Yang Perlu Dipertimbangkan Saat Membuat Resolusi Tahun Baru
Naviri.Org - Membuat resolusi itu mudah. Yang sulit adalah mewujudkannya. Kenyataan itu mungkin telah dialami sebagian orang. Ketika tah...
https://www.naviri.org/2018/03/resolusi.html
Naviri.Org - Membuat resolusi itu mudah. Yang sulit adalah mewujudkannya. Kenyataan itu mungkin telah dialami sebagian orang. Ketika tahun baru datang, kita pun bersemangat menyiapkan resolusi tertentu yang ingin kita capai, atau bahkan sampai menyusun setumpuk resolusi yang ingin kita lakukan. Namun, ketika bulan-bulan di tahun yang baru mulai berjalan, semangat yang tadinya menggebu pudar perlahan-lahan.
Kenyataannya memang mewujudkan resolusi tidak mudah. Karenanya, kita perlu melakukan pertimbangan matang terlebih dulu, sebelum menentukan resolusi untuk tahun baru.
Resolusi tahun baru berpusat pada pengendalian diri seseorang. Perlu dipahami benar bagaimana keinginan mengendalikan diri ini terbentuk: apakah berdasarkan kesadaran atau kemauan sendiri untuk menciptakan hidup yang lebih baik atau atas tekanan eksternal? Misalnya, terkait memiliki pasangan atau diet ketat.
Apakah pertanyaan-pertanyaan mendesak semacam “kapan menikah?” atau tayangan-tayangan yang menampilkan bentuk tubuh ideal yang mendorong seseorang mencetuskan dua poin resolusi tahun baru ini? Sementara sebenarnya, tanpa kedua hal ini pun seseorang bisa hidup baik-baik saja atau cukup sehat, atau dirinya tidak benar-benar berniat mengubah diri.
Perkara pengendalian diri dalam rangka memenuhi resolusi tahun baru disoroti secara khusus oleh Melissa Burkley, Ph.D., pakar psikologi dari University of North Carolina, Chapel Hill. Dalam Psychology Today ia menulis, forsir pengendalian diri justru dapat membuat seseorang menjadi rapuh dan mudah tergoda. Burkley memandang, pengendalian diri memiliki batasan. Ketika hal ini dikerahkan sepenuhnya untuk resolusi, seseorang tidak memiliki sisa untuk dipakai pada aspek kehidupan yang lain.
Sebagai ilustrasi, saat seseorang beresolusi mendapatkan tubuh lebih ramping, ia berkemungkinan menyisihkan uang lebih untuk mendaftar ke pusat kebugaran, berbelanja macam-macam peralatan olahraga, atau membeli makanan-makanan berlabel organik dan ikut diet khusus.
Di satu sisi, efek yang akan didapat dipandang positif, tetapi di sisi lain, ada kecenderungan ia lebih mudah dipengaruhi oleh pengiklan atau penjual produk-produk tertentu, demikian menurut Burkley. Pengendalian diri boleh dibilang berhasil terkait menurunkan berat badan, tetapi tidak untuk menjaga pengeluaran.
Berikutnya, yang perlu dipertimbangkan saat membuat poin-poin resolusi tahun baru adalah realistis, spesifik, dan dapat diukur dalam jangka waktu tertentu. Selain itu, target yang ingin dicapai pada akhir tahun berikutnya sedapat mungkin tidak menimbulkan perilaku self-defeating.
Dari kacamata psikolog sosial, perilaku self-defeating terjadi saat seseorang membuat target tertentu, tetapi aksi-aksinya justru tidak mendukung proses pencapaiannya. Cara-cara dalam meraih target yang menimbulkan kerugian bagi seseorang juga dapat dianggap sebagai bentuk self-defeating. Contohnya, diet berlebihan yang malah membuat seseorang jatuh sakit.
Untuk bisa merasakan buah manis di pengujung tahun berikutnya, seseorang perlu melewati beberapa tahap sebelum membuat resolusi tahun baru. Menurut profesor psikologi Prochaska dan DiClemente, ada empat level yang mesti dilalui seseorang bila hendak merasakan perubahan di kemudian hari.
Dimulai dari tidak berniat untuk berubah, sampai akhirnya berkontemplasi dan berencana membuat perubahan, diikuti persiapan untuk berubah, dan yang terakhir, barulah melakukan tindakan-tindakan perubahan itu sendiri. Aksi berdiet atau berolahraga bukanlah bagian dari level pertama, melainkan keempat.
Selanjutnya yang dapat menjadi bahan pertimbangan lain ialah efek yang terjadi bila resolusi gagal tercapai. Dilansir Business Insider, psikolog sosial dan associate professor dari Harvard Business School, Amy Cuddy, mengungkapkan, saat seseorang tidak mampu memenuhi resolusinya, ia akan merasa cemas dan memiliki penilaian diri yang rendah. Hal yang terakhir ini bisa juga diakibatkan oleh fokus berlebihan kepada hasil alih-alih kepada proses.
Kegagalan mewujudkan resolusi juga dikatakan Cuddy terkait dengan betapa sakleknya aturan yang dibuat seseorang untuk meraih gol atau tujuannya. Misalnya ketika ia menetapkan harus ke pusat kebugaran tiga kali seminggu, padahal di tengah-tengah perjalanan, ia terserang penyakit.
Jeda rutinitas ini bisa membuat seseorang merasa upayanya buyar duluan, lantas malas dan memutuskan untuk menyetop proses memenuhi resolusi. Penyalahan diri dan penyesalan juga mengekori para pembuat resolusi yang gagal, demikian salah satu hasil studi Norcross, et.al. (1989) yang dimuat dalam jurnal Addictive Behaviors.
Menjalankan tradisi membuat resolusi tahun baru atau tidak adalah kebebasan setiap orang. Namun bila tidak disokong komitmen penuh, hal ini hanya akan menjadi angan yang tidak kunjung terejawantah, atau bahkan beban di kemudian hari.
Baca juga: Sejarah dan Asal Usul Resolusi Tahun Baru