Hal-hal Kecil yang Membuat Kita Terus Miskin
https://www.naviri.org/2018/02/terus-miskin.html
Naviri.Org - Banyak orang yang menjalani hidup dengan rutinitas seperti ini: Gajian, membayar aneka tagihan, membeli kebutuhan sehari-hari, sedikit hiburan, dan tanpa terasa uangnya habis, hingga harus menunggu gajian bulan depan. Selama masa-masa itu, kadang ada orang-orang yang juga harus berutang karena kehabisan uang, sementara ada kebutuhan mendadak yang perlu dibayar.
Jika kita berada dalam siklus semacam itu, maka kehidupan kita bisa dibilang akan terus berputar-putar di situ. Gajian, bayar tagihan, beli kebutuhan, lalu uang habis. Dan begitu seterusnya.
Jika kita mau memperhatikan, bisa jadi aneka pengeluaran yang kemudian membuat uang kita habis tidak selamanya pengeluaran penting. Misal, kita kebetulan jalan-jalan, dan tanpa sengaja melihat barang bagus yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Karena tertarik atau tergoda, kita pun membelinya, dan mungkin berpikir, “Nggak apa-apa, lagian harganya juga murah.”
Hal-hal semacam itu bisa terjadi kapan pun dan di mana pun. Satu pengeluaran kecil hari ini, lalu besok ada hal kecil semacam itu lagi, dan begitu seterusnya, sampai kemudian, tanpa terasa, hal-hal kecil itu menghabiskan uang gajian kita dalam sebulan.
David Bach, seorang penulis sekaligus motivator keuangan di Amerika Serikat, mencetuskan istilah latte factor untuk pengeluaran-pengeluaran itu. Latte factor mengacu pada pengeluaran kecil yang sifatnya rutin, tetapi sebenarnya tidak terlalu penting dan bisa ditiadakan. Istilah latte diambil Bach dari secangkir kopi. Menurutnya, kopi adalah pengeluaran skala kecil yang jika dijumlahkan dalam sebulan, totalnya bisa lebih besar dari biaya listrik dan air.
Jika setiap pagi seorang pekerja memiliki kebiasaan membeli kopi di coffee shop, katakanlah harga rata-ratanya Rp30 ribu. Dalam 30 hari, ia menghabiskan Rp900 ribu hanya untuk kopi. Meminimalkan latte factor bukan berarti melarang orang minum kopi. Para pecinta kopi bisa membeli bubuk kopi dan menyeduhnya sendiri, cara ini tentu lebih hemat.
Latte factor tak hanya berwujud kopi, ia bisa macam-macam, mulai dari biaya membeli air mineral kemasan, belanja cemilan, hingga biaya transfer antar bank. Setiap orang memiliki latte factor-nya masing-masing.
Survei internal yang dilakukan Bank Permata menunjukkan 9 dari 10 orang menggelontorkan lebih dari Rp900 ribu untuk latte factor setiap bulannya. Pengeluaran latte factor terbesar adalah pada kebutuhan sandang yang sekunder, seperti lipstik, sepatu dan baju—hanya untuk menambah koleksi, tas, syal, aksesori, dan lainnya. Angkanya mencapai 58 persen.
Pengeluaran terbesar kedua tercatat pada taksi atau transportasi online yang mencapai 15 persen. Ini adalah jenis pengeluaran yang bisa dihemat jika menggunakan kendaraan umum massa seperti kereta atau bus.
Lalu ada biaya membeli makanan dan minuman ringan yang mencapai 11 persen. Sementara untuk kopi setiap pagi menghabiskan 9 persen dari total pengeluaran latte factor masing-masing responden. Ada pula biaya untuk membeli air mineral, rokok, hingga biaya administrasi bank.
Tren ini kebanyakan menjangkiti generasi milenial. Ini karena generasi milenial sudah dimanjakan dengan kecanggihan teknologi sejak mereka kecil. Memasak nasi tak perlu pakai periuk, tren remote control, lalu diikuti dengan perkembangan gadget. Akibatnya, mereka kerap mengeluarkan uang untuk sekadar memuaskan nafsu atau mengikuti tren yang sedang berlangsung.
Latte factor muncul karena beberapa alasan. Bisa jadi karena kebiasaan, bisa juga karena impulsive buying atau karena tekanan dari lingkungan. Jika setiap pagi seseorang membeli kopi di kedai kopi dekat kantor, maka secara tidak sadar ia akan selalu mampir ke kedai tersebut tanpa berpikir panjang lagi. Atau ketika teman-teman sebayanya mengajak untuk nongkrong di coffee shop mahal, maka ia akan mengikuti demi menjaga pertemanan.
Sementara itu, kesadaran masyarakat untuk menyisihkan uang dari penghasilan masih sangat rendah. Survei bertajuk ‘Share of Wallet’ oleh Kadence International Indonesia, menunjukkan masyarakat di Indonesia hanya menyisihkan rata-rata 8% dari penghasilannya untuk tabungan.
Apabila pengeluaran untuk latte factor ini bisa dikontrol dan diminimalkan, tentu ada potensi dana yang bisa ditabung atau bahkan diinvestasikan.
Baca juga: Kisah Orang-orang Super Kaya karena Warisan