Jejak Sejarah dan Stigma Buruk Penderita Kusta
https://www.naviri.org/2018/03/stigma-buruk-kusta.html
Naviri.Org - Suatu keyakinan, meski keliru atau tidak benar, bisa bertahan selama bertahun-tahun atau bahkan berabad-abad, jika keyakinan itu terus dilestarikan dari generasi ke generasi. Ada banyak keyakinan semacam itu, dan keyakinan keliru terhadap lepra (atau penderita lepra) adalah salah satunya.
Selama berabad-abad, sejak zaman dulu, penyakit lepra dianggap sebagai kutukan, sementara penderitanya dianggap sebagai orang yang dikutuk. Stigma buruk semacam itu pun melahirkan sikap diskriminasi dan ketidakadilan, khususnya bagi penderita lepra, dan menjadikan mereka sebagai orang-orang yang terbuang.
Jesse T. Jacob dan Carlos Franco-Paredes, dalam sebuah artikel jurnal berjudul “The Stigmatization of Leprosy in India and Its Impact on Future Approaches to Elimination and Control”, mengurutkan bagaimana awal mula penyakit kusta distigma negatif dalam tatanan masyarakat.
Salah satu bukti tertua bahwa penyakit kusta sudah dianggap buruk dan penderitanya layak dipisahkan dari masyarakat adalah teks dalam Veda Atharava dan Hukum Manu dari peradaban India kuno, yang masing-masing berumur 2000 SM dan 1500 SM.
Bagi masyarakat India kuno, ada beberapa faktor mengapa mereka menyisihkan para penderita kusta. Di antaranya adalah sifat penyakit kronis yang dianggap dapat menodai manusia lainnya, berhubungan dengan dosa, dan ketakutan bahaya penularan penyakit.
Stigma terhadap penderita kusta di India kemudian diklaim sebagai sumber yang mengilhami pandangan serupa di belahan bumi lain. Seiring menyebarnya kusta melalui perdagangan dan perang, mulai dari Cina, Mesir, Timur Tengah dan kemudian Eropa dan Amerika, pandangan negatif terus dilestarikan, terutama lewat tradisi keagamaan.
Dalam masyarakat Yahudi kuno misalnya, orang yang sembuh dari sakit kusta diperintahkan segera menghadap seorang imam yang akan membimbing proses “perdamaian dengan Tuhan”, dan segala ritual lain agar dosa-dosa masa lalu dihapuskan dan diampuni. Namun demikian, pandangan tersebut tidak merepresentasikan orang Yahudi masa kini.
Pandangan negatif terhadap para penderita kusta terus diwariskan sehingga membentuk persepsi sosial masyarakat Eropa Abad Pertengahan. Herbert C. Covey dalam artikel “People with leprosy (Hansen’s disease) during the Middle Ages” menyebutkan, penderita kusta dipandang najis, tidak dapat dipercaya, dan rusak moralnya.
Mereka yang terjangkit kusta juga diharuskan mengenakan pakaian khusus untuk membedakan diri dari yang bukan penderita. Ada kalanya mereka wajib membawa lonceng, yang berfungi menandai kedatangan mereka. Bahkan Raja Edward III di Inggris pernah mengusir orang kusta keluar dari kota.
Stigma negatif disertai perlakuan diskriminatif masih terus dipertahankan ketika Eropa menjadi kekuatan kolonialis. Pemerintah-pemerintah kolonial mengisolasi siapapun yang mengidap kusta dari wilayah jajahan karena takut tertular.
Zachary Gussow, dalam buku berjudul Leprosy, Racism, and Public Health (1989), menyebutkan pemahaman bakteriologi yang minim dan kurangnya kemampuan diagnostis penyakit memperparah perilaku sosial ini.
Spinalonga, koloni khusus untuk para penderita kusta di Yunani, hanyalah satu dari sekian contoh pengasingan penderita kusta. Di Italia, terdapat koloni kusta di pulau Lazaretto. Di Rumania, ada Tichilești yang pada 1875 menjadi daerah koloni kusta. Di Kalaupapa Hawaii, Amerika Serikat, sebuah koloni kusta didirikan bagi penderita akut. Contoh lain yang terdokumentasikan maupun tidak, tak terhitung banyaknya.
Menurut WHO, penyakit kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang menyerang kulit, saraf perifer, mukosa saluran pernapasan atas, dan mata. Penyakit ini dapat disembuhkan dengan terapi multi-obat. Pengobatan pada tahap awal dapat mencegah kecacatan organ tubuh.
Kusta memang menular, tetapi hanya dapat ditularkan melalui cairan dari hidung dan mulut. Penyakit ini dapat menular jika terjadi kontak berulang dalam jangka waktu yang lama.
Baca juga: Spinalonga, Neraka Para Penderita Lepra di Yunani