Skandal Cambridge Analytica dan Pencurian Data

 Skandal Cambridge Analytica dan Pencurian Data

Naviri.Org - Nama Cambridge Analytica sedang santer disebut-sebut akhir-akhir ini, menyusul terkuaknya skandal pencurian data yang disinyalir dilakukan oleh Cambridge Analytica terhadap pengguna Facebook. Berdasarkan berita yang banyak beredar, Cambridge Analytica mengumpulkan data pengguna Facebook, yang lalu digunakan untuk, salah satunya, memenangkan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat dalam pemilu beberapa waktu lalu.

Siapakah sebenarnya Cambridge Analytica?

Menurut laporan Reuters, Cambridge Analytica adalah cabang perusahaan yang berinduk pada SCL Group, kontraktor yang kerap menggarap proyek pemerintah maupun militer, seperti penelitian keamanan hingga operasi pemberantasan narkoba. SCL Group sendiri berdiri pada 25 tahun silam, tepatnya 1993.

Pada 2013, Cambridge Analytica didirikan. Lingkup kerja mereka berada di bidang penelitian konsumen, iklan, hingga layanan terkait data, baik untuk klien yang berhubungan dengan partai politik maupun perusahaan.

Cambridge Analytica bisa dibilang berawal dari proyek profesor Oxford, Aleksandr Kogan. Sebelum Cambridge Analytica berdiri, Kogan dan kawan-kawannya punya perusahaan bernama Global Science Research. Kerja mereka adalah meneliti dan menyimpulkan kepribadian hingga kecenderungan politik seseorang dari profil Facebook lewat sebuah aplikasi.

Aktivitas Kogan dan GSR kemudian masuk radar SCL Group. Pihak SCL pun akhirnya mengajak GSR bekerjasama dan terbentuklah Cambridge Analytica.

Seiring waktu, keberadaan Cambridge Analytica mulai mencuri perhatian. Khususnya ketika mereka memutuskan untuk terjun ke dalam dunia politik AS sebagaimana yang dibuktikan dengan masuknya dana sebesar $15 juta dari milyader Republikan, Robert Mercer. Dari situ, mereka lantas menggarap kampanye senator Ted Cruz sebelum akhirnya turut serta dalam pemenangan Trump pada 2016.

Pertemuan Mercer dengan Cambridge Analytica diatur oleh Steve Bannon, mantan Kepala Strategi pemerintahan Gedung Putih yang pada 2014 sampai 2016 menjadi wakil presiden Cambridge Analytica. Selain memberikan modal ke Cambridge Analytica, Mercer juga diketahui mendanai situs ultra-kanan seperti Breitbart.

Setelah kesuksesan Trump, Cambridge Analytica melebarkan sayapnya hingga ke Kenya. Mereka aktif dalam kampanye Uhuru Kenyatta dalam pemilu 2017. Selain Kenya, Cambridge Analytica juga menggarap proyek pemilu di Kolombia, India, serta St Kitts & Nevis.

Kantor perusahaan Cambridge Analytica tersebar di New York, Washington, London, Brasil, serta Malaysia. Saat ini, perusahaan itu dijalankan oleh Alexander Nix yang merupakan lulusan Manchester University, dan telah bekerja di SCL Group sejak 2003. Ia dibantu Mark Turnbull yang menempati posisi direktur pelaksana.

Yang jadi persoalan, selama berkiprah, Cambridge Analytica mengumpulkan data pribadi dari Facebook secara ilegal dan tanpa seizin pemilik akun. Menurut Christopher Wylie, mantan pegawai Cambridge Analytica yang sekarang jadi whistleblower, semua data yang dikumpulkan perusahaan—lewat kuis maupun kuisioner berkedok akademis—rencananya digunakan untuk membangun “sebuah program perangkat lunak yang kuat” untuk “memprediksi dan memengaruhi pilihan di kotak suara.” Salah satunya di pilpres Amerika 2016.

Wylie menggambarkan perusahaan tersebut sebagai "mesin propaganda dengan layanan yang lengkap" dan dengan demikian membantah klaim Nix pada Februari silam yang menjelaskan ke parlemen Inggris bahwa Cambridge Analytica “tidak menggunakan data Facebook dalam kerja-kerjanya.”

“Peraturan tidak berlaku untuk mereka. Bagi mereka, yang terpenting adalah ini perang, dan itu cukup adil,” tegas Wylie.

Baca juga: Skandal Pencurian Data di Balik Pilpres Amerika

Related

News 799047389328152371

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item