, pihak Human Rights Watch menyatakan kalangan minoritas agama paling kerap menjadi sasaran aksi vigilantisme. Mirisnya, pejabat daerah sering menyikapi pembakaran atau kekerasan dengan penyalahan korban minoritas.
Baca juga: Vigilantisme dan Kekerasan Berlatar Dendam