Eksploitasi Seksual di Balik Bantuan untuk Pengungsi Suriah
https://www.naviri.org/2018/03/pengungsi-suriah.html
Naviri.Org - Akibat perang sipil dan kekacauan yang terjadi, jutaan orang Suriah mengungsi demi menyelamatkan diri dan keluarga mereka. Dalam pengungsian, mereka pun tentu membutuhkan bantuan dunia, khususnya bantuan dalam bentuk makanan dan kebutuhan sehari-hari. Dalam hal itu, PBB serta badan-badan internasional pun turun tangan, mengulurkan bantuan kemanusiaan untuk para pengungsi Suriah. Sayang, dalam hal itu muncul hal tak sedap.
Sebagaimana yang diwartakan berbagai media, wanita-wanita Suriah dieksploitasi secara seksual oleh pria-pria yang menyalurkan bantuan atas nama PBB dan lembaga bantuan internasional. Para pekerja lembaga bantuan mengatakan, bahwa mereka bisa menukar bantuan makanan dan minuman dengan meminta imbalan layanan seksual.
Tiga tahun lalu, kasus-kasus pelecehan seksual semacam ini jadi pembicaraan, namun laporan terbaru ini menunjukkan bahwa hal tersebut terus berlanjut di bagian selatan negara itu. Badan PBB dan badan bantuan internasional mengatakan bahwa mereka tidak menoleransi eksploitasi dan tidak mengetahui adanya kasus pelecehan oleh mitra mereka.
Para pekerja kemanusiaan mengatakan kepada media, bahwa eksploitasi itu begitu meluas sehingga sebagian perempuan Suriah sampai menolak pergi ke pusat pembagian bantuan, karena takut orang-orang akan menganggap mereka memberikan tubuh mereka demi mendapat bantuan yang mereka bawa pulang.
Seorang pekerja menyebut bahwa sejumlah badan kemanusiaan menutup mata terhadap eksploitasi itu, karena satu-satunya cara untuk menyalurkan bantuan ke wilayah berbahaya di Suriah yang tidak dapat diakses oleh staf asing, adalah menggunakan pihak ketiga dan pejabat setempat.
United Nations Population Fund (UNFPA) melakukan penilaian terhadap kekerasan berbasis gender di wilayah itu tahun lalu, dan menyimpulkan bahwa di berbagai wilayah di Suriah memang ada bantuan kemanusiaan yang hanya diberikan karena ditukar dengan seks.
Laporan yang berjudul "Voices from Syria 2018" menyebutkan, "Banyak kejadian, perempuan atau gadis muda menikah dengan pejabat untuk waktu pendek sebagai 'layanan seksual' untuk menerima makanan; ada pula penyalur bantuan meminta nomor telepon perempuan dan anak gadis, memberi mereka tumpangan ke rumah mereka 'untuk memperoleh sesuatu sebagai imbalan' atau mendapatkan bantuan 'dengan imbalan kunjungan ke rumah' atau 'dengan imbalan layanan seperti menghabiskan malam bersama mereka'."
Ditambahkan, "Perempuan dan gadis kecil 'tanpa wali laki-laki', seperti janda dan IDP (pengungsi dalam negeri) perempuan, dianggap sangat rentan terhadap eksploitasi seksual."
Namun eksploitasi ini sudah dilaporkan tiga tahun lalu. Danielle Spencer, seorang penasihat kemanusiaan yang bekerja untuk sebuah lembaga bantuan, mendengar mengenai tuduhan itu dari sekelompok perempuan Suriah di sebuah kamp pengungsi di Yordania, pada bulan Maret 2015.
Dia kemudian membentuk kelompok diskusi, dan beberapa perempuan mengisahkan kepadanya bagaimana petugas pemerintah kota di daerah-daerah seperti Dara'a dan Quneitra meminta imbalan seks untuk bantuan yang mereka salurkan.
"Mereka menahan bantuan yang telah dikirim, dan kemudian menyalahgunakan perempuan-perempuan itu untuk seks," kata Spencer. "Saya ingat seorang perempuan menangis di ruangan itu, dan dia sangat marah dengan apa yang dia alami. Perempuan dan anak gadis harus dilindungi saat mereka berusaha mendapat makanan dan sabun dan barang-barang kebutuhan pokok. Sangat mengguncangkan bahwa pria yang seharusnya dipercayai dan menyalurkan bantuan, malah meminta berhubungan seks dengannya dan menahan bantuan kemanusiaan itu."
Dia melanjutkan, "Hal itu begitu merata, sehingga mereka tidak mungkin pergi tanpa mengalami stigmatisasi. Diasumsikan bahwa jika orang pergi ke lembaga penyaluran bantuan, orang itu diyakini akan memberikan layanan seksual untuk imbalan bantuan kebutuhan pokok."
Beberapa bulan kemudian, pada bulan Juni 2015, International Rescue Committee (IRC) mensurvei 190 perempuan dan anak perempuan di Dara'a dan Quneitra. Laporan mereka mengemukakan sekitar 40% mengalami kekerasan seksual saat mereka mengakses layanan, termasuk bantuan kemanusiaan.
Seorang juru bicara IRC mengatakan, "Penilaian tersebut menyimpulkan bahwa kekerasan seksual adalah keprihatinan yang meluas, termasuk saat mencari akses ke berbagai jenis layanan di Suriah selatan. Layanan ini mencakup distribusi bantuan kemanusiaan."
Kedua laporan dipresentasikan pada sebuah pertemuan badan-badan PBB dan badan kemanusiaan internasional, yang diselenggarakan oleh UNPFA di ibu kota Yordania, Amman, pada 15 Juli 2015. Sebagai hasil dari pertemuan ini, beberapa lembaga bantuan memperketat prosedur mereka.
IRC mengatakan, "Dalam operasi kami sendiri, kami meluncurkan program dan sistem baru untuk melindungi perempuan dan anak perempuan di Suriah selatan dengan lebih baik. Program tersebut terus didanai oleh berbagai donor."
Kekerasan seksual 'diabaikan selama bertahun-tahun'
Badan bantuan CARE memperluas tim pemantau mereka di Suriah, membentuk mekanisme pengaduan dan tidak lagi menyerahkan bantuan ke pemerintah lokal.
Mereka juga meminta berbagai badan PBB, termasuk Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) dan Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), untuk menyelidiki lebih lanjut dan membuat mekanisme pelaporan baru. Tapi CARE tidak diberi izin untuk melakukan penelitian di kamp pengungsi Yordania.
Spencer mengklaim lembaga-lembaga bantuan menutup mata, asal bantuan masih bisa sampai ke Suriah selatan.
"Eksploitasi dan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak gadis telah diabaikan, hal itu sudah diketahui dan diabaikan selama tujuh tahun," katanya. "PBB dan sistem yang berjalan saat ini telah memilih agar tubuh perempuan dikorbankan. Di suatu kantor entah di mana, dibuat sebuah keputusan bahwa tidak apa-apa jika tubuh perempuan terus disalahgunakan, dieksploitasi, dilecehkan demi agar bantuan bisa sampai ke orang-orang dalam jumlah lebih besar."
UNHCR mengatakan langkah-langkah pencegahan dan proses pelaporan telah ditingkatkan.
Sumber lain yang menghadiri pertemuan bulan Juli 2015 atas nama salah satu badan PBB mengatakan kepada BBC, "Ada laporan kredibel tentang eksploitasi dan pelecehan seksual yang terjadi selama pengiriman bantuan lintas batas, dan PBB tidak melakukan langkah serius untuk mengatasinya atau mengakhirinya. "
Seorang juru bicara UNFPA mengatakan telah mendengar kemungkinan kasus eksploitasi dan kekerasan perempuan di Suriah selatan dari CARE. Organisasi itu mengatakan bahwa pihaknya tidak mendapat laporan tentang tuduhan pelecehan atau eksploitasi dari kedua LSM yang bekerja dengan mereka di Suriah selatan. Juru bicara tersebut juga menjelaskan bahwa UNFPA tidak bekerja dengan pemerintah setempat sebagai mitra pelaksana.
Seorang juru bicara Badan PBB untuk Anak-anak (UNICEF) mengonfirmasi bahwa mereka hadir pada pertemuan bulan Juli 2015. Badan tersebut mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan peninjauan ulang terhadap mitra dan kontraktor lokal di Suriah selatan, dan tidak mengetahui adanya tuduhan terhadap mereka pada saat ini.
Namun mereka menerima kenyataan bahwa eksploitasi seksual merupakan masalah serius di Suriah, dan mengatakan bahwa pihak mereka memperkenalkan mekanisme pengaduan berbasis masyarakat dan lebih banyak pelatihan bagi para mitra mereka.
Juru bicara DfID mengatakan bahwa pihaknya tidak mengetahui adanya kasus seperti ini, yang melibatkan bantuan Inggris. "Sudah ada mekanisme untuk mengangkat isu pelecehan dan eksploitasi," kata DfID. "Mitra DfID di Suriah menggunakan lembaga pemantauan pihak ketiga untuk memverifikasi bantuan Inggris yang disalurkan di Suriah."
Tidak ada toleransi
Juru bicara DfID menambahkan bahwa setiap pelecehan sistematis seharusnya diketahui oleh pemantau dan melaporkannya ke DfID.
Juru bicara Oxfam mengatakan bahwa pihaknya tidak bekerja dengan pemerintah daerah untuk memberikan bantuan di Suriah selatan hingga 2015, begitu pun sekarang.
"Pekerjaan kami di Suriah kebanyakan difokuskan untuk menyediakan perangkat keras berskala besar untuk memasok air ke masyarakat Suriah daripada menargetkan bantuan pada individu atau rumah tangga tertentu," katanya. "Kami tidak menerima laporan tentang eksploitasi seksual seputar pemberian bantuan pada tahun 2015, namun memiliki kebijakan tidak ada toleransi atas pelecehan seperti itu."
Seorang juru bicara UNHCR mengatakan telah mengetahui tuduhan tersebut pada saat itu, namun tidak ada informasi yang cukup untuk mengidentifikasi dan mengambil tindakan terhadap orang atau organisasi manapun.
Namun, dia mengatakan UNHCR telah memerintahkan penyelidikan baru untuk mengetahui lebih banyak modus pelecehan tersebut, dan juga melakukan upaya tambahan untuk memperkuat langkah-langkah pencegahan, proses pelaporan dan pelatihan untuk mitra lokal.
Baca juga: Pengakuan Mengerikan Mantan Anggota ISIS