Negara Mana yang Kira-kira Terancam Bubar?
https://www.naviri.org/2018/03/negara-terancam-bubar.html
Naviri.Org - Istilah “negara gagal” atau “negara bubar” menjadi topik pembicaraan banyak orang, akhir-akhir ini, setelah Prabowo Subianto, ketua umum Partai Gerindra, menyebut soal bubarnya NKRI. Tapi benarkah Indonesia memang negara yang berisiko gagal, dan bisa jadi bubar di masa depan? Ataukah ada negara lain yang lebih berisiko dibanding Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan itu, dan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai negara mana yang kira-kira akan bubar, kita bisa merujuk pada lembaga yang memang fokus mempelajari hal tersebut.
Ada sebuah lembaga yang fokus memprediksi apakah suatu negara bakal bubar atau berada di ambang kehancuran, yakni Fragile State Index (FSI). Lembaga think tank asal AS yang disokong oleh LSM Fund for Peace (FFP) dan majalah Foreign Policy ini tiap tahun merilis prediksi tentang negara mana saja yang sedang menggali kuburnya sendiri.
Rilisan FSI terbaru tahun 2017 menunjukkan bahwa Sudan Selatan, negara yang baru berdiri pada 2011, menduduki peringkat teratas sebagai negara yang paling rawan. Peringkat Sudan Selatan hanya bergeser dari peringkat kedua pada 2016. Posisi sementara untuk negara teraman (peringkat 178) jatuh pada Finlandia, yang tak pernah berubah sejak pertama kali FSI merilis laporannya pada tahun 2006 silam.
Karena konsisten merilis data tahunan yang terperinci, FSI kerap jadi rujukan untuk memantau perkembangan politik global. Untuk menilai negara mana yang paling aman dan stabil hingga yang terancam bubar, FSI memakai empat indikator besar (Kohesi, Ekonomi, Politik, Sosial) yang dipecah lagi jadi 12 indikator, yakni "aparat keamanan", "faksionalisasi elite", "kemarahan kelompok dalam masyarakat", "pertumbuhan ekonomi yang tidak merata", "taraf brain drain dan jumlah warga yang meninggalkan negara", "legitimasi negara", "layanan publik", "HAM dan penegakan hukum", "tekanan demografi", "jumlah pengungsi", serta "intervensi asing".
Negara-negara yang dinilai digolongkan ke dalam 10 kategori, yaitu "very high alert", "high alert", "alert", "high warning", "elevated warning", "warning", "stable", "very stable", "sustainable", dan "very sustainable".
Kategori pertama mencakup negara-negara yang diperkirakan bubar dalam waktu dekat. Semakin mendekati kategori akhir, sebuah negara akan semakin aman, stabil, dan berkelanjutan. Semakin bontot peringkatnya, semakin baik.
FSI juga mengklaim sederet indikator tersebut diambil secara real time.
Menurut laporan FSI tahun 2017, Indonesia berada di peringkat 94 dari (178 negara), dan masuk dalam kategori "elevated warning". Namun FSI juga mencatat bahwa Indonesia berada di antara negara-negara yang menunjukkan "perbaikan jangka panjang yang berkelanjutan" seperti Georgia, Laos, Panama, Romania, dan Uzbekistan. Tahun lalu, Indonesia mendapat ranking 86.
Namun, laporan FSI pun tak lepas dari kritik. Profesor Ilmu Politik dari University of Pretoria, Henning Melber, mempertanyakan posisi Finlandia yang terus konsisten di posisi puncak sebagai negara teraman dan jauh dari kata gagal. Sebab, paramiliter sayap kanan dan sentimen anti-imigran tengah tumbuh pesat di Finlandia.
Partai-partai ultra-nasionalis, dengan tendensi xenofobia, juga tengah mekar di beberapa negara Skandinavia seperti Norwegia, Denmark, dan Swedia. Namun, dalam laporan FSI, negara-negara tersebut masih berada di kategori negara paling "sustainable" alias berkelanjutan, sementara negara-negara Afrika terus ditempatkan di peringkat teratas.
Komentar keras disuarakan Elliot Ross di Guardian, dengan judul "Failed states are a western myth" (2013). Ross, yang ketika itu berstatus mahasiswa doktoral di Columbia University, menulis status Fund for Peace sulit dikatakan independen. Direkturnya, J.J. Messner, tulis Ross, adalah seorang mantan pelobi industri militer swasta. Masalah lain yang ditunjukkan oleh Ross adalah ketiadaan data mentah yang disertakan dalam laporan tahunan FSI.
Konsep negara gagal, lanjut Ross, dimunculkan oleh segelintir ilmuwan politik pada 1990an. Masalahnya, tak ada tawaran moda analisis apapun di dalamnya.
"Negara gagal adalah retorika tanpa dasar teoritis dan historis yang substansial," terang Ross, seraya mengklaim bahwa pemeringkatan negara gagal adalah cara untuk merasionalisasi campur tangan negara-negara Barat di tempat-tempat seperti Irak dan Afghanistan.
Baca juga: Negara-negara Termakmur dan Termaju di Dunia