Polemik Coca-Cola di Tengah Isu Kesehatan
https://www.naviri.org/2018/03/polemik-coca-cola.html
Naviri.Org - Sebagai minuman paling populer di zaman modern, Coca-Cola jelas sukses secara bisnis. Perusahaan minuman tersebut ada di berbagai negara, termasuk di Indonesia, dan menghasilkan pendapatan miliaran dolar dari jutaan dari orang yang mengonsumsinya setiap hari. Namun, Coca-Cola juga dihantam isu kesehatan, khususnya terkait masalah diabetes dan obesitas, yang salah satunya disebabkan oleh gula.
Dari dulu sampai saat ini, konon hanya ada dua orang yang tahu bagaimana resep membuat Coca-Cola, dan bahan-bahan apa saja yang digunakan. Jika salah satu dari dua orang itu meninggal, satu yang masih hidup akan memberitahu orang lain yang dipercaya, mengenai resep rahasia Coca-Cola, agar yang tahu resep itu tetap dua orang, dan begitu seterusnya.
Karenanya, di dunia ini selalu hanya ada dua orang yang tahu apa resep dan bahan-bahan yang digunakan untuk membuat Coca-Cola, dan dua orang itu tidak akan memberitahukannya kepada siapa pun.
Namun, sebagaimana nasib beberapa perusahaan besar lain, resep rahasia Coca-Cola bocor. Bahan-bahannya telah diketahui publik sejak awal 1990-an atau saat perusahaan menerbitkan buku For God, Country & Coca-Cola. Sang penulis, Mark Pendergrast, tak sengaja melihat resep Coca-Cola di buku formula milik Pemberton.
Kritik yang paling sering dilancarkan pada Coca-Cola adalah apa yang terkandung di dalam minumannya. Dalam catatan Departemen Pertanian AS, satu kaleng Coca-Cola standar mengandung 38 gram gula. Angka ini termasuk tinggi dan banyak pihak yang menilai perlu perhatian khusus sebab ada sebagian masyarakat dunia yang mengonsumsi Coca-Cola untuk minuman sehari-hari seperti halnya mengonsumsi air mineral.
Menurut penelitian Harvard School of Public Health pada 2015, “orang yang mengonsumsi 1-2 kaleng minuman bergula tiap harinya akan terkena risiko 26 persen lebih tinggi untuk penyakit diabetes tipe 2”. Sementara itu Medical News Today pernah melaporkan sebuah studi yang mengklaim bahwa 184.999 kematian warga dunia tiap tahun adalah sebagai dampak dari konsumsi minuman bergula seperti Coca-Cola dan sejenisnya.
Memasuki abad-21, kampanye untuk berhenti mengonsumsi minuman ringan dengan kandungan gula tinggi terus bermunculan. Salah satunya tentu saja menyasar Coca-Cola. Kini, tak sulit menemukan riset yang menunjukkan bahwa konsumsi minuman manis berkarbonisasi seperti Coca-Cola lebih punya dampak buruk untuk masa depan yang bersangkutan.
Kampanye ini menuai keberhasilan, dibantu dengan penyebarluasan sejumlah riset yang menyatakan bahwa penyakit obesitas dan diabetes di AS makin mengkhawatirkan. Dalam survei Gallup dua tahun lalu, misalnya, ditemukan bahwa 60 persen rakyat AS mengaku sedang dalam upaya menghindari minum minuman bersoda.
Coca-Cola dan perusahaan minuman soda lain tahu akan hal ini. Dalam laporan The Guardian pada 2015 lalu, disebutkan bahwa laporan tahunan Coca-Cola dalam sepuluh tahun terakhir kepada Komisi Sekuritas dan Bursa AS tercantum obesitas dan konsekuensi kesehatan lain sebagai ancaman terbesar bagi perusahaan. Coca-Cola pun mengakalinya dengan pemasaran yang intensif, membuat Coca-Cola rendah gula, lobi-lobi, serta kampanye tandingan dengan modal duit yang tak sedikit.
Salah satu kampanye tandingan yang pernah dilancarkan Coca-Cola yakni dengan cara mendanai organisasi Global Energy Balance Network. Mereka bertugas mempromosikan ide pencegahan obesitas, yakni dengan tak usah repot-repot mengurangi porsi makan atau porsi minum soda, melainkan cukup dengan lebih aktif bergerak atau berolahraga. Ini hanya salah satu contoh sebagaimana mereka meluncurkan produk Diet Coke dengan promosi lebih rendah gula.
Para peneliti dari University of California pada akhir Oktober 2017 mempublikasikan analisisnya, dari 60 hasil penelitian yang dilakukan sepanjang periode 2001 hingga 2016, bertemakan kaitan antara konsumsi minuman ringan dengan risiko kesehatan.
Hasilnya: penelitian yang menunjukkan tak ada hubungan antara obesitas, diabetes, dan minuman soda dengan pemanis buatan hampir 100 persen didanai oleh industri minuman ringan itu sendiri. Dari 34 penelitian yang berkesimpulan ada hubungan antara minuman ringan dengan risiko buruknya, hanya satu yang didanai oleh industri tersebut.
Profesor Carl Henegan, Direktur Centre for Evidence-Based Medicine di University of Oxford, berkata pada The Independent bahwa analisis tersebut menambah literasi terkait bias lembaga penelitian atas riset yang mendapat dana dari pelaku bisnis. Pembuat dan penegak kebijakan, katanya, mesti memahami sumber-sumber penelitian yang dipublikasikan ke publik, karena efeknya akhirnya kembali ke publik itu sendiri.
"Kenyataannya saat ini kita sedang dalam perang dengan penyakit diabetes. Di setiap perang ada propaganda. Publik mesti sadar bahwa mereka sedang dimainkan. Jika Anda mengecualikan studi yang didanai oleh industri, dan hanya melihat studi yang didanai secara independen, menjadi jelas bahwa minuman bergula manis menyebabkan obesitas dan diabetes,” ujarnya.
Fakta-fakta kesehatan itu masih akan menjadi "musuh besar" Coca-Cola di masa mendatang.
Baca juga: Selain Minuman Soda, Coca-Cola Kini Juga Bikin Kopi