Sejarah dan Asal-Usul Hari Ibu di Indonesia
https://www.naviri.org/2018/03/asal-usul-hari-ibu.html
Naviri.Org - Indonesia memperingati Hari Ibu setiap tanggal 22 Desember. Karenanya, 22 Desember menjadi hari penting bagi negeri ini, dan biasanya masyarakat akan menyampaikan selamat hari ibu dan semacamnya. Popularitas Hari Ibu makin meningkat di Indonesia, setelah adanya internet dan media sosial. Orang-orang biasanya menulis Selamat Hari Ibu dengan berbagai varian kalimat, yang tujuannya sebagai peringatan untuk Hari Ibu.
Setiap hari besar atau tanggal peringatan, khususnya di Indonesia, memiliki sejarah dan asal usul. Bagaimana dengan Hari Ibu? Ternyata, Hari Ibu juga memiliki sejarah dan asal usul yang panjang, setidaknya dimulai pada 22 Desember 1928.
Sabtu malam, 22 Desember 1928, bertempat di sebuah pendopo Dalem Jayadipuran milik Raden Tumenggung Joyodipoero, ratusan orang berkumpul. Acara resepsi dimulai sejak pukul tujuh malam, dimulai dengan nyanyian penghormatan dari anak-anak untuk para tamu.
Para tamu juga disuguhi drama tanpa suara tentang cerita Dewi Sinta membakar diri, Srikandi, dan Perikatan Istri Indonesia. Dari pukul sembilan hingga sebelas malam, para tamu saling berkenalan. Tiap utusan diberi kesempatan untuk mengurai problem perkumpulannya. Begitu yang dicatat Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang (2007).
Kongres ini dihadiri juga wakil-wakil dari perkumpulannya Boedi Oetomo, PNI, Pemuda Indonesia, PSI, Walfadjri, Jong Java, Jong Madoera, Muhammadiyah, dan Jong Islamieten Bond. Tokoh-tokoh populer yang datang antara lain Mr. Singgih dan Dr. Soepomo dari Boedi Oetomo, Mr. Soejoedi (PNI), Soekiman Wirjosandjojo (Sarekat Islam), A.D. Haani (Walfadjri).
Rangkajo Chairoel Sjamsoe Datoek Toemenggoeng alias Nyonya Toemenggoeng, istri dari Patih Datoek Toemenggoeng yang jadi bawahan Charles Olke van der Plas, hadir juga dalam acara itu. Setelah acara itu usai, perempuan Minang ini menulis laporan berjudul “Verslag van het Congres Perempoean Indonesia gehouden te Jogjakarta van 22 tot 25 Desember 1928”. Sekitar 600 perempuan dari berbagai latar pendidikan dan usia hadir dalam kongres Perempuan Indonesia Pertama ini.
Esok harinya, acara dimulai sejak pukul delapan pagi. Setelah acara dibuka dengan pertunjukan menyanyi dari anak-anak, Siti Soekaptinah menyampaikan asas kongres tersebut. Ternyata, pada pertemuan hari kedua kongres ini juga ada bahasan perkawinan anak yang disampaikan oleh Moega Roemah.
Perwakilan Poetri Boedi Sedjati (PBS) dari Surabaya menyampaikan pidatonya tentang derajat dan harga diri perempuan Jawa. Lalu disusul Siti Moendji'ah dengan “Derajat Perempuan”. Nyi Hajar Dewantara—istri Ki Hadjar Dewantara—membicarakan soal adab perempuan. Ada juga pembicara yang menyampaikan topik soal perkawinan dan perceraian.
Selain pidato soal perkawinan anak, ada pidato berjudul “Iboe” yang dibacakan Djami dari Darmo Laksmi. Di awal pidatonya, ia menceritakan pengalaman masa kecilnya yang dipandang rendah karena ia anak perempuan.
Jika seorang anak hendak dilahirkan, Djami berkata, “bapak dan ibunya meminta kepada Tuhan, laki-lakilah hendaknya anaknya.”
Di masa kolonial, anak laki-laki menjadi prioritas dalam mengakses pendidikan. Tempat perempuan, dalam pikiran banyak orang Indonesa, akhirnya tak jauh dari kasur, sumur, dan dapur. Pandangan usang itu mengakar kuat dan pendidikan bagi perempuan tak dianggap penting. Perempuan tak perlu pintar, bukankah akhirnya ia akan ke dapur juga?
Tapi Djami berpendapat lain. Meski menekankan pentingnya pendidikan perempuan dalam kerangka perannya sebagai ibu, pandangan Djami sudah maju untuk ukuran zaman itu.
“Tak seorang akan termasyhur kepandaian dan pengetahuannya, yang ibunya atau perempuannya bukan seorang perempuan yang tinggi juga pengetahuan dan budinya,” katanya.
Jika perempuan sudah bodoh, pendidikan terhadap anak yang dikandung dan dibesarkannya sebetulnya terancam. Djami melanjutkan: “selama anak ada terkandung oleh ibunya, itulah waktu yang seberat-beratnya, karena itulah pendidikan Ibu yang mula-mula sekali kepada anaknya.”
Itulah kenapa pembangunan sekolah-sekolah untuk memajukan perempuan seperti yang dilakukan Rohana Koedoes, Kartini, juga Dewi Sartika, begitu penting perannya. Ibu yang pandai akan punya modal besar untuk menjadikan anaknya pandai. Anak-anak yang pandai di masa depan akan membuat kehidupan sebuah masyarakat akan lebih baik. Pergerakan Nasional Indonesia, tentu perlu anak-anak pandai dari ibu-ibu yang pandai juga.
Dalam Kongres yang berlangsung hingga 25 Desember 1928 ini, Siti Soendari yang belakangan menjadi istri Muhammad Yamin juga hadir. Siti yang seorang guru juga memberikan pidatonya. Dia memakai bahasa Indonesia, meski Nyonya Toemenggoeng berpendapat bahasa Indonesianya tidak pas dan agak berlebihan.
Ketika itu bahasa Indonesia, yang sebetulnya bahasa Melayu pasar, baru saja disepakati sebagai bahasa persatuan Indonesia dua bulan sebelumnya, pada 28 Oktober 1928.
Dalam pertemuan tersebut, organisasi-organisasi perempuan berfusi menjadi Perserikatan Perempuan Indonesia. Setahun kemudian, pada 1929, mereka berganti nama menjadi Perserikatan Perhimpunan Istri Indonesia.
Menurut Slamet Muljana, dalam Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan (2008), dua tahun setelah kongres, perempuan-perempuan itu menyatakan bahwa gerakan perempuan adalah bagian dari pergerakan nasional. Bagi mereka, perempuan wajib ikut serta memperjuangkan martabat nusa dan bangsa.
Seperti kongres Pemuda II, Kongres Perempuan ini juga menekankan pentingnya persatuan. Mereka tak ingin dipecah belah dengan apapun, termasuk oleh masalah agama. Nyonya Toemenggoeng mencatat: Roekoen Wanidijo mengusulkan masalah agama sebisa mungkin mereka hindari untuk dibicarakan agar tidak terjadi perpecahan. Bahkan, tokoh yang menjadi anggota organisasi keagamaan tidak dapat dipilih menjadi ketua.
Menurut Slamet Muljana, penyelenggara kongres ini berasal dari bermacam etnis dan agama di Indonesia. Organisasi-organisasi yang terlibat dalam penyelenggaraan itu antara lain: Wanita Utomo, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Aisyah, Wanita Mulyo, perempuan-perempuan Sarekat Islam, perempuan-perempuan Jong Java, Jong Islamiten Bond, dan Wanita Taman Siswa.
Gedung tempat acara itu diselenggarakan akan dipergunakan sebagai kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta.
Acara ini, menurut Susan Blackburn, membuat kesal kaum feminis Eropa di Indonesia, sebab acara ini hanya diperuntukkan bagi perempuan-perempuan atau ibu-ibu pribumi Indonesia. Kala itu, banyak perkumpulan Eropa juga membatasi diri hanya untuk orang Eropa. Setelah kemerdekaan, kongres ini dianggap penting. Sukarno mengenang semangat perempuan juga ibu-ibu dalam pergerakan nasional demi perbaikan kehidupan perempuan era kolonial itu.
Maka, pada 22 Desember 1959, dalam peringatan kongres ke-25, melalui Dekrit Presiden RI No.316 Tahun 1959, Presiden Sukarno menetapkan setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu.
Baca juga: Aksi Feminisme, dari Bakar Kutang Sampai Lepas Bra