Hikayat dan Asal Usul Sate di Nusantara
https://www.naviri.org/2018/03/asal-usul-sate.html
Naviri.Org - Siapa yang tak kenal sate? Daging yang diiris kecil-kecil, ditusuk menggunakan potongan bambu hingga potongan daging berjajar rapat, lalu dibumbui kecap, dan dibakar. Saat asap pembakaran sate mulai mengebul, bau harum tercium dan menggugah rasa lapar. Sate adalah hidangan favorit banyak orang, khususnya di Indonesia.
Sate bisa dibuat dari daging kambing, daging ayam, daging kerbau, atau lainnya. Jika sate kambing dibumbui sambal kecap, sate ayam biasanya dibumbui sambal kacang. Masing-masing orang biasanya punya selera sendiri.
Orang Indonesia dan Malaysia biasa menyebutnya sate, saté, atau satai. Tampaknya, sebutan itu berasal dari bahasa Tamil, yakni “sathai” yang bermakna makanan dari daging. Sementara itu orang Thailand dan Vietnam menyebut satay. Muslim di Filipina selatan lebih akrab menyebutnya dengan sattii. Sementara, sebutan sosatie menandai menu ini untuk orang Afrika Selatan.
Belantara Asia Tenggara tidak memiliki sabana luas untuk menggembalakan ternak layaknya di belahan Asia Barat dan Asia Tengah. Leluhur kita pun menyantap daging lebih sedikit ketimbang leluhur negeri-negeri yang memiliki kuasa atas padang-padang gembala. Catatan para penjelajah pemburu rempah abad ke-16 dan abad ke-17 menunjukkan bahwa daging ternak sungguh sedikit dijumpai di Asia Tenggara.
Cara pengolahan santapan sekitar abad ke-14 mulai beragam, salah satunya dipanggang. Itulah serangkaian alasan mengapa di tanah bertudung hutan hujan tropis ini, perkara menyantap daging merupakan sesuatu yang istimewa. Daging yang dipanggang di atas jilatan api dan bara memiliki riwayat panjang di Nusantara. Kita pun memiliki catatan atas santapan hewani mereka.
Catatan lain soal daging panggang juga diungkapkan oleh Rijklof van Goens dalam De Samenvattende Gesschriften. Pejabat VOC itu mengunjungi takhta Sultan Mataram pada 1648 hingga 1654. “Jamuan mereka seringkali begitu bersahaja,” ungkap Goens, “terdiri atas domba, kambing, seperempat sapi atau kerbau panggang.”
Kabarnya, sate berkembang di Nusantara sekitar abad ke-19. Asal usulnya dari racikan pedagang jalanan yang terinspirasi kebab—kuliner asal India berupa daging cencang panggang yang disajikan bersama sayuran. Sate mulai menjadi bagian menu bersantap yang diracik dari dapur hotel papan atas di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Sebagai contoh, setiap Minggu siang, Hotel des Indes dan Savoy Homann menyajikan Rijsttafel mewah yang setiap menu lauknya dibawakan oleh satu pelayan.
Meski tersebar di Asia Tenggara, tampaknya sate bermula di Indonesia, demikian ungkap Jennifer Brennan dalam Encyclopedia of Chinese and Oriental Cookery, yang terbit di London pada 1988.
"Kendati Thailand dan Malaysia menganggap hidangan ini adalah milik mereka, sesungguhnya asal mula sate yang berkembang di Asia Tenggara adalah Jawa, Indonesia,” ungkap Jennifer yang pakar sejarah kuliner Asia. “Di sini sate dikembangkan melalui adaptasi kebab India yang dibawa para pedagang Muslim ke Jawa. Bahkan, India tidak bisa mengakuinya sebagai negeri asal mula sate, karena hidangan ini mendapat pengaruh Timur Tengah."
Sejatinya tidak ada yang benar-benar baru dari sebuah peradaban, tak terkecuali kuliner. Apalagi Indonesia memiliki latar pengaruh budaya yang beragam. Namun, jati diri rasa memungkinkan untuk digoreng bersama nasionalisme, sekaligus membangun semangat anti-imperialisme.
Bung Karno pernah menggagas proyek buku menu bersantap khas Indonesia, yang menyatukan selera penjuru Nusantara dalam 1.600 resep masakan. Kumpulan resep itu bertajuk Buku Masakan Indonesia Mustika Rasa: Resep2 Masakan Indonesia dari Sabang sampai Merauke, disusun oleh Departemen Pertanian. Kendati pembicaraan proyek ini berawal pada akhir 1960, wajah buku legendaris itu terbit pada 1967.
Resep sate pun turut dibeberkan dalam Mustika Rasa. Bagian keenam buku itu berisi 70 menu dalam kategori Lauk Pauk Bakaran, yang sepertiganya adalah santapan bernama “sate”.
Sate ayam, sebagai contoh dalam buku itu, membutuhkan bahan seekor ayam dan tusuk sate sebagai alatnya. Sementara, kelengkapan bumbunya adalah tujuh biji cabai rawit, satu ons kacang goreng, lima lembar daun jeruk purut, empat siung bawang merah, dua sendok teh terasi, dua sendok makan minyak goreng, dan garam cukup satu setengah sendok teh.
Langkah pertama, daging ayam yang telah dicuci kemudian dipotong-potong sebesar biji asam. Kedua, bumbu-bumbu dan kacang goreng dihaluskan, ditumis dengan minyak goreng ditambah sedikit kecap. Ketiga, potongan daging ayam ditusuk (satu tusukan 3-4 potong), dibakar di atas api arang, diangkat, dimasukkan ke bumbu, lalu dibakar lagi sampai masak. Sate biasa disantap bersama lontong, ketupat, atau nasi. Pokoknya sedap!
Alasan seseorang gandrung menyantap sate mungkin saja bisa beragam. Namun, faktanya, aroma daging yang terbakar relatif lebih menghasut selera dan mengetuk-ngetuk jiwa ketimbang daging kukus atau daging goreng.
Cumbuan pedas dari cabai dan bawang merah, yang datang mengiringi sate, mampu meningkatkan hormon endorphin dan serotonin. Hormon itu bekerja memberi perasaan senang dan nyaman.
Manisnya kecap juga bisa memberikan rasa euforia untuk memperbaiki hati yang luka. Ketika suasana tertekan membuat sanubari melapar, tubuh secara alami menggerakkan naluri kita untuk membidik santapan manis.
Gurihnya bumbu kacang yang membaluri sate juga bisa menerbitkan hormon serotonin dan vitamin E yang mengurangi rasa payah.
Mungkin, sensasi aroma dan rasa itulah yang menyebabkan Bung Karno sangat menggemari sate.
Selain sate ayam, Mustika Rasa masih menyajikan 22 menu sate lainnya yang menghasut selera kita: sate ayam rendang, sate asam manis, sate bandeng khas Tegal, sate bumbu dendeng, sate gapit, sate gurih, sate kerang, sate lidah, sate manis, sate manis tempe, sate madura, sate mangut khas Banten, sate padang khas Sumatra Barat, sate prentul, sate cirebon, sate udang khas Jawa Timur, sate udang manado, sate usus. Dan, tampaknya, Bali menyumbang menu sate terbanyak dibanding provinsi lain.
Terkait kegemaran Bung Karno pada sate, ada kisah unik yang terkenal.
Sabtu pagi, 18 Agustus 1945, Bung Karno berangkat dari kediamannya di Pegangsaan Timur menuju Pejambon. Hari itu, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menggelar rapat. Lewat tengah hari, para pemimpin—yang mewakili golongan agama, masyarakat, suku di Indonesia—bertekad bulat memilih Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia dan Bung Hatta sebagai wakilnya. Hari itu sekaligus menandai kata “presiden” yang baru resmi digunakan dalam ejaan bahasa Indonesia. Suasana rapat tanpa perayaan itu pun berakhir jelang sore.
Dalam kondisi malaria yang belum pulih benar, Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia berjalan kaki menuju rumahnya, yang berjarak sekitar empat kilometer. Pastinya, dia juga ditemani bersama beberapa kawan pengawalnya.
Di tengah perjalanan, Bung Karno berpapasan dengan tukang sate pikulan yang bertelanjang dada dan tak beralas kaki. Inilah hari yang bersejarah bagi Bung Karno dan rakyat Indonesia karena untuk pertama kalinya sebuah lembing perintah Presiden Republik Indonesia meluncur: “Sate ayam lima puluh tusuk.”
Saat itu bulan Ramadhan. Bung Karno menggelar santap malam bersama secara bersahaja ala anak jalanan. Mungkin, inilah jamuan kenegaran pertama bagi Republik Indonesia. “Aku jongkok di sana dekat selokan dan kotoran,” ungkap Bung Karno kepada Cindy Adams, yang menulis buku biografinya. “Kumakan sateku dengan lahap dan inilah seluruh pesta atas pengangkatan sebagai kepala negara.”