9 Fakta Revisi UU MD3 yang Perlu Anda Ketahui
https://www.naviri.org/2018/03/revisi-uu-md3.html
Naviri.Org - Apa jadinya jika rakyat tidak bisa mengkritisi wakilnya di DPR? Itulah yang tampaknya kini sedang terjadi di Indonesia, sehingga menjadi polemik di kalangan masyarakat.
Revisi Undang-Undang 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD, yang biasa disebut dengan UU MD3 berlaku secara efektif pada Rabu (14/03/2018), dengan atau tanpa tanda tangan Presiden Joko Widodo.
Sejak dibahas dan disahkan oleh DPR pada 12 Februari 2018, revisi UU ini mengundang kontroversi, karena berpotensi menjadikan anggota DPR kebal hukum. Berikut ini hal-hal yang harus diketahui soal revisi UU MD3:
1. Apa itu UU MD3?
UU MD3 adalah Undang-undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD. Undang-undang ini berisi aturan mengenai wewenang, tugas, dan keanggotaan MPR, DPR, DPRD dan DPD. Hak, kewajiban, kode etik serta detil dari pelaksanaan tugas juga diatur.
Aturan ini menggantikan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 mengenai MD3 yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum.
UU ini terdiri atas 428 pasal, dan disahkan pada 5 Agustus 2014 oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Revisi terakhirnya disahkan oleh DPR pada Senin, 12 Februari 2018.
2. Revisi yang paling memicu kontroversi
Revisi Pasal 122 k terkait tugas MKD dalam revisi UU MD3 menuai kontroversi, karena DPR dianggap menjadi antikritik dan kebal hukum. Pengamat menganggapnya sebagai upaya kriminalisasi terhadap praktik demokrasi, khususnya rakyat yang kritis terhadap DPR.
Pasal yang memuat perihal penghinaan terhadap parlemen berisi tambahan peraturan yang memerintahkan Mahkamah Kehormatan Dewan untuk: "mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR."
3. Pasal lain yang direvisi dalam UU MD3
Selain kontroversi soal pasal "antikritik", ada beberapa pasal yang diubah dalam UU MD3. Berikut ini beberapa pasal lain yang perubahannya menuai kontroversi.
Pasal 73
Undang-undang sebelum direvisi menyatakan bahwa polisi membantu memanggil pihak yang enggan datang saat diperiksa DPR. Kini pasal tersebut ditambah dengan poin bahwa Polisi wajib memenuhi permintaan DPR untuk memanggil paksa.
"Dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia."
Pasal 84 dan 15 tentang komposisi pimpinan DPR dan MPR
Pasal ini lebih punya kontroversi politik karena kursi pimpinan DPR yang semula satu ketua dan empat wakil, menjadi satu ketua dan lima wakil.
Satu pimpinan tambahan ini akan menjadi jatah pemilik kursi terbanyak yang saat ini dipegang oleh PDI-P. Pada pasal 15, pimpinan MPR tadinya terdiri atas satu ketua dan empat wakil ketua. Dengan revisi, pimpinan MPR menjadi satu ketua dan tujuh wakil.
MPR terdiri atas 10 fraksi partai politik dan satu fraksi Kelompok DPD.
Pasal 245 tentang pemeriksaan anggota DPR
Pemeriksaan anggota DPR yang terlibat tindak pidana harus ada pertimbangan MKD sebelum DPR memberi izin. Padahal pada tahun 2015 MK sudah memutuskan bahwa pemeriksaan harus dengan seizin presiden, bukan lagi MKD.
"Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD)."
(Tidak berlaku untuk anggota yang tertangkap tangan, tindak pidana khusus, dan pidana dengan hukuman mati atau seumur hidup.)
4. Dianggap sebagai upaya kriminalisasi terhadap demokrasi
Pakar hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Bivitri Susanti, menyebut UU itu merupakan kriminalisasi terhadap rakyat yang kritis terhadap DPR.
"Pasal yang seakan-akan menakut-nakuti masyarakat itu harus dibatalkan, karena tidak sesuai dengan nafas konstitusi yang melindungi warga untuk menyatakan pendapat," tegasnya.
Selain itu, pasal lain yang dinilai bermasalah adalah wewenang pemanggilan paksa oleh DPR.
"Ada pasal lain, mereka bisa memanggil paksa setiap orang yang dipanggil oleh DPR dalam konteks fungsi tertentu. Memanggil paksa ini dengan menggunakan kewenangan oleh kepolisian, jadi kepolisian wajib untuk memenuhi request (permintaan) mereka bila ada pemanggilan paksa, yang menurut kami merusak demokrasi di Indonesia," kata Bivitri.
5. Ramai-ramai menolak
Demo menolak UU MD3 dilakukan oleh mahasiswa di banyak daerah. Di Medan, mahasiswa menumbangkan gerbang DPRD.
Kemudian empat mahasiswa di Bengkulu sempat ditangkap polisi pada 5 Maret karena demo berujung ricuh. Mahasiswa Surabaya menutup jalan di depan DPRD saat menolak revisi UU MD3, akhir Februari lalu.
Selain ditolak oleh para aktivis, mahasiswa dan pakar hukum, revisi ini ditolak oleh masyarakat melalui beberapa petisi di Change.org.
Petisi "Tolak revisi UU MD3, DPR tidak boleh mempidanakan kritik!" ditandatangani oleh 203 ribu orang, sedangkan petisi "Tolak Revisi RUU MD3! Ajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi' ditandatangani 78 ribu pendukung.
6. Fraksi yang menolak dan mendukung revisi RUU MD3
Dari 10 fraksi, delapan di antaranya mendukung pengesahan. Partai yang mendukung revisi UU MD3 adalah PDI-P, Golkar, Gerindra, Demokrat, PKB, PAN, PKS dan Hanura.
Partai Nasional Demokrat dan PPP meminta pengesahan ditunda. Karena tidak dikabulkan, Nasdem walkout saat UU tersebut disahkan.
"Pembahasan RUU ini oleh DPR membuat undang-undang untuk menciptakan lowongan jabatan yang akan diisi sendiri," kata Sekjen Partai Nasdem, Johnny G Plate, kepada media.
7. Pro kontra Perppu
Kritik terhadap UU MD3 juga disampaikan oleh dua partai di DPR, yaitu PPP dan Partai Nasdem, yang mengusulkan agar presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu.
"PPP berharap presiden keluarkan Perppu untuk ganti ketentuan yang dianggap kontroversial, dan kemudian DPR dapat merevisi kembali dengan membuka ruang konsultasi publik secara luas," jelas Arsul Sani dari Fraksi PPP.
Namun, Ketua Pusat Studi Kebijakan Negara Universitas Padjadjaran, Indra Prawira, menilai pembuatan Perppu harus memenuhi syarat 'kegentingan yang memaksa'.
"Kalau Perppu itu kan juga harus disetujui DPR, nah mampu tidak partai-partai itu ngeblok. Nasdem dan PPP, katakanlah mereka tidak sepakat, dan sementara mereka itu kan buang-buang waktu. Saya sarankan institusinya jangan bikin Perppu, masyarakat yang merasa dirugikan ajukan saja ke MK," kata Indra.
8. Presiden Joko Widodo tidak menandatangani
Presiden malah mendorong pihak yang tidak setuju untuk menggugat ke Mahkamah Konstitusi. "Yang tidak setuju silakan datang ke MK untuk judicial review".
Sikap Jokowi ini dipertanyakan karena pembahasan UU dilakukan oleh DPR bersama pemerintah. “Di mana tanggung jawab dia sebagai presiden karena itu kan disetujui bersama pemerintah dan DPR. Itu naif banget," kata Indra.
Tanpa tanda-tangan Presiden pun, aturan ini akan otomatis sah pada 14 Maret 2018.
9. Digugat ke Mahkamah Konstitusi
Beberapa pihak mengajukan gugatan mereka ke Mahkamah Konstitusi. Dua anak muda, Zico Leonard (21 tahun) dan Josua Satria (20 tahun) mengajukan gugatan uji materi ke MK, awal Maret lalu. Ini pertama kalinya mahasiswa dan alumni Universitas Indonesia itu mengajukan uji materi.
Pada hari yang sama, Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga mengajukan gugatan yang sama.
Menerima gugatan tersebut, Hakim MK mempersoalkan UU MD3 yang belum punya nomor lembaran negara. Nomor tersebut baru akan diberikan setelah Presiden mendatangani, atau otomatis dalam 30 hari setelah disahkan oleh DPR.
Hakim MK memberikan waktu agar penggugat melengkapi gugatannya dengan nomor tersebut, dengan batas pada 21 Maret.
Baca juga: Polemik Pasal Kontroversial dalam Draf Revisi KUHP