Seniorpreneurship, Memulai Wirausaha di Usia Tua
https://www.naviri.org/2018/03/seniorpreneurship.html
Naviri.Org - Wirausaha atau berbisnis saat ini banyak dilakukan anak-anak muda, atau bahkan kaum remaja. Bahkan, pemerintah maupun swasta pun menggalakkan program ini, agar anak-anak muda belajar berbisnis dan membangun wirausaha. Pertimbangannya sederhana, karena usia muda identik dengan stamina yang prima, pikiran yang segar, juga waktu yang masih luas terbentang.
Saat ini, memang telah banyak anak-anak muda yang muncul dengan berbagai bisnis, dan itu membanggakan. Ada yang berbisnis makanan, ada yang berwirausaha di bidang pakaian, dan lain-lain. Menyaksikan anak-anak muda bisa sukses dalam berwirausaha, seperti menyaksikan masa depan yang lebih cerah.
Lalu, apakah hanya anak-anak muda saja yang berhak memulai wirausaha? Tentu saja tidak. Orang-orang yang telah berusia tua pun sama berhak untuk membangun wirausaha, meski usia tak lagi muda. Dalam hal ini, orang-orang berusia senja memiliki suatu modal yang tak dimiliki anak-anak muda, yaitu pengalaman yang jauh lebih banyak.
Susan Wright bisa menjadi contoh. Ia memulai bisnisnya sendiri pada usia 58 tahun, yang tentu sudah tak bisa dibilang muda. Ia menceritakan, “Saya berpikir, saya berusia 58, apakah saya benar-benar mau melanjutkan kerja untuk orang lain dan menghabiskan waktu saya, atau mengambil tindakan berani? Saya menarik napas dalam-dalam dan memutuskan mengambil risiko.”
Ia lalu mendirikan Eco Republic, yang berbasis di Inggris. Perempuan ini merupakan satu dari banyak pengusaha yang memulai bisnisnya di usia yang tak lagi muda.
Dilansir The Guardian, suatu kali saat sedang menuju tempat kerja, Susan Wright melihat sebuah toko yang dijual. Seketika, minat berwirausahanya yang tumbuh sejak kecil menyeruak setelah sempat terpendam lama selama menjadi karyawan.
Bermodalkan £15.000 dari tabungan dan pinjaman sebesar £20.000, Wright membuka usaha ethical shop—tempat memperdagangkan barang-barang ramah lingkungan, peralatan rumah tangga, dan sepeda elektrik—pada Juni silam. Pilihan membuka toko semacam ini dilandasi latar belakang Wright yang sempat terjun di dunia ritel dan menggeluti bidang pengembangan bisnis untuk sektor amal.
“Saya yakin, orang-orang berpikir bahwa sudah saatnya bagi seseorang yang berusia 50 akhir untuk memikirkan pensiun, tetapi sejujurnya, hal itu adalah yang terakhir terlintas di benak saya. Saya senang bekerja setiap pagi,” aku Wright.
Dari Asia, ada Momofuku Ando, laki-laki Jepang yang menciptakan mi instan pertama di dunia. Sebelum menelurkan produk yang jamak dikonsumsi di berbagai belahan dunia tersebut, Ando telah berulang kali melakukan riset sampai mendapat formula yang pas untuk mi-nya, agar bisa diterima lidah macam-macam masyarakat. Usaha uji coba-gagal berkali-kali Ando membuahkan hasil.
Pada 25 Agustus 1958, saat Ando menginjak umur 48, ia memperkenalkan mi (ramen) ayam yang menurutnya bisa diterima masyarakat mana pun. Mi buatannya langsung mendunia. Besarnya pengaruh Ando ini tak pelak menciptakan inisiatif untuk mendirikan museum yang didedikasikan untuknya di Osaka, tempat kelahiran mi instan buatan Ando.
Saat melakukan penelusuran artikel mengenai pengusaha Indonesia di internet, yang keluar pertama kali kebanyakan artikel tentang pengusaha muda, bagaimana strategi berwirausaha anak-anak muda, atau pencapaian-pencapaian mereka sejak memulai bisnis sedini mungkin.
Kampanye menggalakkan wirausaha untuk kaum muda memang dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari swasta hingga pemerintah. Hal ini bisa dikarenakan asumsi bahwa usia muda adalah momen yang tepat untuk melakukan inovasi, seiring dengan stamina yang masih prima untuk bekerja keras membangun bisnis. Plus, banyak yang beranggapan sebagaimana disampaikan Wright, saatnya bagi orang-orang di usia 50 ke atas beristirahat menikmati hasil kerja, melihat dan mengurus anak cucu.
Walaupun asumsi ini tak sepenuhnya salah, bukan berarti ini menjadi justifikasi untuk orang-orang berusia lanjut memupuskan keinginan membuka usaha atau bekerja lagi. Andrias Harefa memberikan perspektif menarik tentang usia senja yang tidak menjadi hambatan untuk terus berkarya. Dalam bukunya yang bertajuk Mematahkan Belenggu Motivasi: Membangkitkan Energi Penggerak Sumber Daya Manusia (1999), ia menyampaikan sejumlah alasan mengapa orang-orang mau memulai bisnis ketika berusia senja.
Keengganan untuk membebani anak cucu menjadi alasan pertama yang mendorong orang-orang usia senja menjajal berbisnis. Karakteristik tidak takut memulai sesuatu yang baru menjadi pemicu lain mereka membuka usaha. Saat bekerja di perusahaan, karya-karya orang-orang ini tentu dinikmati oleh banyak orang, baik secara langsung maupun tak langsung, baik berupa jasa atau barang.
Kesadaran dan keinginan untuk terus berkontribusi kepada masyarakat pun turut memotivasi orang-orang usia tak produktif untuk berbisnis. Tentu saja memulai bisnis mesti memperhatikan kondisi fisik dan mental pribadi. Saat menyadari diri mereka cukup sehat dan mumpuni untuk melewati proses jatuh bangun berbisnis, barulah inisiatif untuk berwirausaha akan dieksekusi.
Ada beberapa keuntungan lain memulai bisnis di usia senja. Sebagaimana ditulis dalam Entrepreneur, orang-orang usia senja sangat mungkin memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam untuk berwirausaha karena telah mengumpulkannya sejak masih bekerja untuk orang lain. Selain itu, pengalaman mengelola usaha dan jaringan profesional yang lebih luas juga menjadi poin plus lainnya bagi mereka.
Saat menjadi bagian dari korporasi orang lain, bisa jadi seseorang melupakan minat atau hobinya karena tak cukup waktu untuk mengembangkan hal itu. Setelah melepas status karyawan, ia bisa kembali menekuni hal-hal yang digemarinya, bahkan mengubahnya menjadi sesuatu yang membawa untung. Tidak hanya kantong yang terus dapat terisi, tetapi juga kepuasan batin bagi mereka yang tidak ingin berhenti berkarya.
Bukan tidak mungkin pula bisnis di usia senja menjadi tren pada masa depan. Menurut laporan Kauffman Index of Entrepreneurial Activity yang mengkaji soal kewirausahaan di AS, pada 2012, hampir seperempat bisnis baru di sana dirintis oleh orang-orang usia 55 ke atas. Jumlah ini naik 14% dari jumlah orang-orang usia senja yang berbisnis pada 1996.
Tidak hanya di AS kecenderungan naiknya jumlah wirausahawan usia senja ditemukan. The Conversation mewartakan, pertumbuhan wirausahawan usia senja juga didapati di Australia. Berdasarkan riset dari Swinburne University of Technology dan Queensland University of Technology, 34% bisnis anyar di Australia diprakarsai oleh wirausahawan usia senja alias seniorpreneurs.
Rata-rata, mereka berusia 57. Di samping itu, riset tersebut juga menemukan bahwa seniorpreneurs mengantongi pengalaman lebih banyak dalam industri. Seniorpreneurs juga dikatakan menginvestasi lebih besar dibanding wirausahawan muda, dan bisnis-bisnis mereka mendulang keuntungan dua kali lebih banyak.
Pemberitaan-pemberitaan macam ini memberikan alternatif cara pandang tentang atmosfer wirausaha. Salah satu wacana yang mencuat adalah soal ageisme dalam pembingkaian berita atau artikel terkait wirausaha. Implikasinya, orang-orang bisa tidak terpaku pada satu stereotip tunggal atau standar kehidupan: kanak-kanak, sekolah, bekerja, menikah, pensiun, lalu rehat untuk menikmati sisa usia. Kalau bisa berkarya dengan senang hati lebih lama, kenapa tidak?
Baca juga: Krisis di Usia 35: Bosan Kerja, dan Merasa Kesepian