Aturan Pajak yang Perlu Diketahui Para Pekerja Bebas
https://www.naviri.org/2018/03/aturan-pajak-pekerja-bebas.html
Naviri.Org - Setidaknya, ada dua jenis pekerja. Yang pertama adalah pekerja yang terikat dengan suatu perusahaan, yang lazim disebut karyawan. Sebagai karyawan, mereka hanya menjalankan tugas-tugasnya di perusahaan tempat mereka bekerja, sementara urusan terkait usaha diurus sepenuhnya oleh pihak perusahaan. Termasuk dalam hal pajak, perusahaan pula yang mengurus.
Jenis kedua adalah pekerja bebas, yaitu pekerja yang tidak menjadi karyawan di perusahaan mana pun. Pekerja bebas bisa seorang profesional yang bekerja mandiri, atau punya usaha mandiri. Berbeda dengan karyawan, pekerja bebas harus mengurus segalanya, termasuk mengurus pajak. Terkait hal itu, ada aturan baru yang perlu diketahui para pekerja bebas.
Kini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat menghitung omzet wajib pajak (WP) berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15/PMK.03/2018. Pihak yang bisa dihitung omzetnya adalah WP Orang Pribadi dan WP Badan.
"Menurut Pasal 28 Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), WP Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan WP Badan wajib menyelenggarakan pembukuan," kata Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, kepada media.
Pria yang akrab disapa Pras ini menjelaskan, ketentuan bagi WP Orang Pribadi yang wajib melakukan pencatatan atau pembukuan itu adalah mereka yang omzetnya kurang dari Rp 4,8 miliar setahun. Sehingga, karyawan atau pegawai tidak termasuk dalam sasaran penghitungan omzet oleh DJP.
"Hanya yang punya usaha atau pekerjaan bebas, karyawan atau pegawai tidak kena aturan ini," tutur Pras.
PMK 15/2018 diadakan sebagai bentuk pelaksanaan Pasal 14 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), di mana Menteri Keuangan berhak menentukan cara lain menghitung peredaran bruto atau omzet WP.
Menteri Keuangan melalui DJP dapat menghitung omzet jika ada indikasi pencatatan atau pembukuan dari WP yang tidak sepenuhnya benar atau tidak menyertakan bukti-bukti pendukung pencatatan tersebut. Metode menilai omzet WP secara jelas telah diatur dalam PMK tentang hal ini.
Metode yang dimaksud adalah melalui transaksi tunai dan nontunai, sumber dan penggunaan dana, satuan dan/atau volume usaha, penghitungan biaya hidup, pertambahan kekayaan bersih, berdasarkan Surat Pemberitahuan atau hasil pemeriksaan tahun pajak sebelumnya, proyeksi nilai ekonomi, dan/atau penghitungan rasio.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Hestu Yoga Saksama, pada Minggu (4/3/2018) mengungkapkan bahwa aturan ini ditujukan untuk memberi kepastian hukum bagi WP. Aturan turunan yang mengatur hal teknis PMK tersebut sedang dikerjakan, dan akan keluar dalam bentuk Perdirjen (Peraturan Direktur Jenderal) Pajak.
"PMK ini memberikan kepastian hukum bagi WP, agar pemeriksa tidak menggunakan metode-metode lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan," ujarnya.
Baca juga: Memahami Denda dan Sanksi Terkait Laporan SPT Pajak