Perkembangan Zaman dan Tantangan Pembelajaran
https://www.naviri.org/2018/03/tantangan-pembelajaran.html
Naviri.Org - Sebagian kita mungkin pernah mendengar nasihat, “Sebaiknya fokus saja pada satu bidang ilmu pengetahuan yang ingin dikuasai.” Nasihat itu kira-kira memiliki arti agar kita berkonsentrasi hanya pada satu bidang ilmu pengetahuan, agar pikiran kita benar-benar fokus, tidak terpecah untuk pembelajaran pada bidang pengetahuan lain. Contoh mudah, kalau mau belajar ekonomi, fokus saja pada bidang ekonomi, tidak usah belajar pengetahuan lain semisal seni.
Nasihat itu sekilas memang benar, dan bisa jadi relevan untuk zaman yang lalu. Karena, ketika seseorang benar-benar menguasai satu pengetahuan tertentu, dan diakui sebagai pakar dalam bidang itu, dia pun memiliki kemungkinan besar untuk sukses. Namun, rupanya, zaman telah berkembang, dan ada kalanya nasihat di atas mulai tidak relevan.
Ada lontaran menarik soal pendidikan dari pemodal ventura dan penulis buku The Fuzzy and the Techie, Scott Hartley. Ia memandang bahwa di masa depan, “pemilahan palsu” antara studi humaniora dan ilmu komputer perlu dirombak. Seperti ditulis Harvard Business Review, Hartley percaya bahwa studi yang hanya terpaku pada bidang teknologi dan ilmu pasti tidak cukup untuk menyelesaikan masalah-masalah berskala besar.
Alih-alih mendorong para mahasiswa untuk mengerucutkan fokus pada satu bidang atau minat, ia menyarankan agar institusi pendidikan dan pelajar memperluas cakupan pengetahuan dan minatnya.
Ia juga mencontohkan beberapa CEO yang berlatar belakang humaniora seperti Jack Ma (Alibaba) dan pendidikan bahasa Inggris, Susan Wojcicki (Youtube) yang mengambil studi sejarah dan sastra, serta Brian Chesky (Airbnb) yang meraih gelar Bachelor of Fine Arts.
Menurut Hartley, lulusan-lulusan ilmu budaya pun bisa berkontribusi dalam aspek-aspek pragmatis yang jadi sorotan bidang teknologi. Melalui pendekatan budaya, orang dapat mengetahui hal-hal apa saja yang tengah dibutuhkan oleh masyarakat dalam konteks tertentu.
Pendapat senada disampaikan oleh Gary Saul Morson dan Morton Schapiro, dua profesor bidang humaniora dan ekonomi dari Northwestern University. Mereka menilai ilmu ekonomi yang diajarkan kepada para mahasiswa kerap kali mengabaikan tiga hal: efek budaya terhadap pembuatan keputusan, kegunaan cerita dalam menjelaskan tindakan-tindakan masyarakat, serta perkara etika.
Salah satu cara memahami masyarakat dan budayanya, menurut Morson dan Schapiro, adalah melalui kajian sastra atau novel. Bagaimana novel bisa mendorong pemahaman tentang masyarakat? Bagi kedua profesor ini, cerita yang dituturkan dalam novel dapat mengembangkan perasaan empati.
Pembaca akan dibawa untuk mendalami cerita kehidupan para tokoh serta diajak untuk melihat dunia dengan kacamata pihak lain yang tak datang dari latar belakang sama dengannya. Inilah kemampuan penting yang bisa membuat para ekonom atau sarjana-sarjana non-pengetahuan budaya lainnya merangkul orang-orang yang menjadi sasaran kajian atau pasar mereka.
Di Indonesia, pemahaman akan kebutuhan krusial masyarakat bisa mendorong bisnis meraih untung besar. Ambil contoh layanan transportasi berbasis aplikasi daring. Bukan rahasia bila permasalahan transportasi umum menjadi salah satu hal paling dikeluhkan warga kota-kota besar.
Begitu layanan semacam ini diluncurkan, animo masyarakat pun merangkak naik, bahkan sebagian dari mereka menggantungkan mobilisasinya kepada layanan transportasi online. Efisiensi waktu dan tenaga tak pelak berimbas kepada produktivitas warga kota, dan pada akhirnya bisa berefek pula terhadap perekonomian dan aspek-aspek kehidupan lainnya.
Pendekatan interdisipliner bukan tanpa kendala
Dalam dunia akademis, pendekatan kolaboratif yang melibatkan dua atau lebih perspektif atau bidang ilmu dikenal dengan pendekatan interdisipliner. Karena berupaya mengkaji suatu fenomena dari aneka perspektif, pendekatan interdisipliner mampu menelurkan solusi-solusi yang lebih kreatif.
Cakupan masyarakat yang disasar serta pakar-pakar yang dirangkul untuk berkolaborasi pun semakin luas. Tidak hanya itu, pendekatan interdisipliner juga memungkinkan para pelajar atau pakar untuk mengidentifikasi bias-bias yang dihasilkan oleh kajian berperspektif tunggal.
Sebagaimana paparan Hartley serta Morson dan Schapiro, kolaborasi pihak-pihak berperspektif beragam memungkinkan pemahaman masyarakat yang semakin mendalam. Hal ini lantas memicu tumbuhnya toleransi terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang dikaji; suatu nilai yang penting dipegang di tengah konteks masyarakat heterogen.
Menurut riset Casey Jones (2009) dari College of DuPage, AS, pendekatan interdisipliner berbeda dari pendekatan multidisipliner atau krosdisipliner. Pendekatan multidisipliner mempraktikkan pengajaran lebih dari satu bidang secara paralel, sementara pendekatan krosdisipliner berupaya mempersilangkan beberapa ilmu.
Pendekatan interdisipliner bertujuan lebih dari kedua pendekatan lainnya, yakni membuat sintesis dari perspektif-perspektif ilmu. Alih-alih sekadar mencomot satu dua teori dari disiplin ilmu lain, seorang pelajar mesti memahami pula paradigma-paradigma yang menaungi perspektif atau disiplin ilmu yang ingin dikolaborasikannya dengan ilmu yang tengah ia tekuni.
Pendekatan ini memang belum jamak diterapkan di berbagai institusi pendidikan. Masih ada anggapan sebagian ahli ilmu bahwa pendekatan interdisipliner melanggar etika keilmuan. Pengkajian ilmu oleh orang-orang yang bukan ahlinya dianggap tidak pantas dilakukan, demikian argumen Setya Yuwana Sudikan dalam tulisan bertajuk “Pendekatan Interdisipliner, Multidisipliner, dan Transdisipliner dalam Studi Sastra”.
Menurut Jones, meski pendekatan interdisipliner mampu mendongkrak kemampuan berkomunikasi lantaran bertambahnya pemahaman bidang-bidang tertentu, ia juga menyimpan problem lain, seperti peliknya mempersiapkan pengajaran kepada anak didik serta kebingungan untuk mengintegrasikan bidang studi.
Pada mayoritas institusi pendidikan, pengajar berasal dari latar belakang seragam untuk memudahkan transfer ilmu. Ketika pendekatan interdisipliner diperkenalkan kepada anak didik, pihak sekolah atau universitas mesti mampu memfasilitasi, baik materi ajar maupun pengajarnya. Jika kedua hal itu tak bisa terpenuhi, si anak didik mesti secara aktif menggali sendiri perspektif ilmu yang ingin ia kaji. Tentu, hal itu bukan tantangan yang sepele.
Meski ada keraguan terhadap kecakapan akademis orang-orang yang menerapkan pendekatan interdisipliner, juga kendala teknis di ruang kelas, bukan berarti hal ini memblokade perkembangan pendekatan ini. Kembali ke peran teknologi, pendekatan interdisipliner kini kian mudah diterapkan dengan terbukanya berbagai saluran untuk mengakses ilmu pengetahuan.
Informasi-informasi di ranah online—yang sebagian di antaranya juga mengarahkan ke akses informasi di ranah offline—potensial menambah khazanah pengetahuan seseorang. Kendati demikian, informasi yang diserap patut disaring dan dicek berulang, dibandingkan, dan terus dicari tesis serta antitesisnya, agar pemahaman tidak mandek.
Baca juga: Chatbot, Saat Manusia Berkomunikasi dengan Robot