Honor Killing, Pembunuhan Atas Nama Kehormatan
https://www.naviri.org/2018/03/honour-killing.html
Naviri.Org - Di beberapa wilayah dunia, salah satunya Pakistan, ada “tradisi” mengerikan, yang disebut “honor killing” (atau honour killing), yaitu pembunuhan yang ditujukan untuk menjaga kehormatan. Dalam tradisi yang sebenarnya bisa disebut barbar itu, sebuah keluarga bisa membunuh anggota keluarganya sendiri, misalnya si anak, jika si anak dinilai melakukan sesuatu yang memalukan atau membawa aib bagi keluarganya.
Contoh tragis terkait hal ini adalah kisah nyata yang terjadi pada Ghani Rehman dan Bakhtaja. Dua orang itu anak dari dua keluarga yang bertetangga, dan keduanya saling jatuh cinta. Namun, kisah mereka berakhir tragis dengan menjadi korban tradisi “honour killing”.
Ghani dan Bakhtaja adalah teman sedari kecil yang tinggal di Ali Brohi Goth, kampung miskin dekat Karachi, Pakistan. Bakhtaja tinggal di lantai dua sebuah rumah susun yang berhadapan dengan rumah keluarga Ghani. Perhatian Ghani kerap tercuri saat si gadis kecil Bakhtaja sedang bermain di balkon rumah. Keduanya kemudian saling mengenal, menghabiskan waktu untuk bermain bersama, hingga usianya menginjak remaja.
Ghani punya reputasi sebagai anak yang sopan dan pekerja keras. Anak laki-laki memang biasa dibebani dua pekerjaan sekaligus. Mereka harus membantu sang ayah agar dapur keluarga agar tetap mengepul. Sementara Ibu, adik, dan anggota keluarga perempuan lain mengerjakan pekerjaan rumah. Norma sosial di tempat Ghani tinggal memang berkata demikian, serta dijalankan dengan teramat tegas.
Menurut laporan polisi yang didapat Sune Engel Rasmussen, untuk laporannya di Guardian, Ghani dan Bakhtaja dituduh menjalin hubungan gelap. Tak ada penjelasan rinci tentang hubungan seperti apa yang dimaksud penuduh. Faktanya, Ghani beberapa kali melamar Bakhtaja, akan tetapi ditolak. Marah, keduanya kemudian memutuskan untuk kabur berbekal uang dan perhiasan simpanan Bakhtaja.
Sesampainya Hyderabad, India, Bakhtaja bisa dihubungi ayahnya. Kedua keluarga, kata si ayah, telah setuju untuk menikahkannya dengan Ghani, asal keduanya mau pulang. Ghani dan Bakhtaja gembira bukan kepalang. Mereka tak sadar bahwa janji itu hanyalah tipuan belaka.
Baru tiba di Karachi, keduanya langsung ditahan di rumah masing-masing untuk menghadapi hukuman bagi pelaku hubungan yang tak disetujui keluarga: "honour killing".
"Honour killing" adalah pembunuhan oleh anggota keluarga karena meyakini korban, tak lain adalah anggota keluarga sendiri, telah membawa malu atau aib ke dalam rumah. Malu atau aib itu berasal dari pembangkangan akibat telah melanggar prinsip yang dijunjung keluarga, atau telah melanggar norma sosial dan agama yang dijunjung oleh warga di sekitar tempat tinggal.
Selain karena menjalin hubungan dengan pihak yang tak disetujui keluarga, contoh pembangkangan yang akan berakhir dengan "honour killing" merentang dalam beragam bentuk. Misalnya, menolak pernikahan paksa, berhubungan seksual di luar nikah, dituduh melakukan hal yang dinilai merusak reputasi keluarga, berusaha menceraikan suami (yang suka KDRT, selingkuh, menelantarkan keluarga, dsb), jadi korban pemerkosaan atau kekerasan seksual, berpakaian atau berlaku tak pantas/melanggar norma, terlibat dalam hubungan sesama jenis, atau meninggalkan/ganti keyakinan (murtad).
Keluarga Ghani dan Bakhtaja sebenarnya sudah mencapai kesepakatan agar keduanya terbebas dari hukuman. Ayah Ghani, Muhammad Afzal, berjanji menyerahkan semacam mahar berupa dua anak perempuannya sendiri, seekor sapi, dan uang 500.000 Pakistan rupee kepada ayah Bakhtaja, Hikmat Khan.
Kesepakatan ini seharusnya bersifat rahasia. Namun, salah satu anggota keluarga tua Bakhtaja yang tak terima, Sirtaj Khan, menyebarkannya ke publik. Emosi massa tersulut. Mereka menuntut agar Ghani dan Bakhtaha dihukum mati. Ayah Ghani dan Bakhtaja tak bisa berbuat apa-apa selain tunduk pada tuntutan massa. Alasan lain, biar kedua pelaku bisa menjadi contoh bagi anak-anak yang lain tentang konsekuensi dari sebuah pembangkangan.
Dibantu seorang paman, Afzal mengikat anaknya ke tempat tidur dengan satu tangan dan satu kaki diikat ke bagian yang terdapat kabel listrik. Bakhtaja mendapat hukuman setruman yang sama, dan mendapat goncangan selama 10 menit sebelum akhirnya meregang nyawa. Ghani butuh waktu lebih lama sebelum akhirnya sang paman mencekiknya sampai mati. Keduanya langsung dikubur tengah malam, berdampingan dengan jarak kurang dari 10 meter.
Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan mencatat pada tahun 2015 ada kurang lebih 1.100 perempuan tewas akibat pembunuhan atas nama kehormatan; 900 di antaranya menderita kekerasan seksual, dan hampir 800 di antaranya mencoba atau benar-benar berhasil bunuh diri. Pembunuhan atas nama kehormatan kadang memang tak terjadi langsung. Ada keluarga yang mendorong anak atau pelaku pembangkangan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Angkanya dinilai para pengamat sedang naik dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2013, korban serangan akibat pembangkangan serupa sebanyak 869, dan pada 2014 jumlahnya naik menjadi sekitar 1.000 kasus. Angka ini diperoleh dari arsip kepolisian, alias kasus yang dilaporkan. Sementara menurut laporan BBC, jumlah kasus yang tak dilaporkan demi menghindari konsekuensi hukum jauh lebih banyak lagi.
Perempuan jadi korban mayoritas karena kultur patriarki yang mengakar kuat di Pakistan. Perempuan dianggap sebagai harta benda milik anggota keluarga laki-laki. Layaknya properti, nasib perempuan berada di tangan keluarga laki-laki. Termasuk jika si perempuan melakukan pembangkangan melawan norma sosial atau agama, membuat aib bagi keluarga, maka ia berhak dihukum dengan berat agar kehormatan keluarga bisa dipulihkan.
Karachi adalah kota terbesar di Pakistan. Penduduknya banyak yang datang dari wilayah pedesaan dan membawa kultur pembunuhan atas nama kehormatan. Dalam riset bertajuk The Evolutionary Basis of Honour Cultures, yang disusun Andrzej Nowak dkk, disebutkan bahwa kultur pembunuhan atas nama kehormatan dulu dipakai suku-suku di Asia Selatan hingga Timur Tengah, sebagai strategi bertahan hidup di tengah kelangkaan sumber daya alam dan ketiadaan institusi kemasyarakatan yang kuat.
Nowak meneliti masyarakat Kohistan yang tinggal terpisah dari peradaban lain di Pakistan sebelah Utara, berdekatan dengan wilayah Afghanistan. Untuk melindungi lahan dan SDA-nya, orang-orang Kohistan lebih mengandalkan kehormatan ketimbang penegakan hukum. Rasa takut dan balas dendam dijadikan jalan meraih reputasi kelompok.
Kehormatan akhirnya setara dengan mata uang. Orang dengan penegakan moral dan norma sosial yang tinggi juga akan mendapat kehormatan yang tinggi. Kehormatan yang tinggi akan membuat seseorang dan keluarganya mudah mendapat dan mempertahankan harta bendanya. Sebaliknya, pembangkang yang tak paham akan batas-batas norma akan kesulitan bertahan hidup karena tak ada yang segan terhadapnya, tak ada yang ragu untuk merebut properti-propertinya.
Di saat yang bersamaan, masyarakat Kohistan menjunjung sistem patriarki, sehingga definisi properti tak hanya meliputi rumah, lahan, dan barang, tetapi juga perempuan. Kehormatan orang Kohistan tercermin dari bagaimana anggota keluarga perempuannya bersikap. Dengan kata lain, perempuan dikekang. Sekali kekangan itu lepas, maka kehormatan keluarga juga turut habis. Perempuan pembangkang adalah aib, oleh karenanya ia dirasa patut untuk dibunuh.
Kultur di Kohistan mencerminkan sikap masyarakat Pakistan lainnya, meski tak seluruhnya atau ada yang dalam kadar tak seekstrim masyarakat Kohistan. Kadang si perempuan pembangkang “hanya” diberi hukuman keras tapi tak sampai meninggal. Dalam kasus yang sekejam Ghani dan Bakhtaja, eksekusinya juga beragam: ditembak, dibakar, ditikam, dipukuli, dirajam, dipancung, digorok lehernya, hingga yang populer, disiram air keras.
Kultur warga Kohistan adalah warisan masa lampau yang tak diikuti oleh banyak warga Pakistan lain. Modernisasi cukup berhasil mengubah pandangan masyarakat Pakistan untuk beberapa hal. Meski demikian, sikap konservatif masyarakatnya belum mampu mencegah tindak "honour killing" karena konsep tentang kehormatan itu sendiri masih mengakar kuat di akar rumput, terutama di kalangan keluarga miskin.
Hukum formal di Pakistan jelas melarang pembunuhan atas nama kehormatan. Pada 2004, menurut catatan Vice News, undang-undang kejahatan negara direvisi untuk kepentingan ini. Peliknya, undang-undang tersebut belum mampu untuk menjerat seluruh pelaku. Ini karena pelaku adalah kerabat korban, dan biasanya proses hukum mangkrak jika ibu korban atau kerabat lain telah memaafkan pelaku.
Fakta lainnya yang mengerikan: agar bisa lolos dari jeratan hukum, eksekutor kadang sengaja dipilih dari anggota keluarga termuda, yang usianya masih anak-anak, sehingga ia tak diperlakukan layaknya kriminal dewasa. Lingkaran setannya terus bergulir, karena si pelaku di bawah umur yang bebas, akan meneruskan tradisinya saat ia berkeluarga, dengan anggapan pembunuhan atas nama kehormatan memang perlu dilakukan dan tak mengandung konsekuensi hukum yang jelas apalagi keras.
Faktanya, kasus pembunuhan atas nama kehormatan juga terjadi di berbagai belahan dunia lain, baik di Barat maupun Timur. Data PBB tahun 2008, misalnya, menyebutkan bahwa diperkirakan ada 5.000 perempuan di seluruh dunia yang jadi korban "honour killing" per tahunnya. Sebuah lembaga advokasi perempuan yang dikutip BBC menyebut angka yang lebih tinggi lagi, yakni 20.000 jiwa.
Anna Momigliano pernah melaporkan untuk The Nation, bahwa pembunuhan atas nama membela kehormatan masih ditolerir oleh otoritas di Italia dan masyarakatnya sekitar empat dekade silam. Setelah banyak dikecam, angkanya berkurang di era abad 21 ini.
Namun tidak seluruhnya hilang, hanya namanya yang berganti. Kini, jika ada suami yang membunuh istrinya karena sang istri membawa aib atau membuat sang suami tak terhormat, namanya bukan "honour killing" tapi "crime of passion" (kejahatan karena nafsu).
Menurut sebuah laporan Violence Policy Center yang dirilis bulan September 2015, sebanyak 94 persen korban pembunuhan perempuan (1.438 dari 1.530) di Amerika Serikat dibunuh secara brutal oleh kerabat laki-laki atau orang terdekat. Ini membuktikan perkataan mantan aktivis Human Rights Watch, Widney Brown, dalam wawancaranya bersama National Geographic bahwa fenomena "honour killing" terjadi lintas kebudayaan dan agama.
Pegiat dan akademisi yang fokus pada isu HAM, Dexter Dias dan Charlotte Proudman, pernah menulis di Guardian bahwa akar dari persoalan "honour killing" adalah patriarki yang mengakar begitu kuat. Sehingga cara terbaik untuk menghadapinya, sebagaimana saran Riada Asimovic Akyol di Al Jazeera, adalah melawan kultur misoginis.
Perlu ada usaha dari pemerintah setempat, melalui institusi pendidikan dan sosialnya, untuk menyebarkan pemahaman tentang kesetaraan gender dan penghormatan yang setara serta manusiawi bagi perempuan. Bukan penghormatan brutal yang mengekang alias penghormatan yang didefinisikan oleh kelompok-kelompok penjaga prinsip patriarkis.
Lebih lanjut lagi, menurut Dias dan Proudman, perlu ada penamaan ulang dari istilah 'pembunuhan atas nama kehormatan'. Istilah ini lahir dari kacamata si pembunuh, dan otomatis ofensif untuk korban dan kaum perempuan. Dewan Muslimah Kanada menyarankan 'femicide' (pembunuhan perempuan). Kofi Annan, saat dia menjadi sekretaris jenderal PBB, menyarankan 'shame killing' (pembunuhan untuk menebus rasa malu). 'Patriarchal killing' (pembunuhan patriarkal) juga istilah lain yang kadang-kadang digunakan oleh pegiat HAM dan aktivis gender.
Intinya, tulis Dias dan Proudman, tak ada yang terhormat dalam praktik pembunuhan atas nama kehormatan. Korban kehilangan nyawa hanya karena menjalankan pilihan hidup yang berbeda dari keluarga atau masyarakat.
“Dalam perjuangan ini, kata-kata memang senjata. Kita perlu menemukan kata-kata yang tepat, senjata yang tepat, untuk melawan kultur persekusi ini. Bukan 'honour killing'. Tidak ada yang namanya kehormatan dalam sebuah tindak pembunuhan.”
Baca juga: Rencana Pembunuhan yang Berakhir Tak Terduga