Kisah Hidup dan Kematian John Lennon
https://www.naviri.org/2018/03/kisah-hidup-dan-kematian-john-lennon.html
Naviri.Org - John Lennon adalah salah satu legenda yang sosoknya terus dikenang di dunia. Ia dikenal sebagai penyanyi yang menjadi vokalis The Beatles, yang kemudian juga sukses bersolo karier. John Lennon dikenang sebagai seorang aktivis antiperang, juga seorang antikemapanan. Ia, salah satunya, diketahui “menista” agama ketika mengatakan bahwa The Beatles lebih terkenal daripada Yesus.
Kisah hidup John Lennon mungkin masih akan lama, kalau saja dia tidak terbunuh oleh Mark David Chapman. Dan pembunuhan terhadap John Lennon, sampai kini, masih dikenang sebagai salah satu pembunuhan terkenal di dunia.
Jauh sebelum menembak John Lennon, Mark David Chapman adalah penggemar The Beatles. Belakangan, sebelum menembak John Lennon, David memilih menjadi seorang Kristen garis keras. Sama seperti remaja-remaja yang dulu suka Britney Spears atau boyband-boyband dari negara kapitalis macam Amerika atau Inggris, namun di kemudian hari membenci liberalisme, kapitalisme, atau bahkan demokrasi.
Berbekal revolver Colt 38 special, David mendatangi kawasan apartemen yang menjadi tempat tinggal John Lennon bersama Yoko Ono di New York. Pistol itu diselipkan di balik pakaian. Tak ada yang tahu rencana pembunuhan kecuali David dan Tuhan. Tak lupa, sebelum mengeksekusi, Mark David meminta John Lennon membubuhkan tanda tangan di album Double Fantasy.
Setelah John Lennon memberi tanda tangan dan hendak memasuki gedung apartemen, David memanggil sang bintang sambil mencabut pistolnya, dan menembak berkali-kali hingga tumbang. Nyawa John Lennon pun melayang di usianya yang ke-40.
David dengan cepat menjadi terkenal, karena menghabisi John Lennon pada 8 Desember 1980, peristiwa yang kini sudah berusia tiga puluh tujuh tahun. Dunia pun berkabung. Ribuan lilin menyala untuk mengenang John Lennon yang cinta damai.
Sejak muda, John Lennon adalah sosok yang bengal di balik lagu-lagu yang ditulis dan dinyanyikannya. Dia senang mengganggu otoritas, entah itu otoritas negara maupun moral (baca: agama).
Dasarnya memang seorang rebel
Bersama The Beatles, bulan Juli 1966, John Winston Lennon sedang berada di Filipina. Usai menggelar konser, mereka “berulah” dengan membuat ngamuk Ibu Negara Filipina, Imelda Marcos, dan kroni-kroninya. Kugiran asal Liverpool tersebut rupanya menolak kemauan Ibu Negara Filipina nan glamor itu untuk tampil di Istana Malacanang, Manila. Alasannya jelas: itu agenda yang tidak ada dalam jadwal.
John Lennon dan personil Beatles lainnya, yang dibesarkan di negara bebas, tak pernah tahu di negara yang dikuasai rezim macam Marcos semua kemauan keluarga penguasa adalah sabda yang harus dijunjung. Tentu saja John Lennon tak peduli.
“Jika ingin pertunjukan, datang saja ke kamar kami,” kata John Lennon.
Antek-antek Marcos yang terkenal korup itu tersinggung. Rombongan kugiran Britpop itu pun segera angkat kaki dari Filipina. Mereka harus pergi lebih cepat sebelum orang-orang fasis yang cinta mati pada keluarga Marcos melakukan tindakan semena-mena. Meski harus senam jantung, John Lennon sukses menistakan rezim Marcos dengan menolak bermain. Setelahnya, John Lennon tak pernah menginjakkan kaki di negeri Marcos itu.
Kekurangajaran John Lennon tak berhenti di situ. Pada tahun yang sama, John Lennon yang dipuja gadis-gadis itu bikin masalah besar. Bahkan lebih parah. Jika di Filipina dia bikin marah pendukung Marcos, kali ini umat Kristiani sejagad dibuat marah.
“The Beatles lebih terkenal daripada Yesus,” kata John Lennon.
Segera poster dan piringan hitam The Beatles pun jadi sasaran pembakaran orang-orang yang agamanya dinistakan John Lennon. Dia belakangan harus minta maaf atas ucapannya. Dia begitu gugup.
John Lennon tentu saja punya alasan mengapa dia mengatakannya. Bagi John Lennon, televisi yang kala itu mulai populer sebagai media massa penting, sebenarnya juga lebih populer daripada Yesus. John Lennon melihat kehidupan sekuler anak muda di tahun 1960-an, menunjukkan bahwa budaya populer memang lebih dahsyat daripada agama apapun di dunia.
John Lennon hanya ingin menunjukkan hal itu. “Beatles lebih berarti bagi anak-anak daripada Yesus, atau agama, pada waktu itu. Saya tidak bermaksud melecehkan atau merendahkan, saya hanya mengatakan itu sebagai fakta,” ucap John.
Bicara soal agama, John Lennon memang tidak pernah mesra dengan agama apa pun di dunia ini. Bahkan perjalanannya ke India tak membuatnya memuja Tuhan. Setelah Beatles bubar dan bersolo karier, John Lennon bahkan pernah menulis lagu berjudul "God" (1970).
Lagu tersebut menegaskan ketidakpercayaan John Lennon pada tokoh-tokoh dan hal-hal mulia macam Yesus, Budha, Injil, Taurat dan lain-lainnya. Tidak percaya pada Yesus, tentu bisa dianggap dia tidak percaya ajaran Yesus juga. Begitu pun pada Budha.
Entah kenapa, dalam lagu tersebut John Lennon tak menyebut nama Muhammad. Jika Muhammad masuk dalam lagu ini, John Lennon barangkali akan dapat fatwa mati seperti halnya Salman Rushdie yang menulis Ayat-Ayat Setan.
Penegasan John Lennon bahwa agama tak penting, atau sebaiknya agama tidak pernah ada, ia tuliskan dalam lagunya yang paling sohor, "Imagine" (1971). Lagu yang dianggap sebagai lagu perdamaian dunia itu ditulisnya ketika Perang Dingin berlangsung. John Lennon termasuk orang yang membenci perang. Meski tinggal di New York, John Lennon adalah musuh Amerika Serikat. Sebagai seniman asal Inggris, dia mirip Charlie Chaplin: sama-sama dimusuhi pemerintah Amerika.
Lewat lagunya ini, John Lennon juga mengajak orang-orang untuk membayangkan jika agama tak pernah ada. Baginya, mungkin di dunia tidak ada perang yang membawa-bawa nama Tuhan. Di awal lagu saja, John Lennon sudah menulis, “Bayangkan jika tidak ada surga”.
John Lennon juga bermimpi tak ada neraka. Selain berharap agama, yang bagi Marx adalah candu, sebaiknya tak perlu ada, John Lennon juga membayangkan negara tak pernah ada. Bagi John Lennon, jika negara (dan agama) tidak ada, tentu tak akan pernah ada banyak darah yang tertumpah.
Dalam Lennon in America (2000) karya Geoffrey Giuliano, John Lennon berkomentar bahwa lagu "Imagine" adalah "lagu anti agama, anti nasionalistis, anti konvensional, anti kapitalistis, tetapi karena kata-katanya diperhalus, lagu ini dapat diterima".
Ternyata, John Lennon tetap saja “penista”. Hanya saja, dari tahun ke tahun John Lennon makin mampu menista tanpa harus membuat kehebohan sedahsyat seperti saat membandingkan Beatles dengan Yesus.
Tetap saja kepiawaian bermain kata-kata, bahkan saat menista, tak mampu menyelamatkannya dari peluru yang dimuntahkan oleh pistol dalam genggaman Chapman. Peluru rupanya lebih konkret daripada kata-kata, setidaknya di saat ia meregang nyawa. Tapi tetap saja, dunia berkabung karena kematiannya.
Baca juga: John Lennon, di Antara Cinta Sejati dan Kematian Tragis