Sejarah dan Asal-Usul RT (Rukun Tetangga)
https://www.naviri.org/2018/03/asal-usul-rukun-tetangga.html
Naviri.Org - Pemerintah di Indonesia memiliki struktur yang berjenjang. Di tempat paling atas ada pemerintah pusat. Di bawahnya ada pemerintah provinsi, yang memimpin dan mengatur wilayah satu provinsi. Di bawahnya ada pemerintah kota, kemudian kabupaten. Di bawahnya lagi ada kecamatan, kemudian kelurahan yang khusus memimpin dan mengatur satu wilayah kelurahan.
Pada masing-masing kelurahan biasanya ada RW (Rukun Warga), dan di bawahnya lagi ada RT (Rukun Tetangga). Wilayah yang disebut RT biasanya hanya satu lokasi tertentu, misalnya satu gang di suatu kampung, yang tentu hanya terdapat beberapa puluh rumah. Sementara RW adalah gabungan beberapa RT, sehingga luas kepempinannya juga lebih jauh. Berdasarkan kenyataan itu, maka RT adalah unit terkecil dalam struktur pemerintahan.
Bagaimana sebenarnya asal usul RT atau Rukun Tetangga? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus mundur jauh ke belakang, hingga masa penjajahan Jepang di Indonesia.
Militer fasis selalu ingin merasukkan kuasanya sampai ke lapisan terbawah. Terbatasnya jumlah militer Jepang dari Tentara ke XVI di Jawa, mau tidak mau harus merepotkan orang-orang Indonesia untuk urusan mengantisipasi mata-mata. Setelah membubarkan Gerakan 3A dan Putera, petinggi militer Jepang membangun Jawa Hokokai (Persatuan Kebaktian Jawa) pada 1944. Di dalam Jawa Hokokai ini ada perangkat yang membantu Jepang untuk mengantisipasi mata-mata asing, disebut Tonarigumi.
Di Jepang, menurut catatan Jan Newberry dalam Back Door Java: Negara, Rumah Tangga, dan Kampung di Keluarga Jawa (2012), Tonarigumi "serupa dengan Goningumi di Jepang, kelompok lima sampai sepuluh rumah tangga (keluarga)" (hlm. 41).
Jika tiap Tonarigumi hanya sepuluh orang, maka Kumico (ketua Tonarigumi) akan sangat mudah mengenali warganya dan mudah pula mengenali orang asing. Di atas Tonarigumi, menurut catatan Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa, 1942-1945 (1993), ada Rukun Warga alias Azajokai, yang dipimpin Asacho (hlm. 204).
Tonarigumi berguna dalam “mengorganisasikan seluruh penduduk menjadi sel-sel yang terdiri atas sepuluh hingga dua puluh keluarga untuk mobilisasi, indoktrinasi dan pelaporan,” tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008: 436). Dalam sistem ini, penguasa terbawah pemerintahan seperti kepala desa bertanggung jawab atas sel-sel tersebut. Terkait indoktrinasi, sejak Februari 1944 kepala desa mulai menjalani kursus.
Tonarigumi bisa dikatakan cikal bakal Rukun Tetangga alias RT. Para Ketua RT di masa kini kerap disebut secara akrab dengan "Pak RT", jika laki-laki. “Baik kumicho maupun azacho mestinya dipilih oleh anggota. Tetapi dalam kenyataan, kebanyakan di antara mereka diangkat oleh kucho (kepala desa),” tulis Aiko.
Lebih lanjut, Aiko menjelaskan pula jika “masing-masing tonarigumi menyelenggarakan pertemuan setiap 35 hari untuk menyampaikan perintah-perintah dari pemerintah, merencanakan kegiatan, membagi kupon catu, dan sebagainya.”
Militer Jepang nampaknya begitu berharap pada Tonarigumi. Setidaknya untuk memberi dukungan informasi dan penangkalan mata-mata. Tak menutup kemungkinan para warga juga diminta bertempur jika Jepang nanti datang.
Aiko Kurasawa mencatat, pemerintah militer Jepang berusaha memperkuat Tonarigumi. “Misalnya, Kongres Tonarigumi Se-Jawa diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 8 November 1944 oleh Jawa Hokokai bekerja sama dengan Departemen Urusan Dalam, Departemen Propaganda (Sendenbu), dan Pemerintahan Kotamadya Khusus Jakarta,” tulis Aiko. Sebanyak 120 wakil Tonarigumi dari seluruh Jawa hadir dalam acara itu.
Setelah Jepang kalah perang, Tonarigumi masih aktif di Jawa. Barlan Setidjaya, dalam 10 November 1945: Gelora Kepahlawanan Indonesia (1992), mengutip koran Soeara Asia (28/08/1945), memuat maklumat soal penjagaan Tonarigumi yang diharuskan berjalan seperti biasa (hlm. 92). Pemerintah lawas, tentara pendudukan Jepang, boleh saja runtuh, tapi Tonarigumi harus tegak menjaga keamanan warga. Dari semangat itulah Rukun Tetangga dan Rukun Warga lahir.
Dari kontrol sampai administrasi
Soenarto Tjitrodarsono adalah pemuda terpelajar yang pernah makan bangku sekolah di HBS-KW III Jalan Salemba. Di zaman Jepang yang susah, dia menyambung hidup dengan menjadi guru Taisho (senam Jepang). Dia tinggal di Jalan Salemba Tengah nomor 30, Jakarta. Di pinggir Jalan Salemba Tengah adalah pemukiman para pegawai dan pedagang, dan di belakangnya tinggal buruh-buruh kecil.
“Ketika pertengahan 1944 diadakan pemilihan Ketua Rukun Tetangga (Kumicho), saya terpilih. Luas RT saya panjangnya kurang lebih 2 km dan lebar 1 km dengan penduduk kurang lebih 1.000 jiwa,” ujar Soenarto dalam Aku Ingat (1996: 152-153). Dia adalah salah satu Ketua RT di awal-awal sejarah adanya RT di Indonesia.
Setelah Jepang kalah di Perang Pasifik, Soenarto, yang dipanggil Den Tato, rupanya tetap dipandang warga sebagai pemimpin. Kekerabatan ala Tonarigumi tampaknya masih eksis di Salemba Tengah. Suatu kali, salah seorang warganya yang seorang mandor asal Banten dan bekerja di perusahaan pemotongan daging Jenne, datang padanya. Warga ini biasa dipanggil Bang Udin.
“Den Tato, kita sudah punya pos penjagaan, namun senjata tak kita miliki. Bagaimana kalau senjata prajurit-prajurit Jepang yang menjaga perusahaan Jenne di Gunung Sahari kita lucuti. Bukankah di mana-mana pos-pos militer Jepang diserbu oleh rakyat?” tanya Bang Udin pada Pak RT. Soenarto bertanya, berapa jumlah serdadu di Jenne. Bang Udin mengatakan ada 50 serdadu.
“Inti kekuatan kita adalah kurang lebih 30 buruh Jenne yang berasal dari Banten. Ini bisa ditambah pemuda-pemuda RT yang telah mendapat latihan militer di Seinendan, yang bisa Bapak kerahkan,” jelas Bang Udin. Soenarto setuju mengerahkan pemuda-pemuda RT untuk melakukan penyerbuan tiga hari kemudian.
Pada Hari-H, Soenarto berhasil mengerahkan 20 pemuda dari RT-nya. Bersama 30 buruh asal Banten, dengan bersenjata tajam saja, mereka berniat menyerang serdadu-serdadu Jepang. Soenarto, selaku Pak RT, bersama Udin, yang memimpin pengepungan terhadap serdadu-serdadu Jepang itu. Merasa sudah terkepung orang-orang yang cuma bermodal nekad dan senjata tajam, serdadu-serdadu bersenjata api itu pun pasrah dan menyerah.
Alhasil, 20 senapan, 5 pistol revolver, sejumlah pedang, 2 mobil, dan satu sepeda motor jadi rampasan perang warga RT dan buruh-buruh asal Banten itu. Tak lupa, Sang Merah-Putih mereka kibarkan setelah serbuan sukses. Wilayah yang dipimpin Soenarto pun jadi RT yang punya senjata.
Belakangan, menurut catatan Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya 2, Jaringan Asia (1996), RT tetap dikaitkan dengan keamanan dan pengawasan setelah Indonesia Merdeka. Sistem RT ini, “memungkinkan suatu pengawasan ketat berkotak-kotak dari penduduk. Kendatipun tujuannya adalah pertahanan sipil penduduk, sistem ini sangat efisien sebagai pengawasan politis. Kita menyadarinya pada saat ada kontrol identitas yang dilakukan setelah peristiwa 1965,” tulis Lombard (hlm. 278).
Di masa kini, di mata orang awam, RT lebih banyak dipandang sebagai lembaga yang cuma berfungsi administratif dan melakukan urusan remeh-temeh. Orang hanya ingat RT ketika butuh surat pengantar untuk membuat KTP, KK, dan surat-surat lainnya.
Baca juga: Sejarah dan Asal Usul Hari Ibu di Indonesia